MAHABARATA Saat-Saat Sebelum Perang
MAHABARATA Saat-Saat Sebelum Perang
ampir semua
orang sudah siap berperang. Kedua
belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing.
Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria,
mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan
perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap
lawan.
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang
berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian.
Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan
dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan
untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan
berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana
persaudaraan selama matahari berada dalam peraduannya.
Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang
harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata
atau mengepalkan tinju di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di
antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh
berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan normanorma
yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur
atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh
diserang atau dipukul lagi. Seorang prajurit berkuda hanya
boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian
pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit
yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang
seimbang.
Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang
lawan yang sedang bertarung satu lawan satu. Orang
yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata.
Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya
pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong
korban perang, tidak boleh diserang. Mereka yang lari
menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh.
Demikianlah beberapa aturan perang disepakati oleh
Kaurawa dan Pandawa dan diumumkan sebelum perang di
padang Kurukshetra dimulai.
Jauh di kemudian hari, tata krama perang tersebut
dilanggar sendiri oleh manusia. Begitu pula pengertian
tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk, tentang
kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh manusia
si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya
paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah,
jauh di kemudian hari, orang tidak lagi berperang
berhadap-hadapan dengan lawan, tetapi juga menyerang
sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa, laki-perempuan, tuamuda,
tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan
memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya
dilakukan agar pihak musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan,
penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika
manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling
membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi
pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah
salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil,
yang tercela harus dicela dan seterusnya.
“Wahai para kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang
bagimu. Di hadapananmu kini terbuka pintu gerbang
surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan Batara
Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu.
Ikutilah jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan
dharma kesatria. Bertempurlah dengan gembira untuk
mencapai kemuliaan dan kemasyhuran. Seorang kesatria
pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau usia
tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!” Demikian
kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan
perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana.
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua
pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-
kibar di udara. Di kereta Bhisma, sang Senapati
Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan
lima bintang emas. Di kereta Aswatthama tampak panjipanji
berlambang singa mengaum garang. Di kereta Drona
terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan
busur-panah warna kuning keemasan. Di kereta Duryodhana
berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryodhana
mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang
hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya
bergerak maju. Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang
banteng; sementara Jayadratha memilih lambang
babi hutan. Alangkah hebat dan megahnya panji-panji
pasukan Kaurawa yang berkibaran di udara. Hati siapa
yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan
Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra?
Mengetahui bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih
besar jumlahnya, Yudisthira menyampaikan pesan kepada
Arjuna agar menggunakan taktik-taktik pemusatan pasukan,
bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi
jarum.
Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan
di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang,
hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat
peperangan. Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung
keraguan dan kesedihan. Ia segera memberikan petuahpetuah
mulia untuk menguatkan tekad Arjuna dalam
menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus saudara-saudara
sepupunya.
Sesaat sebelum pertempuran dimulai, ketika segala senjata
siap digunakan untuk menyerang musuh, ketika ketegangan
jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah
berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung
kebesaran dari kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia
melangkah mendekati Senapati Agung Kaurawa.
Semua orang yang melihat perbuatan Yudhistira tercengang,
bingung, dan bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan
yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna
sangat terkejut dan segera turun dari keretanya lalu
mengejar Yudhistira. Krishna dan saudara-saudara Arjuna
yang lain mengikuti langkah Arjuna. Mereka cemas, kalaukalau
Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan,
demi tercapainya perdamaian.
Sambil mengejar dari belakang, dengan suara keras
Arjuna berseru kepada Yudhistira, “Hai, Raja Yang Kami
Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini? Tanpa
memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa
senjata, tanpa pengawal dan dengan berjalan kaki. Katakan,
apa maksudmu?!”
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia
tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke
tempat musuh.
Setelah memandang wajah Yudhistira beberapa saat
lamanya, Krishna yang mengetahui jiwa dan perasaan
manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra saat itu,
berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang, “Ya, aku
tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru
Drona dan para tetua lainnya untuk memohon restu
sebelum peperangan dahsyat dimulai. Apa yang dilakukannya
memang sesuai dengan sopan santun dan adat
kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan
dapat melakukan kewajiban kita di medan perang dengan
sebaik-baiknya.”
Pasukan Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang
tanpa senjata tanpa pengawal dan dengan kepala tunduk,
mengira kesatria itu datang untuk mencari penyelesaian
secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan
Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharmaputra
pengecut dan tindakannya membuat malu para
kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa orang seperti
Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria? Tetapi, ada
juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan
diperoleh dengan mudah, tanpa harus melancarkan satu
pukulan pun, karena Dharmaputra datang sendiri untuk
menyerah.
Yudhistira terus berjalan, menembus barisan pasukan
Kaurawa yang berderet tegap dan rapi, lengkap dengan
senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan
perang yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan
senapati agung itu, Yudhistira sujud dan menyembah kaki
Bhisma yang ia muliakan sambil berkata, “Kakek yang
kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini. Kami
memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang
tak tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon
restumu.”
“Cucuku, engkau terlahir sebagai keturunan Bharata.
Engkau bertindak mulia, sesuai tata krama para kesatria.
Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua ini. Aku bukan
prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh kewajibanku
terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa.
Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu,”
kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dharmaputra.
Setelah memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhistira
pergi menemui Mahaguru Drona. Sampai di hadapan
mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia sujud, menyembah
dan memohon restunya.
Mahaguru Drona berkata, “Wahai Dharmaputra, aku
tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan pribadi
telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita.
Aku terikat oleh kepentingan itu dan harus bertempur di
pihak Kaurawa. Tapi, engkau pasti menang. Bertempurlah
kalian dengan sepantasnya.”
Setelah mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira
pergi menghadap Mahaguru Kripa dan Raja Salya, pamannya,
untuk maksud yang sama. Setelah mendapat restu
dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa.
Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai.
Terjadi pertarungan satu lawan satu di antara para
kesatria perkasa dari kedua belah pihak: Bhisma lawan
Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma lawan
Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima
dan Drona lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan
dengan pasukan berkuda, pasukan gajah menghadapi
pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai undang-
undang dan aturan perang di masa itu.
Di samping pertempuran-pertempuran yang sesuai
dengan aturan-aturan perang di masa itu, perang bebas
juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari kedua
belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sankula
yuddha.
Demikianlah padang Kurukshetra telah menyaksikan
sankula yuddha yang tidak ada batasnya, lebih-lebih
setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan orangorang
yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri
lagi. Mereka saling membunuh dengan garang, benarbenar
haus darah, tidak peduli apa pun asal dapat memancung
leher lawan. Gemuruh kereta-kereta perang yang
dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang beradu,
desing ribuan anak panah yang melesat ke arah
lawan... semua itu menjadi pemandangan sehari-hari selama
berhari-hari di padang Kurukshetra yang amat luas!
***
belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing.
Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria,
mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan
perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap
lawan.
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang
berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian.
Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan
dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan
untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan
berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana
persaudaraan selama matahari berada dalam peraduannya.
Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang
harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata
atau mengepalkan tinju di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di
antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh
berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan normanorma
yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur
atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh
diserang atau dipukul lagi. Seorang prajurit berkuda hanya
boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian
pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit
yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang
seimbang.
Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang
lawan yang sedang bertarung satu lawan satu. Orang
yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata.
Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya
pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong
korban perang, tidak boleh diserang. Mereka yang lari
menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh.
Demikianlah beberapa aturan perang disepakati oleh
Kaurawa dan Pandawa dan diumumkan sebelum perang di
padang Kurukshetra dimulai.
Jauh di kemudian hari, tata krama perang tersebut
dilanggar sendiri oleh manusia. Begitu pula pengertian
tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk, tentang
kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh manusia
si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya
paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah,
jauh di kemudian hari, orang tidak lagi berperang
berhadap-hadapan dengan lawan, tetapi juga menyerang
sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa, laki-perempuan, tuamuda,
tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan
memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya
dilakukan agar pihak musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan,
penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika
manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling
membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi
pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah
salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil,
yang tercela harus dicela dan seterusnya.
“Wahai para kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang
bagimu. Di hadapananmu kini terbuka pintu gerbang
surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan Batara
Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu.
Ikutilah jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan
dharma kesatria. Bertempurlah dengan gembira untuk
mencapai kemuliaan dan kemasyhuran. Seorang kesatria
pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau usia
tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!” Demikian
kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan
perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana.
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua
pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-
kibar di udara. Di kereta Bhisma, sang Senapati
Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan
lima bintang emas. Di kereta Aswatthama tampak panjipanji
berlambang singa mengaum garang. Di kereta Drona
terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan
busur-panah warna kuning keemasan. Di kereta Duryodhana
berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryodhana
mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang
hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya
bergerak maju. Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang
banteng; sementara Jayadratha memilih lambang
babi hutan. Alangkah hebat dan megahnya panji-panji
pasukan Kaurawa yang berkibaran di udara. Hati siapa
yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan
Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra?
Mengetahui bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih
besar jumlahnya, Yudisthira menyampaikan pesan kepada
Arjuna agar menggunakan taktik-taktik pemusatan pasukan,
bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi
jarum.
Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan
di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang,
hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat
peperangan. Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung
keraguan dan kesedihan. Ia segera memberikan petuahpetuah
mulia untuk menguatkan tekad Arjuna dalam
menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus saudara-saudara
sepupunya.
Sesaat sebelum pertempuran dimulai, ketika segala senjata
siap digunakan untuk menyerang musuh, ketika ketegangan
jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah
berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung
kebesaran dari kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia
melangkah mendekati Senapati Agung Kaurawa.
Semua orang yang melihat perbuatan Yudhistira tercengang,
bingung, dan bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan
yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna
sangat terkejut dan segera turun dari keretanya lalu
mengejar Yudhistira. Krishna dan saudara-saudara Arjuna
yang lain mengikuti langkah Arjuna. Mereka cemas, kalaukalau
Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan,
demi tercapainya perdamaian.
Sambil mengejar dari belakang, dengan suara keras
Arjuna berseru kepada Yudhistira, “Hai, Raja Yang Kami
Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini? Tanpa
memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa
senjata, tanpa pengawal dan dengan berjalan kaki. Katakan,
apa maksudmu?!”
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia
tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke
tempat musuh.
Setelah memandang wajah Yudhistira beberapa saat
lamanya, Krishna yang mengetahui jiwa dan perasaan
manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra saat itu,
berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang, “Ya, aku
tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru
Drona dan para tetua lainnya untuk memohon restu
sebelum peperangan dahsyat dimulai. Apa yang dilakukannya
memang sesuai dengan sopan santun dan adat
kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan
dapat melakukan kewajiban kita di medan perang dengan
sebaik-baiknya.”
Pasukan Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang
tanpa senjata tanpa pengawal dan dengan kepala tunduk,
mengira kesatria itu datang untuk mencari penyelesaian
secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan
Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharmaputra
pengecut dan tindakannya membuat malu para
kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa orang seperti
Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria? Tetapi, ada
juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan
diperoleh dengan mudah, tanpa harus melancarkan satu
pukulan pun, karena Dharmaputra datang sendiri untuk
menyerah.
Yudhistira terus berjalan, menembus barisan pasukan
Kaurawa yang berderet tegap dan rapi, lengkap dengan
senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan
perang yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan
senapati agung itu, Yudhistira sujud dan menyembah kaki
Bhisma yang ia muliakan sambil berkata, “Kakek yang
kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini. Kami
memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang
tak tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon
restumu.”
“Cucuku, engkau terlahir sebagai keturunan Bharata.
Engkau bertindak mulia, sesuai tata krama para kesatria.
Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua ini. Aku bukan
prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh kewajibanku
terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa.
Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu,”
kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dharmaputra.
Setelah memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhistira
pergi menemui Mahaguru Drona. Sampai di hadapan
mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia sujud, menyembah
dan memohon restunya.
Mahaguru Drona berkata, “Wahai Dharmaputra, aku
tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan pribadi
telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita.
Aku terikat oleh kepentingan itu dan harus bertempur di
pihak Kaurawa. Tapi, engkau pasti menang. Bertempurlah
kalian dengan sepantasnya.”
Setelah mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira
pergi menghadap Mahaguru Kripa dan Raja Salya, pamannya,
untuk maksud yang sama. Setelah mendapat restu
dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa.
Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai.
Terjadi pertarungan satu lawan satu di antara para
kesatria perkasa dari kedua belah pihak: Bhisma lawan
Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma lawan
Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima
dan Drona lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan
dengan pasukan berkuda, pasukan gajah menghadapi
pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai undang-
undang dan aturan perang di masa itu.
Di samping pertempuran-pertempuran yang sesuai
dengan aturan-aturan perang di masa itu, perang bebas
juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari kedua
belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sankula
yuddha.
Demikianlah padang Kurukshetra telah menyaksikan
sankula yuddha yang tidak ada batasnya, lebih-lebih
setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan orangorang
yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri
lagi. Mereka saling membunuh dengan garang, benarbenar
haus darah, tidak peduli apa pun asal dapat memancung
leher lawan. Gemuruh kereta-kereta perang yang
dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang beradu,
desing ribuan anak panah yang melesat ke arah
lawan... semua itu menjadi pemandangan sehari-hari selama
berhari-hari di padang Kurukshetra yang amat luas!
***
Posting Komentar