MAHABARATA Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan

MAHABARATA Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan



Uttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan kereta
yang dikemudikan Brihannala. Ia memerintahkan
sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah
balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris
titik, memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang
mengepul ke angkasa. Itu pasti pasukan Kaurawa dalam
jumlah besar.
Makin dekat makin jelas sosok mereka. Mula-mula tampak
kereta-kereta yang dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru
Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan Kaurawa,
hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh
Brihannala melambatkan keretanya. Uttara sangat ketakutan.
Mulutnya terasa kering, bulu romanya berdiri, dan
keringat dingin mengucur dari dahinya. Tangan dan kakinya
gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangannya
dan berkata lirih kepada Brihannala, “Bagaimana
mungkin aku sendirian melawan musuh sebanyak itu?
Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa
ayahku ke selatan. Tidak mungkin aku melawan kesatriakesatria
yang termasyhur ahli berperang itu. Brihannala,
berbaliklah! Kita pulang.”
Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat dengan
semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh.
Permaisuri, penghuni istana dan rakyat mempercayakan
nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji aku dan
membuat engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau
kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang
dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan
membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan
bertempur! Jangan gentar!”
Uttara berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, aku
tidak mau! Biarlah Kaurawa merampas ternak kita, biarlah
perempuan-perempuan menertawakan aku, aku tidak
peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih kuat
dan lebih besar jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan
kereta! Kalau tidak, aku akan meloncat turun dan pulang
dengan berjalan kaki.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang
senjata-senjatanya sambil meloncat turun dari kereta.
Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam jiwanya
dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke
ibu kota.
Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil
agar pangeran itu berbuat sebagai kesatria. Rambut panjang
dan pakaian Brihannala melambai-lambai ditiup
angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhirnya
pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta agar
Brihannala membiarkannya pulang.
Uttara berkata dengan suara mengiba, “Aku satusatunya
anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan
ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, aku
takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!”
Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketakutannya
dan membangkitkan keberaniannya. Ia menggenggam
tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke kereta.
Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah
malunya aku, terlanjur omong besar. Apa jadinya aku
nanti?”
Brihannala menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang
akan menghadapi Kaurawa. Bantu aku, pegang tali kekang
ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku, tidak
ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan
musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang
mereka rampas. Kemenangan pasti di pihak kita. Percayalah!”
Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara
agar menghela kereta itu ke arah sebatang pohon besar di
dekat kuburan. Sampai di dekat kuburan, Brihannala
meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil
senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara
memejamkan mata, tak berani memanjat pohon itu.
“Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayat
nenek tua yang berubah menjadi setan. Aku tak berani
memegang mayat itu. Mengapa kau menyuruhku melakukan
ini?” kata Uttara.
“Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat.
Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata sakti
milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata
itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala
tegas.
Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa
menurut. Ia memanjat pohon itu lalu mengambil kantong
kulit besar yang disembunyikan di balik daun-daunan.
Alangkah kagetnya dia ketika melihat isi kantong itu:
senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya
kantong itu turun dan diserahkannya kepada saisnya.
Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu.
Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa ada
arus kekuatan gaib merasuki tubuhnya dan menguatkan
jiwanya. Matanya sekarang berbinar memancarkan semangat
baru.
Ia bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya!
Katamu senjata-senjata ini milik Pandawa. Bukankah
kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka diusir ke
hutan oleh Kaurawa? Bagaimana mungkin engkau bisa
tahu tentang senjata-senjata ini?”
Secara ringkas Brihannala berkata bahwa sebenarnya
sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota
Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka
adalah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan
Sairandri. Brihannala juga bercerita tentang kematian
Mahasenapati Kicaka yang berani menghina Draupadi.
“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau
akan melihat bagaimana aku menaklukkan Kaurawa. Biarpun
di pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana
dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan
harta yang mereka rampas. Dan engkau akan menjadi
masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga
bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara.
Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya,
memberi hormat kepada Arjuna, dan berkata, “Tak kusangka
engkau adalah Arjuna. Alangkah beruntungnya
aku dapat bertemu denganmu. Arjuna, kau kesatria perkasa.
Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwaku.
Maafkan kesalahanku karena kedunguanku.”
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita
tentang kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan
keberanian Uttara.
Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan
Kaurawa. Arjuna minta agar kereta dihentikan. Kemudian
mereka turun. Perhiasan wanita ditanggalkannya, rambutnya
yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya
dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya disiapkan.
Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna
bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah
selesai, ia berdiri tegak penuh keagungan, membuat Uttara
terkagum-kagum. Pangeran itu bangkit semangatnya. Ia
naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa, memasang
anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali
busur, dan ... meluncurlah anak panah itu membelah angkasa
dengan bunyi mendesing-desing. Kemudian Arjuna
meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadatta.
Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru!
Mendengar bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut.
Mereka saling berpandangan. Dengan telinganya yang
tajam, Drona memastikan bahwa suara itu berasal dari
desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang
Dewadatta milik Arjuna. Drona membisikkan hal itu
kepada Karna yang menanggapi, “Mana mungkin itu Arjuna?
Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang bisa
ia lakukan sendirian menghadapi kita, jika Pandawa
lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan Susarma?
Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota
yang pengecut itu!”
Duryodhana menyambung, “Kenapa kita mesti pusingpusing?
Walaupun itu Arjuna, paling-paling ia hanya akan
menyerahkan diri ke tangan kita untuk ditemukan sebelum
waktunya. Dan, karena itu kita bisa mengirim Pandawa
ke hutan selama dua belas tahun lagi.”
Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu
mengepul bagaikan ekor binatang. Sekali lagi terdengar
desing Gandiwa dan gema Dewadatta.
“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna datang menyerbu
mereka,” kata Drona dengan prihatin.
Duryodhana kesal melihat sikap Drona seperti itu. Ia
berkata kepada Karna, “Sumpah Pandawa adalah menerima
pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan
setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas
belum habis, tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa
kita mesti prihatin? Mereka harus mengembara di hutan
selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak mempelajari
falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi
di belakang, kita maju terus!”
Karna mengangguk setuju dan berkata, “Memang, jika
tidak biasa bertempur pasti gemetar. Kalaupun yang
datang memang Arjuna, kenapa kita mesti takut? Parasurama
sekalipun, aku tidak gentar. Aku akan hadang ia
kalau ia berani maju. Balatentara Matsya mungkin bisa
merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna harus
berhadapan dengan aku.” Kemudian Karna membunyikan
terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia
siap bertempur.
Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna
menasihati, “Jangan berbuat tolol. Kita harus menyerang
Arjuna bersama-sama dan serentak. Hanya dengan cara
itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang
tanding sendirian.”
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh, Mahaguru
Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu pujian
untuk Arjuna. Apakah karena takut atau karena sayang
kepada Pandawa? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, para
tetua semua takut dan menasihatkan agar kita tak usah
bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di belakang
dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah
makan garam di Hastinapura berani maju bertempur.
“Aku hanya mengenal cinta kepada kawan dan benci
kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna mereka
mempelajari kitab-kitab suci, jika sampai di sini hanya
memuji-muji musuh?”
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru
Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia
menyahut, “Kita belum membawa pulang ternak ke Hastinapura.
Kita belum memenangkan pertempuran. Omong
besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan golongan
kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya
membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra.
Meski demikian, kami belum pernah menemukan ajaran
yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria
jika bisa merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam
permainan dadu.
“Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur matimatian
dan menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah
menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau?
Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas
engkau banggakan.
“Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bukan
untuk dirinya. Bumi memeluk segala yang ada di bahunya
tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas diberikan
kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan tipu
daya dalam permainan dadu? Keberhasilan menipu Pandawa
tidak pantas dibanggakan, ibarat menangkap burung
piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat.
“Duryodhana dan Karna, pertempuran apakah yang
telah kalian menangkan melawan Pandawa? Pantaskah kalian
merasa bangga karena telah mempermalukan Draupadi?
Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru,
seperti si pandir menebang pohon cendana karena mabuk
oleh keharumannya.
“Melemparkan dadu untuk mendapat angka 4 atau 2
tidak sesulit menghadapi desing Gandiwa Arjuna. Apa
kalian kira Sakuni bisa menyulap jalannya pertempuran
agar kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”
Para pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang
mulut, saling mencaci dan memaki. Bhisma sedih melihat
itu dan berkata dengan sabar, “Orang yang berbudi luhur
tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi
berperang pasti sudah memperhitungkan segala kemungkinan,
yaitu tempat, waktu, dan situasi.
“Memang, orang pandai bisa juga kehilangan kendali
atas dirinya sendiri. Karena marah, Duryodhana lupa
bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang,
bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung
amarah dan dendam kesumat, Duryodhana.
“Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna
yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu sebagai
peringatan agar kau mawas diri dan lebih cermat dalam
bertindak.
“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau
membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa
dan Aswatthama harus memaafkan Karna. Kaurawa tak
mungkin menemukan mahaguru yang hebat seperti Kripa
dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan
perkasa. Mereka adalah kesatria-kesatria sakti yang mumpuni
dalam ilmu kitab suci.
“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun bisa
menandingi Drona. Kita hanya bisa menaklukkan Arjuna
jika kita serang dia bersama-sama. Mari kita hadapi tugas
berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita
tidak akan bisa menundukkan Arjuna.” Demikianlah
nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani
seluruh bangsa Kuru. Semua terdiam dan tertunduk
mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, lalu melanjutkan,
“Wahai Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu
tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai masa pengasingan
dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin.
Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu
tentang pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bintang.
Aku tahu masa pengasingan mereka sudah selesai
ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang
Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan
untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai
dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau
kehendaki? Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ...
kehancuran bersama dalam peperangan? Pertimbangkan
baik-baik dan tentukan pilihanmu.”
Duryodhana menjawab, “Kakek Yang Mulia, aku tidak
ingin berdamai. Aku tidak sudi menyerahkan satu desa
pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang.”
Drona berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Duryodhana
kembali ke Hastinapura dikawal seperempat balatentara
kita. Separo dari balatentara yang ada akan mengawal
ternak dan barang rampasan yang dibawa ke
Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang.
Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti kita
menerima kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan
mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama
dan aku sendiri, untuk menghadapi Arjuna.”
Kemudian, balatentara Kaurawa diatur menurut pembagian
itu. Arjuna tidak melihat Duryodhana dalam pasukan
Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada Uttara, “Aku
tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya melihat
Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak
kita. Ayo kita kejar dia dan kita rebut kembali ternak kita.”
Uttara melecut kudanya ke arah yang ditunjukkan Arjuna.
Mereka mengejar pasukan Kaurawa yang menggiring
ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna
menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang
meninggalkan ternak dan barang-barang rampasan. Setelah
musuh kabur, Arjuna menyuruh para gembala mengambil
kembali ternak mereka.
Kemudian Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal
itu, Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa untuk membantu
Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu dirinya
dikepung, Arjuna memutuskan untuk menggempur
pemimpin balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama,
diserangnya Karna dengan serangan kilat. Karna tak mampu
melawan. Ia terpelanting jatuh dari keretanya. Kemudian
Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang. Aswatthama
melihat ayahnya kalah lalu cepat-cepat membantu.
Serangan Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru
Aswatthama yang dibuat tidak berkutik karena serangan
Arjuna yang bertubi-tubi.
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, dibantu
oleh Bhisma dan Duryodhana.
Arjuna ingin melumpuhkan mereka satu per satu, karena
ia sadar tidak punya teman apalagi pasukan. Arjuna
berhasil menghindari serangan Kripa dan Bhisma. Lalu ia
memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran itu
ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihujani
panah dan terpaksa lari terbirit-birit seperti pengecut.
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan
Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna memutuskan
untuk mengeluarkan ajian pembius. Ia lalu membuat
kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada
dalam posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan
senjata saktinya ke tengah-tengah balatentara Kaurawa.
Satu per satu orang-orang itu jatuh pingsan. Dengan
mudah Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, sebagai
tanda kemenangan.
Arjuna berkata kepada Uttara, “Belokkan arah kereta.
Ternak dan harta benda telah kembali kepada rakyat kita
dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai Putra Mahkota,
pulanglah engkau dan bawalah berita kemenangan ini.”
Sebelum sampai ke istana, Arjuna menyimpan kembali
senjata-senjatanya di tempat rahasia, membersihkan diri
dan mengganti pakaiannya kembali seperti Brihannala,
sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota
Matsya untuk menyampaikan berita kemenangan gemilang
Uttara kepada Raja Wirata.
Di tempat pertempuran, Duryodhana kembali ke induk
pasukannya. Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain baru
saja siuman dan jubah mereka tidak ada lagi. Artinya,
Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan memikul
kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura.

Dari arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya
kembali ke ibu kota setelah mengalahkan Raja Susarma
dari Negeri Trigata. Rakyat mengelu-elukannya. Tetapi,
sesampainya di istana, Wirata tak menemukan Uttara.
Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara
pergi ke utara menggempur Kaurawa yang menduduki
sebagian wilayah Kerajaan Matsya. Mereka berharap semoga
Uttara dapat menaklukkan musuhnya. Setelah tahu
bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari
yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya pasti
kalah dan terbunuh dalam pertempuran.
“Anakku tercinta sekarang pasti sudah tewas,” katanya
sedih.
Ia lalu memerintahkan menterinya untuk mengirimkan
pasukan terkuat ke utara guna membantu Putra Mahkota
Uttara. Jika pangeran itu masih hidup, pasukan itu harus
membawanya pulang. Pasukan rahasia dan pencari jejak
dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana
Uttara pergi dan bagaimana nasibnya.
Kangka mencoba menghibur Wirata dengan mengatakan
bahwa Putra Mahkota pasti selamat dan dapat memenangkan
pertempuran karena ia didampingi Brihannala
sebagai sais kereta.
“Kekalahan Susarma di selatan pasti sudah diketahui
Kaurawa. Mereka pasti gentar dan memilih mundur,” kata
Kangka hati-hati.
Sementara itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan berita
kemenangan. Ternak dan harta benda yang dirampas
sudah kembali ke tangan rakyat.
Wirata tak percaya. Menurutnya, berita itu terlalu dibesar-
besarkan. Kangka terus berusaha meyakinkan Wirata
bahwa berita itu memang benar. Bagi Wirata, kemenangan
putranya merupakan suatu keajaiban. Karena gembiranya,
ia berikan hadiah besar kepada pembawa berita itu. Kemudian
ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan
dan seluruh penduduk ibu kota untuk menyambut kembalinya
Putra Mahkota Uttara dari medan perang.
Berkatalah Wirata, “Kemenanganku melawan Susarma
tidak berarti apa-apa. Kemenangan yang sebenarnya adalah
kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara kemenangan
dan persembahyangan syukur di seluruh negeri.
Pasang umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan
agar semarak. Kerahkan penduduk untuk mengadakan
arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan. Siapkan
upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota
yang berhati singa!”
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke beranda
untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka.
Mereka disuruhnya mempersiapkan permainan dadu.
Sambil bermain dadu, Wirata berkata, “Aku sangat bahagia.
Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara! Ia telah
menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa.”
“Benar demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung didampingi
sais kereta seperti Brihannala yang tangkas dan
tahu bagaimana mengemudikan kereta perang.”
Wirata merasa tersindir dan tidak suka mendengar
kata-kata Kangka. Ia marah dan berkata lantang, “Kenapa
engkau berulang-ulang menyebut nama si banci, padahal
aku sedang bahagia karena putraku memenangkan pertempuran?
Bukankah sudah sepantasnya aku memuji
putraku yang gagah perkasa? Kenapa engkau justru
menekankan ketangkasan si banci sebagai sais kereta?”
“Aku tahu Brihannala bukan orang biasa. Kereta yang
dikemudikannya pasti takkan salah arah dan ia pasti
pantang menyerah. Brihannala selalu yakin akan bisa memetik
kemenangan gemilang siapa pun musuhnya,” jawab
Kangka tenang.
Wirata tidak dapat menahan amarahnya. Ia menganggap
kata-kata Kangka sebagai penghinaan terhadap
anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam. Dilemparkannya
dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah.
Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi
Kangka. Dengan cepat disekanya wajah Kangka dengan
sari-nya. Darah Kangka yang titik ditampungnya dalam
cawan emas.
Melihat itu Wirata semakin marah. Apalagi karena Sairandri
melakukannya di hadapannya, penguasa tertinggi
Negeri Matsya. Wirata menghardik, “Kurang ajar! Kenapa
engkau menadahi darah Kangka dengan cawan emas?”
“Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh
ke bumi,” jawab Sairandri tenang. “Kalau sampai darahnya
menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di negeri ini
selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan
rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutampung
dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja
belum mengenal kebesaran Kangka,” Sairandri menambahkan.
Sementara percakapan itu berlangsung, seorang pengawal
mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihannala,
yang ingin segera menghadap Baginda Raja.
“Persilakan mereka menghadapku,” kata Wirata kepada
pengawal itu.
Kesempatan itu dipergunakan Kangka untuk membisiki
si pengawal agar Uttara datang menghadap sendirian,
jangan sampai Brihannala ikut. Kangka berbuat demikian
karena Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arjuna
pasti marah jika melihat pipi Kangka alias Yudhistira
berdarah karena dia sangat menyayangi saudaranya.
Uttara masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu
menoleh ke arah Kangka, hendak mengucapkan salam
hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah lelaki itu.
Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain adalah Yudhistira
yang agung.
“Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang
Agung?” Uttara bertanya dengan cemas.
Wirata memandang putranya, lalu berkata, “Kenapa?
Aku melempar mukanya dengan dadu karena kelancangan
dan kesombongannya. Waktu aku sedang senang dan
bangga karena kemenanganmu, dia justru memperkecil
arti kemenanganmu. Setiap kali aku memuji kesaktian dan
keperkasaanmu, ia justru menyebut-nyebut kemahiran si
banci. Aku memang telah melukainya, kuakui itu; tapi hal
ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana
engkau bertempur sampai menang.”
Uttara merasa takut. Ia berkata, “Ya, Dewata, Ayah
telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya,
sekarang juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan
musnah dari akar sampai ke daun.”
Wirata tidak mengerti maksud anaknya. Ia hanya
duduk diam kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Uttara
segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf
yang sebesar-besarnya.
Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan berkata,
“Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak
sabar lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menaklukkan
balatentara Kaurawa? Bagaimana engkau merebut
kembali ternak dan harta benda kita?”
Sambil menundukkan kepala karena sangat malu, Uttara
berkata, “Bukan aku yang menaklukkan musuh. Bukan
aku yang mengambil ternak itu kembali. Semua itu dilakukan
oleh seorang Putra Mahkota yang sangat sakti dan
perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa
dan merebut kembali semua ternak dan kekayaan kita.
Aku tidak berbuat apa-apa.”
Wirata tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia
bertanya lagi, “Di manakah Putra Mahkota itu sekarang?
Aku harus berterima kasih kepadanya karena ia telah
menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan
anakku, Dewi Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari
sekarang juga.”
“Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa dia akan
datang kemari,” jawab Uttara.

Atas perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persidangan
besar di ibu kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah
untuk merayakan kemenangan Raja dan Putra Mahkota.
Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat, tamutamu
agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar
akan dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya.
Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si
guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si
penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak
diundang, karena yang diundang hanya tamu-tamu agung
dan orang-orang penting. Dalam pesta itu juga tampak Sairandri,
pelayan permaisuri. Hadirin berbisik-bisik, membicarakan
kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa mereka
pantas diundang karena jasa mereka dalam peperangan
yang baru lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orangorang
seperti mereka diperbolehkan hadir dalam perjamuan
besar itu. “Bukankah mereka hanya sanyasin, juru
masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan?”
Ketika masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka
si sanyasin, Walala si juru masak, dan yang lain duduk
berjajar bersama para tamu. Raja sangat marah dan dengan
kata-kata kasar menghina mereka. Karena sikap
Wirata yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa
menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran
telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut
mereka dengan tepuk tangan meriah.
Wirata sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang
yang selama ini telah bekerja keras mengabdi kepadanya
tiada lain adalah Pandawa. Wirata segera meminta maaf
dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudian,
secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan
Negeri Matsya kepada Pandawa karena jasa-jasa mereka.
Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi Uttari, kepada
Arjuna untuk diperistri.
Pandawa mengucapkan terima kasih kepada Raja
Wirata dan rakyat Negeri Matsya yang telah melindungi
dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit selama
satu tahun. Pandawa menerima penyerahan Negeri Matsya
secara simbolik dan saat itu juga menyerahkannya kembali
kepada Raja Wirata. Kemudian semua yang hadir mempersembahkan
doa syukur bagi kemakmuran dan kesejahteraan
Raja dan rakyat Negeri Matsya.
Arjuna menyela, “Tidak, ini tidak pantas karena Dewi
Uttari belajar musik dan tari dari aku. Aku adalah gurunya
dan aku lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada
yang berkeberatan, aku usulkan agar ia dinikahkan dengan
putraku, Abhimanyu.”
Sementara semua orang sedang berpesta, datang utusan
Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhistira.
Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata,
“Wahai Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayangkan
tindakan Dananjaya yang ceroboh. Dananjaya membiarkan
dirinya dikenali orang sebelum tahun ketiga belas
habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sumpahmu,
engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di
dalam hutan.”
Dharmaputra tersenyum dan berkata, “Utusan yang terhormat,
kembalilah segera kepada Duryodhana dan katakan
kepadanya bahwa aku menyuruhnya bertanya kepada
para tetua yang bijak dan cendekia tentang cara menghitung
waktu. Kakek Bhisma yang kita muliakan dan para
mahaguru lainnya pasti tahu peredaran bintang di langit.
Mereka pasti akan menegaskan bahwa tiga belas tahun
penuh telah kami lewatkan tepat sehari sebelum Kaurawa
mendengar desing Gandiwa dan deru Dewadatta milik
Dananjaya yang membuat kalian lari tunggang langgang.”

Posting Komentar

Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger