MAHABARATA Ksatria Tangguh

MAHABARATA Ksatria Tangguh

Ketidakhadiran Arjuna di samping mereka, menyebabkan
Draupadi, Bhima dan Sahadewa sering mengeluh.
Draupadi merasa bahwa hutan Kamyaka tidak menarik
lagi tanpa kehadiran Arjuna, Bhima merasa tidak tenang
dan Sahadewa mengusulkan agar mereka pindah ke hutan
lain karena di hutan itu terlalu banyak kenangan akan
Arjuna yang saat itu pergi jauh.
Yudhistira berkata kepada Dhaumnya, pendita dan
penasihatnya, “Aku utus Arjuna mendaki Gunung Himalaya,
mencari senjata pamungkas yang sakti untuk menaklukkan
Bhisma, Drona, Kripa dan Aswatthama. Kita tahu,
para mahaguru itu pasti memihak putra-putra Dritarastra.
Karna tahu rahasia semua senjata sakti dan keinginannya
yang terutama adalah bertanding melawan Arjuna dan
mengalahkannya. Karena itu, aku utus Arjuna menghadap
Batara Indra untuk memohon senjata pamungkas darinya.
Kita tahu, kesatria-kesatria Kaurawa tidak bisa ditundukkan
dengan senjata biasa.
“Arjuna telah lama pergi dan kini hutan ini terasa menjemukan.
Kami ingin pergi ke hutan lain untuk menenangkan
pikiran dan meredakan kegelisahan kami karena Arjuna
tak kunjung pulang. Apakah Pendita dapat menyarankan,
ke mana sebaiknya kita pergi?”
Resi Dhaumnya memberi gambaran tentang hutanhutan
dan tempat-tempat suci lainnya. Setelah mempersiapkan
diri, Pandawa pergi ke hutan lain untuk melewatkan
hari-hari yang harus mereka jalani selama masa pengasingan.
Mereka mengembara, keluar-masuk hutan, menjelajahi
padang-padang rumput, dan akhirnya sampai ke
kaki Gunung Himalaya yang tertutup hutan lebat dengan
jurang-jurang dalam dan lembah-lembah sempit.
Pada suatu hari, Draupadi terlalu letih setelah berjalan
berhari-hari. Ia tak sanggup melangkahkan kaki lagi. Yudhistira
yang melihatnya menyuruh Bhima, Sahadewa dan
Gatotkaca, putra Bhima, untuk menemani Draupadi
beristirahat di Ganggadwara. Dia sendiri akan meneruskan
perjalanan bersama Resi Lomasa dan Nakula. Bhima tidak
setuju dengan usul itu karena ia sangat merindukan
Arjuna. Kecuali itu, tidak dapat membiarkan Yudhistira
pergi hanya bertiga, menembus hutan lebat yang dihuni
raksasa, binatang buas dan makhluk-makhluk jahat
lainnya. Meskipun perjalanan mereka akan semakin berat,
Bhima berkata bahwa ia dan Gatotkaca masih sanggup
memikul Draupadi, Nakula dan Sahadewa. Akhirnya diputuskan
untuk menjelajahi hutan itu bersama-sama, apa
pun yang terjadi.
Demikianlah Pandawa meneruskan perjalanan menembus
hutan sampai tiba di Kulinda, di wilayah Kerajaan
Subahu, di kaki Gunung Himalaya. Pandawa disambut
dengan penuh penghormatan oleh Raja Subahu dan beristirahat
beberapa hari di negeri itu. Kemudian mereka
meneruskan perjalanan masuk ke hutan Narayansrama. Di
dalam hutan itu mereka berhenti untuk beristirahat beberapa
hari.
Pada suatu hari, angin bertiup kencang dari timur laut,
membawa bunga-bunga, daun-daunan dan ranting-ranting
kering. Tiba-tiba sekuntum kembang yang terbawa angin
jatuh di pangkuan Draupadi. Bunga itu menebarkan keharuman
yang lembut menawan hati. Draupadi memanggil
Bhima dan berkata, “Kemarilah, mendekatlah padaku dan
lihatlah! Alangkah harumnya bunga ini! Alangkah indahnya!
Kelak kalau kita kembali ke Kamyaka, akan kutanam
bunga ini di sana. Maukah engkau mencarikan pohonnya?”
Bhima menyanggupi lalu pergi mencari pohon yang
kembangnya membuat Draupadi terpesona. Ia berjalan ke
arah datangnya angin. Setelah berjalan cukup jauh, ia
sampai di kaki sebuah bukit. Di hadapannya ia melihat
semak-semak dan pepohonan rebah. Bhima mendekat dan
melihat seekor kera besar berbulu indah bercahaya sedang
berbaring tak bergerak. Demikian besarnya kera itu hingga
Bhima tak bisa melangkah maju.
Ia mencoba mengusir binatang itu dengan berteriakteriak,
tetapi kera itu tetap saja berbaring. Sambil membuka
sebelah mata, kera itu berkata, “Aku sedang sakit,
karena itu aku berbaring di sini. Mengapa engkau membangunkan
aku? Engkau manusia bijaksana, aku hanya
binatang. Sebagai manusia yang berakal budi, seharusnya
engkau berbelaskasihan pada binatang, makhluk yang
lebih rendah derajatnya daripadamu. Jangan-jangan kau
tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Siapakah
engkau dan hendak ke manakah engkau? Kau tak bisa
meneruskan perjalanan lewat bukit ini, karena ini jalan
khusus untuk para dewata. Tak ada manusia di sini. Kalau
engkau memang pandai dan berakal budi, kau pasti
memilih kembali.”
Bhima merasa diremehkan. Ia marah dan berteriak,
“Siapa sebenarnya engkau, hai kera?! Mengapa omong
besar seperti itu? Aku ini kesatria keturunan bangsa Kuru
dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, aku ini putra Dewa
Angin. Enyahlah kau dari sini; kalau tidak, engkau akan
kubinasakan.”
Mendengar bentakan Bhima, kera itu tersenyum dan
berkata, “Memang benar katamu, aku hanya seekor kera.
Tetapi, percayalah, kau akan menemui kehancuran jika
tetap memaksa lewat.”
Bhima menjawab, “Aku tak sudi mendengarkan katakatamu.
Apa pedulimu? Aku siap mati melawanmu.
Bangun dan minggirlah. Jika kau bersikeras, aku akan
memaksamu.”
Kera itu berkata lagi, “Aku tak punya kekuatan lagi
untuk bangun. Aku sudah tua. Kalau kau memang mau
lewat, langkahi saja aku.”
Bhima menjawab, “Tidak ada jalan yang lebih mudah
dari itu. Tetapi kitab-kitab suci melarang orang berbuat
demikian. Kalau tidak, pasti aku sudah loncati engkau dan
bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, seperti Hanuman
melompati lautan.”
Kera itu tampak kaget, lalu bertanya, “Wahai kesatria
budiman, siapakah Hanuman yang mampu melompati
lautan? Ceritakan padaku!’
“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Hanuman
adalah kakakku yang berhasil melompati lautan dan
menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi Sita, istri
Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan
maupun keperwiraan. Ah, mengapa aku jadi lama berbincang
denganmu? Sekarang, bergeserlah jangan menghalangiku.
Jangan membuat aku marah dan terpaksa berkelahi
denganmu,” kata Bhima.
“Sabarlah, hai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit.
Tak ada salahnya bersikap lembut meskipun engkau kuat
dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan yang tua. Aku
sungguh tak mampu bangun sebab badanku telah tua dan
rapuh. Kalau engkau tidak mau meloncati aku, tolong
singkirkan ekorku ke samping dan carilah jalan untuk
lewat,” kata kera itu dengan tenang.
Bangga akan kekuatannya sendiri, Bhima bermaksud
menarik ekor kera itu keras-keras dan menyingkirkannya.
Tetapi, sungguh ia tak mengira. Walaupun telah mengerahkan
seluruh tenaganya, sampai otot-ototnya terasa ngilu,
sedikit pun ia tak mampu menggeser ekor kera itu. Bhima
menjadi sadar. Ia merasa malu. Sambil menundukkan
kepala ia memberi hormat dan bertanya, “Siapakah
engkau? Apakah engkau ini siddha, dewa, atau raksasa?”
Kera itu menjawab, “Wahai Pandawa perkasa, ketahuilah
aku ini saudaramu, Hanuman, anak Batara Bayu, sang
Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, engkau pasti telah
meneruskan perjalanan dan sampai ke dunia gaib yang
dihuni raksasa dan yaksha. Engkau pasti menemui malapetaka
di sana. Karena itulah aku menghalangimu. Tak
ada manusia yang bisa selamat melewati batas ini. Sekarang,
pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai
yang membelah lembah itu tumbuh pohon Saugandhika
yang kaucari.”
