MAHYABARATA Duryodhana yang Haus Kekuasaan
MAHYABARATA Duryodhana yang Haus Kekuasaan
istana Hastinapura. Tetapi, sebenarnya ia selalu
memikirkan akibat dari pertentangan antara anak-anaknya
dan Pandawa. Apakah Yudhistira akan selalu bisa meredakan
amarah Bhima yang mudah menggelegak dengan
alasan-alasan yang bisa diterimanya? Dritarastra juga
cemas memikirkan kebencian Pandawa yang dipendam
bagai air dalam bendungan, sewaktu-waktu bisa bobol dan
mengamuk seperti air bah, menghanyutkan segala dan
semua.
Kelak, jika Pandawa kembali dari pengasingan, mereka
pasti telah semakin kuat dan sakti. Mereka telah menempuh
bermacam-macam cobaan hidup selama tiga belas
tahun mengembara. Waktu yang cukup lama untuk membuat
manusia matang pengalaman. Sementara itu, Sakuni,
Karna, Duhsasana dan Duryodhana hidup bergelimang
kekuasaan dan menjadi lupa daratan.
Itulah yang selalu membuat hati Dritarastra risau.
Pada suatu hari, Karna dan Sakuni berkata kepada
Duryodhana, “Kerajaan yang tadinya ada di tangan
Yudhistira kini menjadi milik kita. Kita tidak perlu lagi iri
kepadanya.”
Duryodhana menjawab, “Oh Karna, itu betul. Tetapi
alangkah nikmatnya kalau aku dapat melihat penderitaan
Pandawa dengan mata kepalaku sendiri. Kita hina mereka
dengan memperlihatkan kesenangan dan kebahagiaan kita
D
kepada mereka. Kita harus pergi ke hutan untuk melihat
bagaimana kehidupan mereka di pembuangan.”
Sebelum menjalankan rencananya, Duryodhana sudah
kesal karena yakin ayahnya pasti takkan mengijinkannya.
Ia berkata lagi, “Tapi Ayahanda pasti tidak akan mengijinkan.
Ayahanda takut pada Pandawa, sebab mereka
dianugerahi kesaktian oleh para dewata selama dalam
pertapaan dan penyucian diri. Ayahanda pasti melarang
kita pergi ke hutan untuk melihat dan mengolok-olok
mereka. Ah, kesenangan ini kurang memuaskan kalau kita
tak bisa melihat penderitaan Draupadi, Bhima dan Arjuna.
Bukankah hidup tanpa kepuasan berarti hidup dalam
siksaan? Sakuni dan engkau, Karna, harus berusaha agar
Ayahanda mengijinkan kita pergi.”
Keesokan harinya Karna datang menemui Duryodhana
dengan wajah berseri-seri. Katanya, “Bagaimana pendapatmu
kalau kita minta ijin pergi ke Dwaitawana, ke ladang
dan padang penggembalaan ternak kita? Baginda pasti
tidak keberatan. Dari sana, sambil berburu, kita bisa
meneruskan rencana kita.”
Duryodhana dan Sakuni langsung setuju. Mereka lalu
menyuruh penjaga Dwaitawana untuk mempersiapkan
segala sesuatunya.
Dritarastra tidak menyetujui rencana itu. Katanya,
“Berburu memang baik untuk putra-putra raja. Aku pun
berniat memeriksa ternak kita di sana. Tetapi karena
Pandawa sedang berada dalam hutan dekat situ, aku tidak
mengijinkan kalian pergi ke sana. Jika kuijinkan kalian
pergi, sementara Bhima dan Arjuna ada di dekat Dwaitawana,
itu sama artinya dengan membangunkan singa
dari tidurnya.”
Duryodhana menjawab, “Kami tidak akan pergi dekatdekat
situ. Kami akan berhati-hati dan menghindari
mereka.”
Dritarastra berkata lagi, “Betapapun hati-hatinya engkau,
dekat-dekat saja sudah berbahaya. Siapa tahu, salah
satu pengawalmu tersesat dan bertemu dengan Pandawa.
Itu dapat menimbulkan perselisihan. Akan kukirim orang
lain untuk memeriksa ternak kita. Kalian tidak boleh
pergi.”
Sakuni menyela, “Tuanku, kami tahu, Yudhistira itu
bijaksana dan patuh akan dharma. Ia telah bersumpah di
depan para tetua dan banyak orang. Pandawa pasti patuh
padanya. Putra-putra Kunti tidak akan memperlihatkan
permusuhan kepada kita. Sebaliknya, jangan menghalangi
keinginan Duryodhana untuk berburu setelah memeriksa
ternak. Aku akan menemani dan menjaganya agar dia
tidak pergi ke dekat tempat Pandawa.”
Seperti biasa, karena didesak-desak Dritarastra menyerah.
Katanya, “Jika demikian, pergilah. Puaskan hatimu.”
Demikianlah Kaurawa pergi ke Dwaitawana diiringkan
sepasukan pengawal. Duryodhana dan Karna sangat
senang. Dengan pongah mereka berniat untuk menertawakan
kesengsaraan Pandawa. Setelah memeriksa ternak,
antara lain, sapi, banteng, biri-biri, dan kambing, Duryodhana
dan rombongannya mengadakan pesta. Mereka bersenang-
senang, menyanyi, menari, berteriak-teriak, dan
bersorak-sorai. Setelah puas berpesta dan cukup beristirahat,
mereka pergi berburu ke dekat hutan tempat
Pandawa menjalani pengasingan. Duryodhana menyuruh
para pengawal mencari tempat yang baik untuk berkemah.
Mereka menemukan sebuah tempat yang lapang di tepi
telaga. Tetapi Chitrasena, raja raksasa yang perkasa, sudah
beberapa hari berkemah di situ bersama para pengawalnya.
Balatentara Chitrasena menyuruh para pengawal
Duryodhana mencari tempat lain. Para pengawal itu
melapor kepada Duryodhana yang merasa ditantang. Ia
memerintahkan balatentaranya mengusir Chitrasena dan
memasang kemah Kaurawa di tempat itu. Balatentara
Duryodhana kembali ke tepi telaga dan mencoba melaksanakan
perintah itu. Tetapi balatentara Chitrasena telah
siap melawan. Para pengawal Duryodhana kalah dan
terpaksa lari terbirit-birit.
Duryodhana sangat marah mendengar kekalahan
pengawalnya. Ia memerintahkan balatentaranya menyerbu.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara pengawal Duryodhana
dan pengawal Chitrasena. Raja raksasa itu tidak
membiarkan pertempuran itu berlangsung lama, karena ia
sangat mengenal dan menguasai wilayah itu. Segera ia
memerintahkan balatentaranya menggunakan senjatasenjata
sakti. Banyak pengawal Duryodhana yang tewas,
sisanya lari meninggalkan kereta, kuda, dan senjata mereka.
Karena lebih kuat dan berpengalaman, dalam waktu
yang tidak lama pengawal Chitrasena berhasil memenangkan
pertempuran; sementara Duryodhana mendapati
dirinya ditawan lawan dan ditinggalkan pengawalnya.
Dengan tangan dan kaki terikat ia dimasukkan ke dalam
kereta Chitrasena. Sangkakala, terompet dari kerang besar,
ditiup mengalun keras menandai kemenangan pihak Chitrasena.
Beberapa pengawal Duryodhana yang melarikan diri
sampai ke tempat pengasingan Pandawa. Bhima senang
mendengar Duryodhana kalah. Ia segera menyampaikan
berita itu kepada Yudhistira. Katanya, “Pasukan raksasa
telah mengalahkan Duryodhana. Aku yakin, dia sengaja
datang ke sini untuk menghina dan mengejek kita. Aku
pikir, ada baiknya kita bersahabat dengan Chitrasena.”
Tetapi Yudhistira menjawab, “Saudaraku tercinta, ini
bukan saat yang tepat bagi kita untuk bergembira. Kaurawa
adalah kerabat kita, keturunan mereka adalah keturunan
kita juga. Sekarang mereka sedang mendapat malu,
dan itu berarti tamparan bagi kita juga. Kita tidak boleh
membiarkan penghinaan ini. Kita harus membantu saudara-
saudara kita.”
Bhima tidak setuju. Ia berkata, “Mengapa kita mesti
melindungi manusia durhaka dan penuh dosa yang pernah
mencoba membakar kita hidup-hidup di dalam istana kayu
waktu itu? Mengapa kita harus kasihan kepada orang yang
pernah mencoba membunuhku dengan racun dan menenggelamkan
aku di sungai? Rasa persaudaraan seperti apa
yang dimiliki manusia durhaka yang telah menghina
Draupadi, menyeret rambutnya dan berusaha menelanjanginya
di depan orang banyak?”
Sementara mereka berdebat, terdengarlah rintihan Duryodhana.
Yudhistira kasihan dan menasihati Bhima agar
melupakan semua pengalaman buruk itu. Ia meminta
Bhima menolong Kaurawa. Meskipun tak bisa memahami
keputusan Yudhistira, Bhima dan Arjuna patuh pada
perintah kakaknya. Mereka mengumpulkan para pengawal
Duryodhana yang melarikan diri ke tempat pengasingan
mereka lalu memimpin penyerbuan ke perkemahan balatentara
raksasa itu.
Chitrasena mendengar hal itu, tetapi ia tidak ingin bertempur
melawan Pandawa. Ia menawarkan perundingan.
Setelah berunding akhirnya ia mau membebaskan Duryodhana
dan tawanan lainnya. Chitrasena berkata bahwa ia
hanya ingin memberi pelajaran pada Duryodhana yang
congkak.
Kaurawa kembali ke Hastinapura. Di tengah jalan,
Karna menggabungkan diri. Duryodhana sangat malu dan
terhina. Ia mencurahkan perasaannya kepada saudarasaudaranya.
Baginya lebih baik mati di tangan Chitrasena
daripada dipermalukan seperti itu. Ingin rasanya ia
berpuasa seumur hidup, sampai mati. Katanya kepada
Duhsasana, “Engkau kuangkat menjadi raja sebagai penggantiku.
Pimpinlah kerajaan ini. Aku tidak sanggup hidup
lebih lama dan menjadi tertawaan musuh-musuh kita.”
Duhsasana terharu mendengar kata-kata kakaknya.
Karna menghibur, “Tidak pantas seorang kesatria keturunan
Kuru berputus asa. Apa gunanya berputus asa karena
perasaan sedih dan duka? Itu hanya akan membuat musuh-
musuh kita semakin senang. Lihatlah Pandawa.
Mereka tidak berpuasa sampai mati, meskipun menanggung
malu yang amat besar.”
Sakuni menambahkan, “Dengarkan kata-kata Karna.
Mengapa engkau berpikir untuk bunuh diri padahal
seluruh kerajaan, termasuk yang kita rampas dari tangan
Pandawa, adalah milikmu? Berpuasa dengan niat seperti
itu sama sekali tidak ada gunanya. Kalau engkau memang
menyesal, lebih baik kau berdamai dengan Pandawa dan
mengembalikan hak mereka atas kerajaan ini.”
Mendengar nasihat Sakuni, bukannya berterima kasih,
Duryodhana justru menjadi marah. Dengan berang ia berkata,
“Daripada mengembalikan kerajaan kepada Pandawa,
lebih baik aku mati. Itu jauh lebih buruk daripada kekalahan
dan penghinaan. Tidak, aku akan hancurkan Pandawa!”
“Kau sungguh jantan. Begitulah seharusnya sikap
seorang kesatria,” kata Karna menyetujui. Kemudian ia
menambahkan, “Apa masuk akal memilih mati dengan
cara yang memalukan? Kau hanya dapat berbuat sesuatu
jika kau masih hidup.”
Dalam perjalanan pulang, Karna menambahkan, “Aku
bersumpah kepadamu, di hadapan para dewata dan roh
para suci, bila tahun ketiga belas yang telah disepakati itu
habis, aku akan membunuh Arjuna dalam perang besar!”
Karna mengolesi pedangnya dengan ludahnya, kemudian
mengacungkan pedang itu sebagai tanda ia telah bersumpah.
Demikianlah, rasa benci semakin bertakhta di lubuk
hati Kaurawa yang tak pernah merasa puas. Ibarat api
dalam sekam, tak terlihat sebelumnya tahu-tahu sudah
membesar, berkobar-kobar.
Ketika Duryodhana berniat melangsungkan upacara
Rajasuya, para brahmana menasihatinya. Kata mereka,
Duryodhana belum patut melaksanakan niatnya karena
Dritarastra dan Yudhistira sebagai pewaris kerajaan Astina
dan keturunan sah Kuru masih hidup. Saat itu, yang boleh
dilaksanakannya adalah upacara Waishnawa.
Dengan penuh kemegahan, Duryodhana melaksanakan
upacara Waishnawa. Setelah upacara selesai, banyak yang
membicarakan upacara itu, yaitu yang tidak lebih dari
seperenambelasnya upacara Rajasuya yang diselenggarakan
Yudhistira dulu. Namun kawan-kawan Duryodhana
mengatakan bahwa upacara itu menyamai kebesaran
upacara-upacara yang pernah dilaksanakan oleh Yayati,
Mandhata, Bharata dan lainnya.
Ya, kawan-kawan Duryodhana adalah para penjilat
yang suka mencari muka, tukang puji dan tukang gunjing.
Kesempatan seperti itu pasti mereka gunakan untuk menyanjung,
meninabobokan, bahkan menghasut Duryodhana.
Karna, misalnya, mengatakan kepada para pendukung
Duryodhana bahwa upacara Rajasuya yang akan diadakan
Duryodhana ditunda karena Pandawa belum dimusnahkan
dan ia belum membunuh Arjuna.
Seperti biasa, Karna berkata dengan congkak, “Sebelum
aku dapat membunuh Arjuna, aku bersumpah tidak akan
makan daging dan minum minuman yang memabukkan;
aku juga tidak akan menolak permintaan kawanku, siapa
pun dia. Inilah sumpahku.”
Demikian Karna bersumpah dalam pertemuan keluarga
Kaurawa. Anak-anak Dritarasta merasa beruntung karena
Karna memihak mereka.
Mata-mata Pandawa melapor tentang sumpah Karna kepada
Pandawa. Yudhistira menanggapi itu sebagai sesuatu
yang sungguh-sungguh berbahaya, karena ia tahu Karna
adalah kesatria sakti yang mahir menggunakan segala
macam senjata.
Pada suatu malam, Yudhistira bermimpi, semua binatang
di hutan itu datang kepadanya dan memohon agar
mereka dilindungi dan jika mungkin Pandawa pindah dari
hutan itu. Pagi harinya, ketika terjaga, Yudhistira merasa
bahwa mimpinya itu adalah firasat buruk, pertanda akan
adanya bahaya. Rasa kasihnya kepada binatang-binatang
hutan mendorongnya mengambil keputusan untuk meninggalkan
hutan itu.
Pada suatu hari, Resi Durwasa dan seribu pengikutnya
menemui Duryodhana. Duryodhana sudah mengetahui
sifat Resi Durwasa yang suka menguji dan mencari-cari
kesalahan orang. Duryodhana menerima rombongan tamu
itu dengan sangat hati-hati. Ia sendiri yang melayani Resi
Durwasa dengan ramah tamah. Puas atas sambutan Duryodhana,
Resi Durwasa mengijinkan Duryodhana meminta
satu anugerah. Duryodhana tidak melewatkan kesempatan
itu. Dengan pikiran agar resi itu mencari-cari kesalahan
Pandawa, ia berkata, “Bapa Resi yang kami hormati, kami
merasa mendapat restu luar biasa karena kedatangan
Bapa ke sini. Sambutan dan jamuan yang kami hidangkan
hanya sederhana. Saudara-saudara kami, Pandawa, kini
sedang mengembara di hutan. Mohon Bapa Resi meluangkan
waktu untuk mengunjungi mereka dan membuat
mereka senang karena merasa direstui.”
Kemudian Duryodhana mengusulkan hari untuk berkunjung
ke hutan. Hari itu ditentukan setelah memperhitungkan
kapan persediaan makanan Pandawa habis dan
karenanya mereka pasti tak bisa menjamu Resi Durwasa
dan seribu pengikutnya. Dalam keadaan demikian Pandawa
akan mendapat kutuk-pastu dari sang Resi.
Resi Durwasa menjawab, “Baiklah kalau itu permintaanmu.
Aku akan mengunjungi Pandawa di hutan pada hari
yang telah engkau tentukan.”
Bukan main senangnya hati Duryodhana mendengar
jawaban sang Resi. Pandawa pasti takkan sanggup menerima
tamu sebanyak itu dengan sambutan penuh kehormatan
dan hidangan mewah melimpah. Dan jika Resi Durwasa
marah, ia pasti melancarkan kutuk-pastu yang mengerikan
terhadap Pandawa. Demikianlah yang dibayangkan
oleh Duryodhana.
Seperti diharapkan oleh Duryodhana, Resi Durwasa bersama
pengikutnya pergi ke tempat Yudhistira. Sampai di
sana kira-kira pada saat makan siang. Waktu itu Pandawa
baru saja selesai makan. Mereka mengucapkan selamat
datang kepada rombongan Resi Durwasa dengan penghormatan
sepatutnya. Resi itu berkata, “Kami ingin membersihkan
badan dulu di sungai. Kami akan kembali ke sini
kira-kira waktu makanan telah siap. Kami sudah lapar.”
Setelah berkata demikian, Resi Durwasa pergi mandi ke
sungai bersama pengikutnya.
Selama mengembara di pengasingan, secara teratur
Yudhistira selalu bersamadi dan bertapa brata. Dalam
samadinya, Batara Surya mengunjunginya dan menganugerahkan
tempurung berisi bahan makanan sambil bersabda,
“Bahan makanan dalam tempurung ini akan cukup
untuk kebutuhan kalian sehari-hari dan akan memberi
kekuatan kepada kalian selama dua belas tahun dalam
pengasingan. Isi tempurung ini takkan habis sebelum
semua orang dan Draupadi makan.”
Dalam tradisi, tamu harus dipersilakan makan lebih
dulu, lebih-lebih jika dia brahmana. Sesudah tamu, giliran
tuan rumah dan yang terakhir adalah istri atau ibu anakanak.
Tetapi, ketika Resi Durwasa tiba di tempat pengasingan
Pandawa, semua orang sudah selesai makan dan
makanan sudah habis. Draupadi menjadi bingung sebab
pengikut Resi Durwasa berjumlah seribu. Dalam keadaan
demikian, Draupadi berharap Krishna datang menolongnya.
Berkat kebesaran dharma, Krishna tiba-tiba muncul
dan langsung berkata, “Aku sangat lapar. Bawakan makanan
untukku. Sedikit tidak apa, asal ada yang bisa dimakan.
Setelah itu baru kita bicara.”
Draupadi kaget, tak tahu harus berbuat apa kecuali
berterus-terang bahwa makanan telah habis sama sekali.
Ia mengaku sangat mengharap kedatangan Krishna untuk
menolongnya menjamu Resi Durwasa dan seribu pengikutnya.
Saat ini mereka sedang mandi-mandi di sungai.
Krishna tetap berkata bahwa ia lapar dan ingin makan
sekadarnya. Untuk membuktikan bahwa memang sudah
tidak ada makanan, Draupadi mengajak Krishna ke dapur
untuk melihat sendiri. Krishna melihat ada kerak nasi dan
sisa sayur lekat di dasar tempurung. Setelah Krishna
makan kerak nasi dan sisa sayur itu, Draupadi berkata,
“Aku malu, belum sempat membersihkan alat-alat dapur.”
Kemudian Krishna menyuruh Bhima menjemput Resi
Durwasa dan mengatakan bahwa makanan telah siap.
Tetapi Bhima bingung, sebab ia tahu tak ada lagi makanan
untuk Resi Durwasa dan pengikutnya. Mungkin resi itu
akan marah dan merasa dihina. Tetapi, Bhima selalu
patuh kepada Krishna. Meskipun hatinya cemas, ia tetap
pergi menjemput Resi Durwasa untuk menyampaikan
pesan Krishna. Mendengar bahwa Krishna ada di situ, Resi
Durwasa dan pengikutnya merasa bersyukur dan senang.
Tiba-tiba saja rasa lapar mereka hilang. Selesai membersihkan
badan, mereka berduyun-duyun menemui Krishna
dan bersujud menyembahnya.
Berkatalah Resi Durwasa, “Kami datang kemari untuk
meminta makan kepada Yudhistira. Tetapi Engkau, Yang
Kami Muliakan, ada di sini dan itu menyebabkan kami
tidak lapar lagi. Kami bahagia. Restui dan berkatilah kami,
oh putra Basudewa!”
Mereka lalu mohon diri untuk pulang. Resi Durwasa
dan pengikutnya menganggap Krishna sebagai Sang Pembimbing
Yang Maha Bijaksana. Mereka bersyukur bisa
bertemu denganNya dan karena itu tidak merasa lapar lagi.
Itulah makna sabda Batara Surya kepada Dharmaputra,
bahwa dalam keadaan apa pun dharma akan selalu bersama
Yudhistira, memberi petunjuk dan menguatkan imannya
dalam menghadapi penderitaan dan kesengsaraan.
Posting Komentar