MAHABARATA DEWABRATA
MAHABARATA DEWABRATA
“Siapakah dirimu, wahai sang dewi, jadilah istriku.”
Demikian kata Maharaja Sentanu kepada Dewi Gangga yang berdiri di hadapannya
dalam wujud manusia. Raja Sentanu terpesona kepada Dewi Gangga yang berdiri
dihadapannya dalam wujud manusia. Raja Sentanu terpesona pada kecantikan sang
dewi yang jauh melampaui kecantikan manusia biasa.
Dengan sepenuh hati sang raja meminang sang dewi. Sang Raja
berjanji akan mempersembahkan seluruh cinta, kekayaan, dan kerajaannya kepada
gadis jelita itu, bahkan jiwa raganya.
Dewi Gangga kemudian menjawab
“Wahai Paduka Raja, hamba bersedia menjadi istri Paduka
asalkan Paduka berjanji memenuhi syarat-syarat hamba.”
“Apakah itu?” tanya Raja Sentanu tak sabar.
“Pertama, jika hamba sudah menjadi istri Paduka, tak seorang
pun, tidak juga Paduka, boleh bertanya siapa sesungguhnya hamba dan dari mana
asal-usul hamba. Kedua, apa pun yang hamba lakukan — baik atau buruk, benar
atau salah, wajar atau ganjil— Paduka tidak boleh menghalang-halangi. Ketiga,
Tuanku tidak boleh marah kepada hamba — dengan alasan apa pun. Keempat, Paduka
tidak boleh mengatakan sesuatu yang membuat perasaan hamba tidak enak.
Lanjut Dewi Gangga
“Begitu Tuanku melanggar syarat-syarat itu — walau hanya
satu — hamba akan meninggalkan Tuanku saat itu juga. Apakah Tuanku setuju dan
bersedia berjanji untuk tidak melanggarnya ?”
Tanpa berpikir panjang, Raja Sentanu yang sedang dimabuk
asmara langsung bersumpah akan memenuhi semua syarat yang dikatakan Dewi
Gangga.
Demikianlah, tanpa mengenal siapa namanya dan tanpa
mengetahui dari mana asal-usulnya, Raja Sentanu mempersunting gadis jelita yang
ditemukannya di tepi Sungai Gangga. Dibawanya gadis itu ke istana dan
dinobatkannya menjadi permaisurinya.
Hari demi hari berlalu. Raja Sentanu semakin mencintai
permaisurinya yang jelita, lebih-lebih karena selain cantik, permaisurinya itu
sangat berbakti kepadanya dan halus tutur katanya. Kebahagiaan Sang Raja
semakin lengkap ketika tahu permaisurinya mengandung.
Sembilan bulan mereka lewatkan dengan penuh bahagia. Tak
terasa waktu berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya Dewi Gangga melahirkan.
Sang Dewi pamit kepada suaminya, mengatakan bahwa dia akan pergi menyendiri dan
melahirkan di tepi Sungai Gangga. Dia tak mau ditemani siapa pun, tidak juga
sang Raja.
Maka pergilah Dewi Gangga seorang diri. Sampai di tepi
sungai, dia mencari tempat yang teduh dan terlindung untuk melahirkan. Bayi
yang dilahirkannya langsung dibuangnya ke sungai. Setelah membersihkan diri,
sang Dewi kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah-olah tak terjadi
apa-apa.
Raja Sentanu menyambutnya dengan penuh harap. Hatinya
bahagia akan menyambut sang bayi, buah kasihnya dengan permaisuri yang
dicintainya. Tetapi, betapa kecewanya Raja melihat Dewi Gangga datang tanpa
sang bayi. Perasaan Baginda campur aduk. Heran, melihat istrinya kembali tanpa
sang bayi. Cemas, memikirkan nasib sang bayi. Murka, karena permaisurinya
tampak tenang dan tidak merasa bersalah. Raja merasa berdosa, karena tak kuasa
berbuat apa pun kecuali diam seribu bahasa. Tak berani bertanya. Tak berani
melanggar sumpah yang telah diucapkannya.
Raja Sentanu, yang terlanjur mencintai dan terpesona oleh
kecantikan permaisurinya, tak berani bertanya sepatah kata pun. Disambutnya
sang Dewi dengan mesra, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Mereka melanjutkan
kehidupan seperti biasa.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Dewi Gangga
kembali hamil dan ketika tiba saatnya melahirkan, sekali lagi dia mohon diri
hendak menyepi di tepi Sungai Gangga. Syarat yang diajukannya tetap sama: tak
seorang pun boleh mengikutinya.
Hal yang sama terulang. Sang Dewi kembali ke istana tanpa
menggendong bayi. Sang Raja, dengan perasaan tertekan, menyambut istrinya
seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Gangga dan bayi dewabrata
Demikianlah, kejadian itu berulang sampai tujuh kali.
Tetapi, pada kehamilan yang kedelapan, Raja Sentanu tak kuasa menahan diri
lagi. Sudah lama ia bertanya-tanya dalam hati, siapa dan dari mana asal
perempuan kejam yang menjadi istrinya itu. Di mana semua anak yang telah
dilahirkannya ? Sungguh kejam ibu yang menelantarkan bayi-bayinya.
Diam-diam Raja membuntuti istrinya ke tepi Sungai Gangga.
Alangkah terkejutnya Baginda melihat sang Dewi mengangkat bayi yang baru
dilahirkannya dan siap menceburkannya ke dalam sungai. Tanpa berpikir panjang
dan lupa akan sumpahnya, Baginda berteriak lantang, “Hentikan! Ini pembunuhan
kejam! Rupanya kau tega membunuh bayi-bayimu yang tidak berdosa!”
Sambil berteriak demikian, Raja mencengkeram tangan Dewi
Gangga, menahannya agar tidak melaksanakan perbuatan terkutuk itu.
“Wahai, Raja yang Agung! Kau telah melanggar janjimu padaku
karena hati dan perasaanmu telah tertambat pada bayi ini. Itu artinya, engkau
tidak menginginkan aku lagi. Baiklah, aku tidak akan membunuh bayi ini! Tetapi
sebelum aku pergi dan sebelum engkau menyimpulkan sesuatu tentang aku,
dengarkanlah ceritaku ini .
Aku adalah bidadari yang dipaksa memainkan lakon duka ini
karena sumpah Resi Wasistha. Sesungguhnya aku ini Batari Gangga yang dipuja
para dewa dan manusia. Resi Wasistha telah menimpakan kutuk-pastu kepada
delapan wasu yang akan terpaksa lahir ke bumi ini. Para wasu itu kemudian
memohon agar aku bersedia menjadi ibu mereka. Dengan perkenanmu, Raja Sentanu,
aku melahirkan mereka ke dunia, sebagai anak-anakmu. Sebagai balas budi karena
telah menolong mereka, kelak engkau akan mencapai tempat yang mulia tinggi di
alam baka.
Sekarang, aku akan membawa bayi ini dan mengasuhnya sampai
dia cukup besar dan tiba waktunya untuk kuserahkan kembali kepadamu. Anak ini
akan menjadi lambang dan kenangan atas cinta kita berdua.”
Setelah berkata demikian, Batari Gangga menghilang bersama
bayinya. Kelak, bayi itu dikenal dengan nama Bhisma dan menjadi kesatria sakti
yang termasyhur.
***
Beginilah kisah mengapa kedelapan wasu terkena kutuk Resi
Wasistha .
Pada suatu hari, kedelapan wasu itu berjalan-jalan di
pegunungan bersama istri-istri mereka. Di pegunungan itu terdapat pertapaan
Resi Wasistha. Mereka masuk ke pertapaan itu, tetapi sang Resi tidak ada. Di
pelatarannya, seorang wasu melihat Nandini, sapi kepunyaan sang Resi, sedang
makan rumput. Nandini tampak indah, sehat dan menawan .
Istri-istri para wasu itu terpesona oleh keelokan Nandini.
Salah seorang dari mereka meminta suaminya menangkap sapi itu .
Suaminya berkata, “Apa gunanya sapi itu bagi kita para Dewa?
Nandini adalah kepunyaan Resi Wasistha yang menguasai daerah ini. Karena
kesaktian sang Resi, susunya akan membuat orang yang meminumnya hidup abadi.
Tapi, apa gunanya bagi kita karena sebagai dewa kita sudah ditakdirkan hidup
abadi? Janganlah kita serakah. Biarkan sapi itu tenang merumput. Lagi pula, kalau
celaka kita bisa kena kutuk-pastu dan murka Resi Wasistha — hanya karena
menuruti hasrat dan kesenangan belaka.”
Tetapi istrinya tak mengindahkan hal itu. Ia berkata, “Aku
punya teman yang sangat kukasihi. Dia manusia biasa. Aku ingin memberikan susu
Nandini kepadanya agar ia bisa hidup abadi. Demi dialah aku memintamu menangkap
Nandini. Sebelum Resi Wasistha kembali ke pertapaan ini, kita sudah pergi jauh
dari sini sambil membawa sapi itu. Lakukanlah demi keinginanku, karena
permintaanku ini sangat berharga bagiku.”
Akhirnya, suaminya menurut. Kedelapan wasu itu bersama-sama
menangkap Nandini dan anaknya, lalu melarikannya jauh-jauh .
Ketika Resi Wasistha kembali ke pertapaan, Nandini dan
anaknya tak dilihatnya. Sapi kesayangannya itu hilang bersama seekor anaknya.
Sapi yang selama ini memberinya hidup dan tak dapat dipisahkan kegunaannya
dalam upacara persembahan setiap hari.
Berkat kekuatan yoganya, sang Resi mengetahui apa yang telah
terjadi. Alangkah murkanya dia. Dengan lantang ia mengucapkan kutuk-pastu,
mengutuk para wasu. Karena kutukan itu, para wasu akan terlahir ke dunia dan
hidup sebagai manusia yang menderita. Itulah hukuman bagi mereka yang telah
merampas satu-satunya harta berharga miliknya .
Ketika para wasu tahu bahwa mereka kena kutuk pastu, mereka
sangat menyesal. Tapi… penyesalan selalu datang terlambat. Segera mereka
kembali ke pertapaan Resi Wasistha, mengembalikan Nandini dan anaknya, lalu
bersimpuh di depan sang Resi, memohon ampun atas dosa mereka .
Resi Wasistha berkata, “Kutuk-pastu telah terucapkan dan
akan berlaku pada waktunya. Wasu yang melarikan sapiku akan hidup lama di dunia
dalam kemewahan dan kesenangan duniawi, tetapi wasu-wasu lain akan terlepas
dari kutuk ini segera setelah dilahirkan sebagai manusia. Aku tak bisa menarik
kutukanku, tetapi aku bisa melunakkannya.”
Kemudian Resi Wasistha bersemadi. Diatur napasnya,
ditenangkan pikirannya, dan diredakan amarahnya. Sesungguhnya, seorang resi
yang sedang ber-tapabrata memang bisa memperoleh kesaktian untuk mengutukpastu.
Tetapi, setiap kali ia menggunakan kesaktiannya untuk melontarkan kutuk-pastu,
derajat kesucian yang telah berhasil dicapainya akan berkurang .
Para wasu merasa lega karena ada kemungkinan kutukan itu
akan dilunakkan. Kemudian pergilah mereka menghadap Dewi Gangga dan memohon,
“Kami datang memujamu, Batari. Kami mohon, sudilah kiranya Batari menjadi ibu
kami. Kami mohon agar Batari bersedia turun ke mayapada dan menikah dengan
seorang raja. Kelak, satu per satu dari kami akan terlahir lewat rahim Paduka.
Dan, segera setelah kami lahir, buanglah kami ke dalam sungai agar kami
terbebas dari kutuk-pastu.”
Dewi Gangga mengabulkan permohonan mereka. Ia turun ke bumi,
di tepi Sungai Gangga. Di sana ia bertemu dengan Raja Sentanu yang kemudian
menyuntingnya menjadi permaisurinya .
***
Kembali ke kisah Dewi Gangga yang meninggalkan Raja Sentanu.
Sang Dewi menghilang bersama bayinya yang kedelapan dan tidak pernah muncul
kembali. Sejak itu, sang Raja meninggalkan kesenangan duniawi dan memerintah
kerajaannya dengan lebih bijaksana serta didasari semangat kerokhanian .
Pada suatu hari, Raja Sentanu berjalan-jalan di tepi Sungai
Gangga. Ia melamun, mengenangkan saat-saat pertemuannya dengan Dewi Gangga.
Sungguh kenangan yang sangat indah namun meninggalkan kepedihan di hati.
Kemudian dia melihat seorang anak laki-laki yang dikelilingi aura kemegahan dan
keagungan dari Dewendra, raja dari segala dewa dan batara, anak kecil yang
sedang tumbuh menjadi remaja. Anak itu sedang bermain panah. Berkali-kali ia
melepas anak panah-anak panah dari busurnya, mengarahkannya ke seberang Sungai
Gangga. Tak terlihat siapa-siapa di dekatnya. Begitu pula di seberang sungai.
Raja Sentanu takjub dan terharu melihat ketampanan dan ketangkasan anak itu.
Raja mendekati anak itu, ingin bertanya padanya. Tetapi… tiba-tiba dia melihat
Dewi Gangga muncul di hadapannya .
Dewi Gangga berkata dengan lemah lembut,
“Wahai, Paduka Raja, inilah anak kita yang kedelapan. Dia
kunamai Dewabrata ( Bhisma ) dan kuasuh hingga mahir berolah senjata, menguasai
ilmu perang dan memiliki kesaktian yang setara dengan kesaktian Parasurama. Ia
telah mempelajari Weda dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Kecuali itu, ia
juga menguasai kesenian, kebudayaan dan ilmu gaib Sanjiwini yang dikuasai
Sukra. Sambutlah anak ini. Terimalah dan asuhlah dalam istanamu. Kelak dia akan
menjadi kesatria besar, ahli siasat perang dan senapati agung.”
Posting Komentar