Mendengar itu, Bhima sangat bahagia. Jantungnya
berdegup kencang, sekujur tubuhnya terasa hangat.
Hanuman bangkit lalu menarik napas panjang. Tiba-tiba,
badannya membesar bagaikan gunung, seakan-akan
memenuhi hutan itu. Bhima silau memandang Hanuman
yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya
gemilang.
Hanuman berkata, “Bhima, di hadapan musuh badanku
bisa bertambah besar lagi.”
Kemudian ia mengembuskan napas dan berdiri di depan
Bhima. Badannya kembali mengecil, kembali ke ukuran
biasa. Hanuman kemudian memeluk Bhimasena. Ketika
berpelukan, dua bersaudara itu masing-masing merasa
mendapat kekuatan berlipat ganda.
Hanuman berkata, “Wahai kesatria, kembalilah kepada
keluargamu. Pikirkan aku jika kau memerlukan pertolonganku.
Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu,
Saudaraku. Aku merasa seperti bertemu Sri Rama yang
suci raganya.”
Bhima menjawab, “Berbahagialah Pandawa sebab aku
telah mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu.
Berkat pengaruh kekuatanmu, aku yakin kami pasti bisa
mengalahkan musuh-musuh kami.”
“Kelak dalam pertempuran besar, jika kau meraung
seperti singa jantan, suaraku akan berpadu dengan suaramu,
menggelegar di angkasa dan menyebabkan musuhmusuhmu
gemetar ketakutan. Aku akan hadir di dekat
bendera kereta Arjuna. Engkau pasti menang!” kata
Hanuman seraya menunjukkan jalan ke tempat tumbuhnya
pohon kembang Saugandhika.
Setelah berpamitan, Bhima melanjutkan perjalanan
mencari pohon Saugandhika yang diinginkan Draupadi.
Sementara Bhima pergi mencari pohon kembang yang
diinginkan Draupadi, Pandawa dikunjungi Resi Markandeya.
Resi itu bertemu dan bercakap-cakap dengan
Yudhistira. Hal yang mereka bicarakan adalah wanita.
“Adakah yang lebih mengagumkan daripada kesabaran
dan kesucian hati wanita? Ia yang melahirkan anak, setelah
sembilan bulan menunggu dengan penuh kasih sayang
dan kecemasan. Sebagai ibu, ia mengasuh dan membesarkan
anaknya dengan cinta yang melebihi cintanya pada
hidupnya sendiri? Ia serahkan anaknya kepada dunia
dengan penuh penderitaan dan kecemasan. Ia selalu memikirkan
dan berusaha menjaga kesehatan serta kebahagiaan
anaknya. Dengan jiwa besar dan penuh pengampunan
wanita tetap mencintai suaminya, meskipun suaminya
jahat, menyia-nyiakannya, memarahinya dan menyiksanya.
Alangkah anehnya dunia ini!”
Demikianlah percakapan itu dimulai. Kemudian Resi
Markandeya bercerita.
“Ada seorang brahmana bernama Kausika. Ia sangat
taat pada sumpahnya sebagai brahmacharin. Setiap hari ia
tekun bekerja, belajar, dan menyiapkan upacara persembahyangan.
“Pada suatu hari, ketika ia sedang membaca Weda di
bawah sebatang pohon, seekor burung hinggap di dahan
pohon itu. Burung itu membuang kotoran, jatuh tepat di
kepala Kausika. Brahmana itu marah karena kepalanya
kena kotoran burung. Dengan kekuatan sorot matanya
yang merah didorong amarah, ia memandang burung itu
hingga burung itu jatuh dan mati. Kausika menyesal.
Hatinya sedih karena terlanjur membunuh burung yang
tidak berdosa itu dengan melampiaskan pikiran jahat dan
kemarahannya.
“Sesuai tradisi, sebagai brahmacharin, Kausika harus
hidup dari meminta-minta. Pada suatu hari ia pergi
meminta-minta ke sebuah rumah. Dia duduk di ambang
pintu rumah itu, menunggu diberi sedekah. Lelaki kepala
keluarga itu sedang bepergian dan istrinya sedang sibuk
membersihkan perabot dan alat-alat dapur. Ia meminta
sang brahmana menunggu sebentar. Ketika itu tahu-tahu
suaminya datang. Karena lelah dan lapar, ia langsung
minta makan kepada istrinya. Sudah sewajarnya, perempuan
itu melayani suaminya yang baru pulang. Karena
kesibukannya, ia seperti lupa pada sang brahmana. Tetapi
rupanya tidak demikian. Setelah suaminya selesai makan,
ia menemui Kausika yang sudah lama menunggu. Ia
meminta maaf karena kesibukannya tadi dan kini siap
melayani brahmana itu.
“Kausika marah karena dibiarkan menunggu lama. Ia
berkata, ‘Ibu, engkau telah membiarkan aku menunggu
terlalu lama. Sikapmu itu tidak adil.’
“Sekali lagi perempuan itu minta maaf, tetapi rupanya
Kausika belum puas marah-marah. Katanya menyindir,
‘Benar, tugas seorang istri adalah melayani suaminya.
Tetapi, tidak berarti ia boleh menyia-nyiakan seorang brahmana.
Dasar perempuan sombong!’
“‘Jangan marah-marah, wahai Bapa Brahmana. Aku
sudah meminta Bapa menunggu karena aku sedang menyelesaikan
tugas utamaku, yaitu mengurus rumahku dan
melayani suamiku. Aku bukan burung yang dapat
dibunuh dengan sorot mata penuh amarah. Kemarahan
seorang brahmana tidak akan mengakibatkan apa-apa bagi
perempuan yang mengabdi dan melayani suaminya dengan
baik,’ kata perempuan itu.
“Kausika terdiam. Ia berkata dalam hati, ‘Bagaimana
mungkin perempuan ini bisa tahu tentang burung yang tak
sengaja kubunuh itu?’
“Perempuan itu meneruskan kata-katanya, ‘Wahai
Brahmana terhormat, engkau tidak memahami rahasia
kewajiban. Engkau juga tidak sadar bahwa amarah adalah
musuh terbesar yang bersarang di dalam diri manusia.
Maafkan keterlambatanku dalam memberimu sedekah.
Sekarang pergilah ke Mithila untuk mendapatkan petunjuk
tentang hidup baik dari Dharmawyadha yang tinggal di
sana.’
“Kausika pergi ke Mithila dan berusaha mencari orang
yang bernama Dharmawyadha. Ia mengira orang yang
dicarinya itu tinggal di pondok yang sunyi, bebas dari
kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Ia
berjalan menyusuri jalanan yang ramai, sambil bertanya
kepada orang-orang apakah mereka tahu tempat tinggal
orang yang sedang dicarinya. Atas petunjuk orang-orang
itu, akhirnya Kausika sampai ke sebuah kedai yang menjual
daging. Ia melihat penjual daging itu sibuk melayani
pelanggannya. Setelah pertanyaannya dijawab, Kausika
kaget sekali. Ia tidak mengira bahwa orang yang sedang
dicarinya ternyata seorang jagal dan penjual daging. Ia
marah dan muak melihat keadaan di warung itu.
“Melihat Kausika datang, penjual daging itu berdiri dan
memberi hormat sambil berkata, “Wahai Brahmana yang
kuhormati, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat sajakah?
Apakah engkau disuruh istri yang bijak itu datang ke
tempatku?’
“Kausika terdiam karena heran. Dharmawyadha melanjutkan,
‘Aku tahu ada seorang brahmana yang akan
datang menemuiku. Datanglah ke rumahku untuk beristirahat,
sebab perjalananmu masih jauh.’
“Kausika sadar setelah melihat ketekunan Dharmawyadha
mengerjakan tugasnya sehari-hari; dari melayani para
pembeli daging di kedainya hingga melayani orangtua dan
anggota keluarganya di rumah. Semua itu ia lakukan
dengan baik, hingga ia merasakan hidup yang tenang dan
bahagia di tengah keluarga dan lingkungannya.”
Setelah mengakhiri ceritanya, Resi Markandeya berkata,
“Inti kisah ini adalah bahwa manusia dapat mencapai
kesempurnaan jika ia selalu tekun dan ikhlas mengerjakan
setiap tugas yang dipikulkan kepadanya. Itulah inti sujud
kita kepada Yang Maha Kuasa. Pekerjaan seseorang
mungkin telah digariskan sejak ia dilahirkan, atau mungkin
dipengaruhi oleh lingkungannya, atau mungkin karena
pilihannya sendiri. Apa pun pekerjaan seseorang, yang
penting ia menjalankannya dengan semangat ketaatan dan
kejujuran. Inilah dharma yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya,
Kausika telah belajar tetang hidup sederhana,
jujur, setia, tekun dan taat pada pengabdian dari Dharmawyadha,
si penjual daging.”

Posting Komentar

Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger