MAHABARATA Masing masing berkelompok.

MAHABARATA Masing masing berkelompok.


Sepeninggal Krishna, Dewi Kunti merasa sangat sedih
memikirkan anak-anaknya. Ia ngeri membayangkan
peperangan yang akan terjadi, yang tak mungkin dielakkan
lagi. Hatinya bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin aku
bisa menyatakan isi hatiku kepada anak-anakku? ‘Pikullah
segala penghinaan. Sebaiknya kita tidak usah meminta
pembagian kerajaan dan hindari peperangan?’
“Bagaimana mungkin anak-anakku bisa menerima pikiranku
yang bertentangan dengan tradisi kesatria? Tetapi
sebaliknya, apa yang akan diperoleh dari saling membunuh
dalam peperangan? Dan kebahagiaan seperti apa
yang akan dicapai setelah musnahnya bangsa ini? Bagaimana
aku harus menghadapi ini?”
Berbagai pertanyaan timbul di hati Dewi Kunti,
pertanyaan tentang peperangan, kemusnahan total dan
kehormatan kesatria.
“Bagaimana anak-anakku bisa mengalahkan bersatunya
tiga kekuatan kesatria Bhisma, Drona dan Karna?
Mereka adalah senapati-senapati perang yang belum pernah
terkalahkan.
“Bila kubayangkan semua ini, hatiku terasa pedih. Aku
tidak mengkhawatirkan kekuatan yang lain; hanya ketiga
kesatria itu yang sanggup membuat Kaurawa menang
melawan Pandawa.
“Dari ketiga kesatria itu, mungkin Mahaguru Drona
tidak akan membunuh anak-anakku, bekas murid-murid-
nya yang dikasihinya. Kakek Bhisma tentu tidak akan
sampai hati membunuh Pandawa. Tetapi, Karna adalah
musuh bebuyutan Pandawa. Ia sangat ingin menyenangkan
hati Duryodhana dengan membunuh anak-anakku.
“Karna sungguh tangkas berolah senjata perang, senjata
apa pun. Bila kubayangkan Karna bertempur melawan
anak-anakku, hatiku pedih sekali. Sepertinya sudah
waktunya aku menemui Karna dan mengatakan kepadanya
siapa sebenarnya dia. Kuharap, setelah tahu asalusulnya
ia mau meninggalkan Duryodhana.”
Maka pergilah Dewi Kunti untuk menemui Karna. Ia
pergi ke tepi Sungai Gangga, ke tempat Karna setiap hari
melakukan pemujaan kepada dewata. Benarlah, Karna
tampak sedang bersamadi menghadap ke timur, kedua
tangannya tertangkup dalam sikap menyembah. Dengan
sabar Dewi Kunti menunggu Karna selesai bersamadi.
Sungguh khusyuk bersamadi, hingga Karna tak merasa
bahwa sinar matahari telah naik sampai di atas punggungnya.
Setelah selesai bersembahyang, Karna berdiri. Barulah
ia melihat Dewi Kunti menunggu di belakangnya, di bawah
terik matahari. Segera ia melepas bajunya untuk melindungi
kepala Dewi Kunti dari panas matahari. Karna menduga
permaisuri Pandu itu telah lama menunggunya. Ia
agak bingung, menebak-nebak apa maksud kedatangan
ibu Pandawa itu.
Kemudian ia berkata, “Anak Rada dan Adhirata, sais
kereta, menyembah engkau. Wahai Ratu Kunti, apa yang
dapat kulakukan demi pengabdianku kepadamu?”
“Ketahuilah, Karna, sesungguhnya engkau bukan anak
Rada dan Adhirata bukan ayahmu,” kata Dewi Kunti.
“Janganlah berpikir bahwa dirimu berasal dari keturunan
sais kereta. Sesungguhnya, engkau adalah putra Batara
Surya, Dewa Matahari. Engkau lahir dari kandungan Pritha,
putri bangsawan yang dikenal dengan nama Kunti.
Semoga engkau diberkahi keselamatan dan kesejahteraan.”
Saking kagetnya mendengar kata-kata Dewi Kunti,
Karna terdiam, terpana, tak sanggup berkata-kata.
Kemudian Dewi Kunti melanjutkan, “Engkau dilahirkan
lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas.
Karena engkau tidak tahu bahwa Pandawa adalah saudara-
saudaramu seibu, engkau memihak Duryodhana dan
membenci Pandawa. Hidup menggantungkan diri pada
belas kasihan anak-anak Dritarastra tidaklah patut bagimu.
Bergabunglah dengan Arjuna dan kau akan bisa memerintah
sebuah kerajaan di dunia ini. Semoga engkau
dan Arjuna bisa menghancurkan mereka yang jahat dan
tidak adil. Seisi dunia pasti akan menghormati kalian
berdua. Kalian akan disegani banyak orang, seperti Krishna
dan Balarama. Dikelilingi kelima saudaramu, kemasyhuranmu
akan seperti keagungan Brahma di antara para
dewa. Dalam situasi kalut seperti sekarang, orang harus
menurut nasihat orangtua yang mencintainya. Itulah
kewajiban utama setiap anak, sesuai dharma dan ajaran
kitab-kitab suci.”
Ketika ibunya bercerita tentang asal usul kelahirannya,
Karna merasakan sesuatu dalam hatinya: Dewa Matahari
membenarkan kata-kata Dewi Kunti! Tetapi ia menahan
diri dan menganggap kabar itu sebagai ujian dari Batara
Surya terhadap kesetiaan dan keteguhan hatinya. Ia
bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Dengan kemauan keras ia dapat mengatasi keinginan
untuk mendahulukan kepentingannya sendiri, untuk
membalas cinta ibunya, untuk bergabung dengan Pandawa.
Maka, dengan hati sedih namun teguh ia berkata, “Ibu,
apa yang engkau katakan itu berlawanan dengan dharma.
Apabila sekarang aku menghindari kewajibanku, berarti
aku akan menyakiti diriku lebih parah dari apa yang dapat
dilakukan musuhku terhadap diriku. Ibu telah merenggut
segala hak kelahiranku sebagai kesatria dengan melemparkan
aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa
sekarang engkau bicara tentang tugasku sebagai kesatria?
Engkau tidak pernah mencintaiku dengan cinta ibu yang
merupakan hak setiap anak yang terlahir di dunia. Induk
binatang saja tak pernah membuang anaknya; mengapa
engkau membuangku?
“Sekarang, ketika engkau mencemaskan nasib anakanakmu
yang lain, kauceritakan semua ini kepadaku.
Seandainya sekarang aku menggabungkan diri dengan
Pandawa, bukankah dunia akan mengutuk aku sebagai
pengecut?
“Selama ini aku dihidupi oleh anak-anak Dritarastra.
Aku dipercaya mereka sebagai sekutu yang setia. Aku
berutang budi pada mereka. Semua harta dan kehormatan
yang kumiliki kuperoleh dari mereka. Sekarang, ketika
perang akan meletus dan aku harus membela Kaurawa,
engkau menghendaki agar aku mengkhianati Kaurawa,
menyeberang ke pihak Pandawa. Ibu, mengapa kau minta
aku mengkhianati garam yang telah kumakan?
“Anak-anak Dritarastra memandang aku sebagai jaminan
kemenangan mereka dalam peperangan yang akan
datang. Aku tidak pernah mendorong mereka untuk berperang.
Katakan, adakah yang lebih hina daripada mengkhianati
orang yang telah menolong kita? Katakan, adakah
yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas
budi? Ibuku tercinta, aku harus membayar hutangku, bila
perlu dengan nyawaku. Kalau tidak, aku ini ibarat perampok
yang hidup dari hasil curian dan rampasan selama
bertahun-tahun. Tentu aku akan menggunakan segala
kekuatanku untuk melawan anak-anakmu dalam perang
nanti.
“Aku tidak akan mengkhianati siapa pun. Aku tidak
akan menipu engkau dan diriku sendiri. Ampunilah aku,”
kata Karna dengan lembut tetapi tegas. “Biarpun demikian,
aku tidak akan menyia-nyiakan permintaan ibuku. Soalnya
adalah antara aku dan Arjuna. Dia atau aku yang
harus mati dalam pertempuran nanti.
“Ibu, aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu
yang lain, apa pun yang mereka perbuat terhadap diriku.
Wahai ibu para kesatria, anakmu takkan berkurang, tetap
lima. Salah satu dari kami, aku atau Arjuna, akan tetap
hidup setelah perang usai.”
Mendengar kata-katanya yang demikian tegas dan
sesuai dengan norma-norma kesatria, hati Dewi Kunti
semakin sedih dan pikirannya diliputi pergulatan yang
makin menajam. Ia tidak kuasa berkata-kata. Dipeluknya
Karna dengan kasih ibu yang melimpah-limpah. Hatinya
hancur membayangkan kedua anaknya akan bertanding,
bunuh-membunuh. Hatinya terharu melihat keteguhan
Karna dalam menjalani takdir hidupnya. Akhirnya ia pergi
meninggalkan putra Batara Surya tanpa berkata-kata lagi.
“Siapakah yang dapat menentang suratan nasibnya?
Semoga Hyang Widhi melindungimu,” katanya dalam hati.
***
Raja Negeri Widharba mempunyai lima anak laki-laki dan
seorang anak perempuan bernama Rukmini yang terkenal
cantik, menarik, dan berkemauan keras. Rukmini ingin
sekali menjadi istri Krishna dan sudah mendapat restu
seluruh keluarganya, kecuali dari Rukma, kakaknya yang
tertua dan ahli waris ayahnya. Dengan segala cara Rukma
menentang niat Rukmini untuk menikah dengan Krishna,
raja Negeri Dwaraka, karena ia berniat mengawinkan adiknya
itu dengan Sisupala, raja Negeri Cedi. Karena Bhismaka,
raja Negeri Widharba, sudah tua, maka segala sesuatunya
diputuskan oleh Rukma.
Mengetahui ayahnya tidak berdaya dan dirinya akan
dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya,
diam-diam Rukmini meminta bantuan seorang brahmana
untuk menghubungi Krishna. Maka berangkatlah brahmana
itu ke Dwaraka untuk menyampaikan surat Rukmini
kepada Krishna dan mengabarkan rencana Rukma yang
hendak mengawinkan adiknya dengan Sisupala. Beginilah
bunyi surat Rukmini,
“Hatiku telah kuserahkan kepadamu dan aku bersedia
menjadi hambamu. Engkau adalah dewaku. Aku mengharapkan
kedatanganmu segera, sebelum Sisupala mengambil
aku dengan paksa. Jangan menunda-nunda. Balatentara
Sisupala dan balatentara Jarasanda akan menggempur
engkau jika terlambat menjemputku. Kakakku telah
memutuskan untuk mengawinkan aku dengan Sisupala.
Pada hari perkawinanku, aku akan pergi ke pura bersama
dayang-dayangku untuk memuja Batari Laksmi. Saat
itulah yang terbaik bagimu untuk melarikan aku. Apabila
engkau tidak datang, aku akan mengakhiri hidupku dengan
harapan setidak-tidaknya aku bisa bertemu denganmu
dalam inkarnasi yang akan datang. Semoga engkau
berhasil.”
Mendengar cerita brahmana itu dan membaca surat
Rukmini, Krishna segera menyiapkan keretanya dan berangkat
ke Kundinapura, ibukota Negeri Widharba. Sampai
di sana dilihatnya Kundinapura telah dihias dengan indah
dan meriah untuk menyambut upacara perkawinan Rukmini
dengan Sisupala.
Keberangkatan Krishna yang diam-diam itu diketahui
oleh saudaranya, Balarama. Ia memang tahu tentang
hubungan antara Krishna dengan Rukmini. Ia juga tahu
bahwa di Kundinapura sedang dipersiapkan upacara perkawinan
Rukmini dengan Sisupala. Ia juga tahu bahwa
Sisupala dan Jarasandha adalah musuh bebuyutan Krishna.
Balarama mendapat firasat jelek. Karena itu, ia tidak
bisa membiarkan Krishna pergi sendirian tanpa pengawalan.
Segera diperintahkannya para senapatinya mengumpulkan
pasukan dalam jumlah besar. Diiringkan balatentara,
Balarama menyusul adiknya ke Kundinapura.
Pada hari perkawinannya, Rukmini berangkat ke pura
diiringkan dayang-dayangnya. Selesai bersembahyang, ia
keluar dari pintu gerbang pura sambil melihat ke sekelilingnya
dengan waspada. Tidak jauh dari pintu gerbang, ia
melihat kereta Krishna. Segera saja Rukmini lari sekencang-
kencangnya menuju kereta itu dan menaikinya
dengan bantuan Krishna. Kereta langsung dipacu kencang.
Para dayang dan pengawal istana sangat terkejut dan
hanya bisa terpaku menyaksikan kejadian yang begitu
singkat.
Rukma yang diberitahu tentang kejadian itu marah. Ia
memerintahkan balatentaranya mengejar Krishna, “Aku
bersumpah tak akan pulang sebelum berhasil membunuh
Krishna.”
Sementara itu, balatentara Balarama sudah sampai di
pinggiran Kundinapura. Maka terjadilah pertempuran
sengit. Balatentara Rukma dapat dimusnahkan. Kemudian
Krishna dan Balarama kembali ke Dwaraka dengan membawa
kemenangan. Lebih dari itu, Krishna berhasil melarikan
Rukmini.
Karena amat malu, Rukma tidak kembali ke Kundinapura
melainkan tinggal di bekas medan pertempuran. Di
sana ia membangun ibukota yang dinamakan Bojakota.
Kelak di kemudian hari, ia mendengar tentang persiapan
perang di Kurukshetra. Bersama seluruh balatentaranya,
ia pergi ke Upaplawya dengan maksud menawarkan bantuan
kepada Pandawa. Kecuali itu, ia juga ingin menjalin
persahabatan dengan iparnya, Krishna.
Sampai di sana ia menemui Arjuna. Dengan sombong ia
berkata, “Wahai Pandawa, balatentara musuhmu sangat
besar. Aku datang untuk membantumu. Beri aku perintah,
aku akan hancurkan semua musuhmu. Aku sanggup
menggempur Drona, Kripa, dan Bhisma. Aku akan memenangkan
perang untukmu. Katakan saja apa maumu.”
Arjuna sekilas memandang Krishna, lalu menjawab
sambil tersenyum, “Tuanku Raja Bojakota, kami tidak gentar
menghadapi kekuatan musuh. Kami tidak membutuhkan
bantuanmu. Silakan engkau memilih, kembali ke
negerimu atau tinggal di sini. Terserah engkau.”
Mendengar jawaban Arjuna, Rukma tersinggung sekaligus
merasa malu. Tanpa bicara apa-apa ia langsung pergi
meninggalkan Upaplawya. Diiringkan balatentaranya, ia
pergi ke pesanggrahan Duryodhana.
“Bukankah engkau kemari setelah ditolak oleh Pandawa?
Apakah pantas aku menerima kesatria yang telah
ditolak Pandawa? Tidak, aku tidak butuh engkau!” jawab
Duryodhana singkat dengan nada berang.
Rukma sangat malu ditolak oleh Pandawa dan Kaurawa.
Akhirnya ia kembali ke Bojakota dan menghindarkan diri
dari perang besar yang akan berlangsung. Seperti Balarama,
ia memilih bersikap tidak memihak. Sikap tidak berpihak
seperti itu sebenarnya bisa disebabkan oleh beberapa
hal, misalnya karena terdorong oleh keinginan atau
ambisi pribadi, karena tidak setuju adanya perang, karena
mementingkan panggilan suci dan dharma, atau karena
sebab yang lain.
Dalam menentukan senapati yang memimpin pasukan
perang, setiap orang diteliti dan dibicarakan kelemahan
dan kekuatannya. Di pihak Kaurawa, pembicaraan sampai
ke nama Karna. Selama ini, tak seorang pun berani menegur
Karna yang membanggakan dirinya secara berlebihan.
Semua enggan untuk berterus terang memperingatkannya,
kecuali Bhisma.
“Karna telah menerima kasih sayangmu,” kata Bhisma
kepada Duryodhana.
“Tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Aku tidak
suka kebenciannya yang begitu mendalam kepada Pandawa
dan sikapnya yang sangat sombong dan selalu membanggakan
kesaktiannya. Sudah sering Karna, karena
sikapnya itu, membuat orang lain tersinggung dan terhina.
“Aku tidak setuju jika ia diangkat menjadi Senapati
Agung balatentara Kaurawa. Lagi pula, senjata saktinya
itu, satu-satunya miliknya, sudah dibawanya sejak kelahirannya.
Senjata itu telah terkena kutuk-pastu dari Parasurama.
Ia akan gagal menggunakan senjata dahsyatnya
itu di saat kita membutuhkan dia. Ia pasti tidak akan
mampu mengingat mantra yang harus diucapkannya. Pertempurannya
melawan Arjuna akan menewaskannya.
Karena itu, ia tidak akan banyak berguna bagiku,” demikian
kata Bhisma terus terang.
Duryodhana dan Karna menganggap kata-kata Bhisma
terlalu tajam dan menyakitkan hati. Mereka semakin sakit
hati karena pendapat Drona sama dengan pendapat Bhisma.
Kata Drona, “Karna terlalu sombong. Itu bisa membuat
dia lupa akan soal-soal kecil yang sangat penting
dalam strategi kita. Karena kecongkakannya, ia bisa
gegabah, kurang hati-hati, dan akhirnya mengalami
kekalahan.”
Karna sangat tersinggung mendengar kata-kata Bhisma
dan Drona. Dengan wajah merah padam ia memandang
Bhisma dan berkata dengan marah, “Dasar tua bangka!
Selalu saja kau mencari kesempatan untuk menghina aku
karena kau benci dan iri padaku. Kau selalu menggunakan
kesempatan untuk mempermalukan aku di depan orang
banyak. Selama ini aku selalu diam, tidak pernah
menyangkal. Selama ini aku telan segala penghinaanmu,
demi kesetiaanku kepada Duryodhana. Engkau katakan
aku tidak akan banyak berguna dalam pertempuran yang
akan datang.
“Baiklah kukatakan kepada kalian semua. Aku yakin,
Bhisma —bukan aku— yang akan menyebabkan Kaurawa
kalah! Kenapa engkau sembunyikan perasaanmu yang
sesungguhnya? Kenyataan menunjukkan, engkau sama
sekali tidak menyayangi Duryodhana meskipun ia tidak
menyadarinya. Karena engkau membenci aku, engkau
selalu berusaha memisahkan dan mempertentangkan aku
dan Duryodhana. Kau selalu berusaha meracuni pikiran
Duryodhana agar ia membenci aku. Demi pikiran busukmu,
kau selalu mengecilkan kesaktianku dan menghinaku
serendah-rendahnya.
“Engkau sendirilah yang bertingkah laku hina, sikap
yang tak pantas untuk seorang kesatria. Umur bukan
ukuran untuk menentukan kehormatan seseorang dalam
lingkungan para kesatria, tetapi kesaktian dan keperwiraan.
Hentikan usahamu untuk meracuni hubungan kami,
hubunganku dengan Duryodhana!”
Sambil menoleh kepada Duryodhana, Karna terus
menumpahkan isi hatinya, “Wahai kesatria perkasa,
renungkan baik-baik! Demi kemuliaan dan keagunganmu
sendiri, jangan terlalu percaya kepada kakek tua itu. Ia
mencoba menyebarkan benih perpecahan di antara kita.
Penilaiannya terhadap diriku akan melukai perjalanan
hidupmu selanjutnya. Dengan merendahkan aku, ia mencoba
membunuh semangatku. Sesungguhnya, dialah yang
sudah berkarat. Umurnya sudah banyak dan raganya sudah
rapuh. Kecongkakannya membuat orang tidak menghormatinya
lagi.
“Seperti diajarkan dalam kitab suci, ada masanya ketika
umur membuat pikiran jadi berkarat. Ibarat buah yang
matang menjadi rapuh, jatuh dan membusuk. Bila engkau
memilih Bhisma sebagai Senapati Agung Kaurawa, aku
takkan sudi mengangkat senjata. Aku baru mau bertindak
setelah ia tewas di medan perang!”
Sambil menahan amarah, Bhisma menjawab, “Wahai
Putra Batara Surya, kini kita berada dalam situasi pelik.
Itu sebabnya engkau takkan mati sekarang. Sesungguhnya
engkaulah biang keladi segala keonaran dalam lingkungan
Kaurawa.”
Duryodhana sangat kecewa menyaksikan pertikaian
mulut itu, kemudian ia berkata kepada Bhisma, “Wahai
Putra Dewi Gangga, aku membutuhkan bantuanmu. Juga
kau, Karna. Kalian adalah kesatria hebat dan perkasa.
Besok, pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, perang
akan diumumkan. Jangan sampai ada perselisihan di
antara kita, terlebih-lebih karena kita tahu, musuh kita
sangat kuat.”
Karna menolak untuk mengangkat senjata karena Bhisma
yang diangkat sebagai Senapati Agung pasukan Kaurawa.
Duryodhana tidak bisa melunakkan hati Karna yang
berkeras pada sumpahnya, yaitu selama Bhisma menjadi
Senapati Agung, ia tidak akan ikut berperang melawan
Pandawa.
Demikianlah watak Karna: sombong tapi tidak menyadari
kesombongannya dan malah menuduh orang lain
menyalahkan dirinya. Penilaiannya selalu diliputi oleh
keangkuhan. Demikianlah orang yang angkuh dan congkak
akan selalu merendahkan orang lain dan menyalahkan
siapa pun yang berani menunjukkan kelemahan-kelemahannya.

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger