MAHABARATA Usaha Mencari Jalan Damai

MAHABARATA Usaha Mencari Jalan Damai



Pada waktu Pendita Negeri Matsya berangkat ke Hastinapura
membawa pesan perdamaian, perkemahan
Pandawa di Upaplawya didatangi raja-raja yang ingin
bergabung dengan mereka. Para raja itu membawa
balatentara masing-masing, lengkap dengan persenjataan
mereka. Keseluruhan balatentara Pandawa berjumlah
tujuh divisi, sedangkan balatentara Kaurawa berjumlah
sebelas divisi. Adapun kekuatan satu divisi pada jaman itu
kira-kira terdiri dari 21.870 kereta, 21.870 gajah, 65.500
kuda dan 109.350 prajurit darat yang dilengkapi dengan
berbagai senjata perang.
Pendita utusan Raja Drupada tiba di istana Dritarastra
dan sesuai tradisi ia diterima dengan upacara kehormatan.
Setelah memperkenalkan diri, Pendita Negeri Matsya berbicara
atas nama Pandawa, “Hukum bersifat abadi dan
memiliki kewenangan tersendiri. Tuan-Tuan semua tahu
akan hal ini. Karena itu, aku tidak perlu menjelaskan lagi.
“Dritarastra dan Pandu adalah putra Wicitrawirya.
Menurut tradisi, keduanya berhak mewarisi harta peninggalan
ayah mereka. Berlawanan dengan kelaziman ini,
putra-putra Dritarastra menyatakan bahwa seluruh kerajaan
Hastina adalah hak mereka. Putra-putra Pandu dinyatakan
tidak memiliki warisan apa-apa. Menurut hukum
dan undang-undang yang berlaku, hal ini tidak adil.
“Wahai keturunan bangsa Kuru yang saya muliakan,
Pandawa menginginkan perdamaian. Mereka bersedia me-
lupakan semua penderitaan yang mereka alami di pengasingan.
Mereka tidak menghendaki peperangan, sebab mereka
sadar peperangan tidak akan membawa kebaikan,
hanya kemusnahan. Karena itu, berikanlah apa yang patut
mereka miliki berdasarkan hukum dan undang-undang,
sesuai dengan keadilan dan persetujuan yang telah disepakati.
Hendaknya jangan Tuan-Tuan menundanya lagi.”
Setelah utusan itu selesai bicara, Bhisma yang bijaksana
bangkit berdiri dan berkata, “Atas karunia Dewata,
Pandawa dalam keadaan baik dan sejahtera. Mereka memperoleh
bantuan dari banyak raja, hingga pasukan mereka
kuat dan cukup jumlahnya untuk bertempur. Tetapi,
mereka tidak menghendaki perang terjadi. Mereka tetap
berusaha untuk mencari jalan damai. Mengembalikan
milik mereka yang menjadi hak mereka adalah satusatunya
jalan menuju kebenaran dan keadilan.”
Meskipun Bhisma belum selesai bicara, Karna telah
bangkit berdiri dan menyela. Dengan pedas ia berkata
kepada utusan Pandawa, “Wahai Brahmana, apakah yang
kaukatakan itu sesuatu yang baru? Tak ada gunanya
mengulang cerita lama! Yudhistira tak berhak menuntut
miliknya yang sudah dipertaruhkannya di meja judi,
karena ia kalah. Kalau dia masih ingin memiliki bagian
dari kerajaannya, dia harus datang memintanya sebagai
pemberian. Tetapi nyatanya, dengan sombong ia menuntut
sesuatu yang bukan haknya sebab dia merasa kuat berkat
dukungan sekutu-sekutunya, terutama dari Matsya dan
Pancala.
“Baiklah kujelaskan di sini bahwa tidak sesuatu pun
akan diperoleh dari Duryodhana dengan jalan tipu muslihat
dan ancaman. Seperti telah terbukti, dalam tahun ketiga
belas seharusnya Pandawa bersembunyi sebaik-baiknya.
Jangan sampai keberadaan mereka diketahui. Tetapi,
nyatanya mereka ketahuan sebelum bulan kedua belas
tahun ketiga belas berakhir. Menurut perjanjian, seharusnya
mereka menjalani pengasingan lagi selama dua belas
tahun.”
Bhisma menyela, “Wahai Karna, jangan engkau berkata
demikian. Kalau kita tidak mendengarkan pesan yang
disampaikan utusan itu, perang akan pecah. Ketahuilah,
kita pasti kalah dan musnah.”
Sidang itu menjadi ramai dan kacau. Raja Dritarastra
dituntun Sanjaya naik ke mimbar. Setelah menyuruh
semua yang hadir diam, ia berkata kepada utusan itu,
“Demi keselamatan dunia dan kesejahteraan Pandawa, aku
putuskan untuk mengirim Sanjaya berunding dengan Pandawa.
Pulanglah, hai sang duta. Sampaikan hal ini kepada
Yudhistira.”
Dritarastra kemudian memberikan pesan-pesan kepada
Sanjaya, “Pergilah menemui putra-putra Pandu. Sampaikan
salam kasihku kepada mereka dan salam hormatku
kepada Krishna, Satyaki dan Wirata. Pergilah atas namaku
dan berundinglah dalam suasana kekeluargaan untuk
menghindari peperangan.”
Maka berangkatlah Sanjaya ke Upaplawya dengan
membawa pesan perdamaian! Dalam pertemuan khusus
yang diadakan untuk menyambut kedatangannya, Sanjaya
berkata singkat, “Dharmaputra, merupakan kebahagiaan
dan kehormatan bagiku mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan putra-putra Pandu. Engkau dikelilingi
sanak-saudara dan sahabat-sahabatmu. Itu yang membuatku
merasa lega. Raja Dritarastra mengutusku untuk
menyampaikan salam kasih dan doa restunya bagimu. Ia
tidak menginginkan perang. Ia menginginkan persaudaraan,
persahabatan dan perdamaian dengan Pandawa.”
Mendengar kata-kata Sanjaya, dengan senang hati
Yudhistira menyambut, “Kalau memang demikian, berarti
putra-putra Dritarastra telah sadar. Kalau memang demikian,
kita semua bisa tenang. Kalau kerajaan kami dikembalikan,
kami bersedia melupakan segala perselisihan kita
dan kepahitan yang kami alami di masa lalu.”
Sanjaya melanjutkan, “Yudhistira, janganlah berharap
bahwa putra-putra Dritarastra akan sadar. Mereka tidak
seperti yang kaubayangkan. Mereka tetap menentang ayah
mereka dan menginginkan perang. Tetapi, kuharap engkau
tidak kehilangan kesabaran.
“Yudhistira, engkau selalu bertindak adil dan jujur serta
bersikap tegas menjunjung kebenaran. Mari kita hindari
peperangan. Apakah kebahagiaan dapat dinikmati dari
kekayaan hasil rampasan perang? Apa gunanya memiliki
kerajaan dengan jalan membunuh sanak kerabat sendiri?
Karena itu, janganlah engkau memulai permusuhan. Pandawa
mungkin mampu menaklukkan dunia tanpa batas,
tapi usia lanjut dan kematian tidak bisa dihindari. Duryodhana
dan saudara-saudaranya memang jahat dan serakah,
tetapi jangan sampai engkau terbawa nafsu, memunggungi
kebenaran dan hilang kesabaran. Walaupun mereka
tidak mau mengembalikan kerajaanmu, janganlah engkau
tinggalkan jalan kemuliaan dharma.”
Yudhistira menjawab, “Sanjaya, apa yang engkau katakan
itu benar. Memegang kebenaran adalah harta terbaik.
Tapi, bukankah kami tidak melakukan kejahatan? Krishna
tahu akan hakikat kebenaran dan dharma. Ia mengharapkan
kita, kedua belah pihak, selamat dan sentosa. Aku
akan minta pertimbangannya.”
Krishna berkata, “Aku menginginkan kesejahteraan bagi
Pandawa. Aku juga mengharapkan Dritarastra dan putraputranya
bahagia. Ini sulit. Aku pikir, mungkin aku bisa
menyelesaikan masalah ini dengan pergi sendiri ke
Hastinapura. Kalau kita bisa mencapai persetujuan yang
tidak merugikan Pandawa, aku senang. Kalau aku berhasil
berbuat demikian, berarti Kaurawa dapat diselamatkan
dari kemusnahan. Sungguh sesuatu yang sangat berarti
dalam sejarah. Kalau dengan jalan perdamaian Pandawa
bisa memperoleh apa yang mereka kehendaki, mereka
akan tetap menaruh hormat kepada Dritarastra. Tetapi
kalau perang tak bisa dihindari, Pandawa siap menghadapinya.
Apa boleh buat! Dari dua kemungkinan ini, silakan
Dritarastra memilih. Perang atau damai. Damai atau
perang.”
Yudhistira berkata lagi, “Wahai Sanjaya, kembalilah ke
Hastinapura dan sampaikan pesanku ini kepada Paman
Dritarastra.
“Bukankah berkat ketulusan hati Paman, kami memperoleh
sebagian wilayah kerajaan sebagai warisan ketika
kami masih muda? Paman pernah menjadikan aku sebagai
raja dan Paman seharusnya mengakui hak kami sebagai
pewaris yang sah. Paman seharusnya tidak mengusir kami,
hingga kami terpaksa hidup seperti pengemis yang menggantungkan
nasib pada belas kasihan orang. Paman yang
kami hormati, sesungguhnya kerajaan kita cukup luas
untuk dibagi dua. Karena itu, mari hindari permusuhan di
antara kita.
“Demikianlah hendaknya engkau sampaikan pesanku
kepada Raja Dritarastra. Sampaikan salam hormat dan
kasihku kepada Kakek Bhisma dan mohonkan restunya
agar semua cucunya hidup bahagia dan bersatu, tanpa
permusuhan. Salam juga untuk Widura. Ia adalah orang
yang paling bisa melihat dengan lurus dan dapat memberi
nasihat dengan adil. Tolong sampaikan pesanku ini kepada
Duryodhana.
“‘... Saudaraku tercinta, engkau telah menyebabkan
kami, putra-putra pamanmu, hidup mengembara di hutan
dan mengenakan pakaian kulit kayu. Engkau telah menghina
dan menyeret istri kami di depan orang banyak. Kami
terima semua itu dengan sabar. Kini, kembalikan milik
kami yang sah. Kami ini berlima, setidak-tidaknya kembalikan
lima desa kepada kami. Dan marilah kita berdamai.
Sambutlah uluran tangan kami dengan hati ikhlas dan
damai.’
“Ya, Sanjaya, sampaikan ini kepada Duryodhana. Kami
siap menempuh jalan damai, tapi ... jika Kaurawa menghendaki,
kami pun siap menempuh jalan perang.”
Sanjaya kembali ke Hastinapura dengan membawa
pesan penting untuk Dritarastra dan dan Duryodhana.
***

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger