MAHABARATA Pandawa Menyelamatkan Diri
MAHABARATA Pandawa Menyelamatkan Diri
Setelah mohon diri kepada Bhisma dan para tetua, Pandawa
berangkat ke Waranawata. Rakyat mengelu-elukan dan mengiringkan mereka sampai
ke batas kerajaan. Tidak sedikit yang enggan kembali karena ingin mengikuti
Pandawa sampai Waranawata.
Widura membisikkan pesan dalam bahasa rahasia yang hanya dapat
dimengerti oleh Yudhistira. Katanya, “Hanya orang yang mampu menghindari bahaya
yang sanggup melindungi diri dari musuh-musuh yang licik. Banyak senjata yang
lebih tajam dari keris, tetapi orang yang bijaksana dapat terhindar dari
kehancuran karena tahu cara menangkis segala macam serangan. Api raksasa yang
memusnahkan hutan belantara tidak dapat membakar tikus yang bersembunyi di
dalam lubang atau seekor landak yang menggali liang di dalam tanah. Orang yang
pandai dan bijaksana mampu membaca peruntungannya dengan melihat
bintang-bintang di langit.”
Yudhistira mengerti. Pesan Widura itu berarti: ia harus mencari
jalan untuk melarikan diri agar terhindar dari rencana jahat Duryodhana.
Yudhistira mengisyaratkan bahwa ia memahami apa yang dikatakan Widura.
Setelah itu, Pandawa berangkat meninggalkan Hastinapura.
Perjalanan mereka dimulai dalam suasana penuh kegembiraan. Matahari bersinar
cerah, bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicau dan angin pagi berhembus
segar. Tetapi, semakin jauh mereka berjalan, cuaca berubah. Langit mendung,
matahari tertutup gumpalan awan gelap.
Yudhistira berkata kepada ibunya bahwa sesungguhnya ia sedih dan
cemas menghadapi perjalanan itu.
Setelah berjalan beberapa hari, mereka tiba di Waranawata.
Rakyat mengelu-elukan kedatangan Pandawa. Kaurawa, yang telah lebih dahulu ada
di Waranawata, menyambut sepupu mereka dengan hangat dan penuh hormat. Kemudian
Purochana mempersilakan Pandawa beristirahat di istana yang telah disediakan
untuk mereka. Istana peristirahatan itu diberi nama Siwam, artinya
‘kesejahteraan’. Sungguh licik, karena sebenarnya istana itu dibangun sebagai
perangkap maut.
Yudhistira bersama ibu dan adik-adiknya yang letih setelah
melakukan perjalanan jauh, segera masuk ke istana itu. Tetapi, ingat akan pesan
Widura, sebelum beristirahat Yudhistira memeriksa setiap sudut istana dengan
cermat dan teliti. Segera saja ia tahu bahwa istana itu dan semua perabotannya
terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Yudhistira memanggil Bhima dan berkata, “Sekalipun kita sudah
tahu bahwa istana ini adalah perangkap maut, kita harus pura-pura tidak tahu.
Jika Purochana sampai curiga dan mengira kita sudah tahu rencana liciknya, akan
sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kita harus dapat meloloskan diri pada
saat yang tepat.”
Selama perayaan dan pelaksanaan upacara penyembahan Batara Shiwa
yang berlangsung beberapa hari, Pandawa tinggal di istana peristirahatan itu.
Mereka melakukan kegiatan sehari-hari dengan wajar, bahkan dengan gembira dan
penuh semangat. Sementara itu, Widura mengirim orang yang mahir menggali
terowongan. Orang itu menemui Pandawa secara rahasia dan berkata, “Saya datang
ke sini membawa pesan rahasia dari Widura. Dia ingin membantu kalian. Saya akan
menyampaikan pesannya hanya kepada Yudhistira.”
Kemudian dia membisikkan rencana Widura kepada Yudhistira.
Ahli penggali terowongan itu bekerja siang malam secara rahasia
tanpa diketahui Purochana yang tinggal di pondok di samping pintu gerbang
istana. Ia membuat terowongan dari bawah ruang tidur istana kayu itu, lewat di
bawah pagar, di bawah parit yang mengelilingi istana, terus menjauh sampai ke
tengah hutan belantara.
Setiap malam Pandawa bergantian berjaga, tetapi di siang hari
mereka mengikuti semua acara dengan gembira dan penuh semangat. Seolah-olah tak
terjadi apa-apa. Ketika dilangsungkan acara berburu ke hutan, mereka semua
ikut. Sambil berburu, sebenarnya mereka mencermati keadaan hutan agar jika tiba
waktunya meloloskan diri, mereka tidak akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, Purochana dengan sabar menunggu saat yang tepat
untuk melaksanakan rencana jahat tuannya. Dia menunggu Pandawa lengah karena
terbuai oleh kesenangan dan hiburan yang meriah. Dia harus melaksanakan
tugasnya sedemikian, hingga orang akan mengira itu sebuah kecelakaan, bukan
kesengajaan.
Pada suatu senja, setelah melihat Pandawa masuk ke istana dalam
keadaan letih, Purochana memutuskan bahwa waktunya sudah tiba. Diam-diam dia
menyuruh kaki tangannya untuk melaksanakan rencana tuannya setelah lewat tengah
malam. Tetapi, Yudhistira yang sebenarnya selalu waspada, mengetahui sikap
Purochana yang mencurigakan. Segera ia mengumpulkan adik-adiknya dan mengatakan
bahwa malam nanti mereka harus meloloskan diri.
Selewat senja, Dewi Kunti mengadakan pesta meriah di istana kayu
itu. Seluruh penjaga dan pelayan diundang dan dijamu dengan makanan lezat,
minuman arak dan tuak. Mereka menikmati semua itu sepuas-puasnya dan tak
sedikit yang mabuk hingga tak sadarkan diri.
Demikianlah, setelah para penjaga dan pelayan istana terlena
karena kekenyangan dan mabuk, tepat tengah malam Bhima membakar istana itu.
Ketika itu Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya sudah meloloskan diri lewat
terowongan rahasia. Mereka merunduk-runduk dan merayap menyusuri terowongan yang
gelap, sementara di atas mereka api menyala berkobar-kobar. Dalam sekejap mata,
istana dan isinya yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar itu habis dilalap
api.
Ledakan-ledakan menggelegar. Penduduk Waranawata terbangun,
berteriak-teriak kaget dan berlarian tak tentu arah. Ada yang hendak mencari
selamat, ada yang hendak menolong memadamkan api. Semua cemas dan ngeri
memikirkan nasib Pandawa. Mereka yakin, Pandawa tak sempat menyelamatkan diri
dan mati terbakar.
Kalang kabut mereka berusaha memadamkan api, tetapi sia-sia.
Dengan sedih dan kesal mereka berteriak, “Ya, Hyang Widhi, ini pasti perbuatan
Duryodhana. Pasti dia yang memerintahkan pembunuhan atas Pandawa yang tidak
berdosa.”
Api mengamuk dahsyat. Dalam sekejap istana habis menjadi abu,
begitu pula pondok yang ditempati Purochana. Orang kepercayaan Duryodhana itu
juga ikut terbakar. Ia dan para pengawalnya sedang tidur pulas ketika kebakaran
itu terjadi. Mereka tak sempat menyelamatkan diri. Purochana gagal melaksanakan
tugasnya. Dia bahkan menemui ajalnya dalam kobaran api.
Rakyat Waranawata segera mengirimkan kabar ke Hastinapura:
“Istana peristirahatan Pandawa musnah terbakar. Semua yang ada di dalamnya
tewas. Tak seorang pun selamat.”
Mendengar berita itu, hati Dritarastra gundah. Perasaannya
campur aduk. Ibarat kolam yang dalam, dingin dasarnya tapi hangat permukaannya;
dingin karena sedih, hangat karena gembira. Dritarastra sedih karena kematian
para kemenakannya, tetapi juga lega dan gembira karena rencana putranya
berhasil. Dia memanggil putra-putranya dan menyuruh mereka mengenakan pakaian
berkabung untuk menghormati Pandawa yang telah meninggal.
Sesuai adat dan ajaran agama, bersama-sama mereka pergi ke tepi
sungai untuk melakukan persembahyangan bagi arwah Pandawa. Tak ada jenazah
untuk dikuburkan atau diperabukan. Kaurawa mengikuti upacara dengan wajah
sedih. Mereka tampak sangat sedih dan kehilangan karena tewasnya para sepupu
mereka.
Hanya sedikit yang melihat bahwa Widura tidak tampak sedih.
Meskipun begitu, kecil kemungkinannya ia dicurigai karena ia terkenal sebagai
orang yang selalu mengutamakan ketenangan dan menghindari emosi yang
meluap-luap. Ia tampak tenang karena yakin bahwa Pandawa berhasil meloloskan
diri. Widura justru mengkhawatirkan Pandawa yang kini terpaksa mengembara di
hutan.
Ketika melihat Bhisma bersedih, Widura menghiburnya dengan
membisikkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Sementara itu, di hutan belantara Bhima melihat ibu dan
saudara-saudaranya kehabisan tenaga setelah beberapa hari merangkak menyusuri
terowongan dan berjalan menembus hutan lebat, tanpa beristirahat dan tanpa
makanan cukup. Kemudian Bhima menggendong ibunya di punggungnya, merangkul
Nakula dan Sahadewa di dadanya, dan menuntun Yudhistira serta Arjuna di kanan
kirinya. Membawa beban seberat itu, Bhima melangkah menembus hutan.
Sampai di tepi Sungai Gangga, mereka menemukan seorang tukang
perahu bersama sampannya. Sebenarnya, secara rahasia Widura telah menyuruh
tukang perahu itu menunggu di tepian sungai untuk menyeberangkan Pandawa.
Pandawa menunggu hari gelap sebelum menyeberang. Mereka
bersembunyi di tepi hutan. Setelah malam benar-benar gelap, mereka naik sampan
itu ke seberang sungai. Sampai di seberang, Pandawa segera masuk lagi ke dalam
hutan dan terus berjalan sepanjang malam. Dengan langkah terseok-seok dan perut
kelaparan, mereka menembus hutan yang gelap dan sunyi. Tak ada suara apa pun
kecuali suara-suara binatang malam.
Lewat tengah malam, mereka tak mampu lagi melangkah karena
kelelahan, lapar dan dahaga luar biasa. Dewi Kunti berkata, “Aku tak sanggup
lagi. Aku tidak peduli. Biarlah anak-anak Dritarastra datang menyergap kita.
Aku ingin beristirahat sejenak.”
Setelah berkata begitu, Dewi Kunti merebahkan diri di tanah dan
jatuh tertidur.
Dalam kegelapan Bhima berusaha mencari air. Setelah cukup lama
mencari-cari, akhirnya ia sampai ke tepi sebuah telaga kecil. Ia menunduk,
mencedok air dengan tangannya, lalu membasuh wajahnya. Alangkah segarnya.
Setelah itu ia mencari daun-daun yang lebar untuk membuat wadah air. Dengan itu
ia mengambil air telaga segar itu untuk ibu dan saudara-saudaranya yang
kehausan.
Sementara ibu dan saudara-saudaranya tidur, Bhima tetap duduk
berjaga-jaga. Pikirannya melayang-layang menembus lebatnya pepohonan dan
hatinya berbisik, “Alangkah tenteram dan damainya kehidupan pohon-pohon dan
binatang-binatang di hutan ini. Mereka pasti sudah lama sekali hidup di hutan
ini, dan masih akan terus hidup di sini berlaksa-laksa tahun lagi. Lain dengan
manusia! Ada manusia yang tak mau hidup damai berdampingan. Ada manusia yang
ingin melenyapkan manusia lain. Apa sebabnya Paman Dritarastra dan Duryodhana
tega berbuat begini terhadap kami?”
Bhima tidak bisa mengerti mengapa ada orang yang begitu membenci
Pandawa dan ingin memusnahkan mereka. Sedih hatinya memikirkan semua itu.
Demikianlah Pandawa mengembara di hutan belantara, penuh derita
dan harus menghadapi bermacam marabahaya. Mereka bergantian menggendong ibu
mereka agar perjalanan bisa lebih cepat. Bhima selalu berusaha mencarikan
buah-buahan dan daun-daunan yang bisa dimakan untuk saudara-saudaranya.
Berhari-hari mereka mengembara sampai akhirnya bertemu dengan
Bagawan Wyasa. Mereka memberi salam hormat kepada Mahaguru itu. Sang Resi
memberi nasihat dan dorongan yang membesarkan hati mereka. Katanya, “Tak ada
orang bijak yang kuat untuk selalu berbuat kebajikan seumur hidupnya. Tak ada
orang durhaka yang selamanya hidup berkubang dosa. Hidup ini ibarat jaring
labah-labah. Di dunia ini, tak ada orang yang sama sekali tak pernah berbuat
kebajikan; tak ada pula yang sama sekali tak pernah berbuat kejahatan. Setiap
orang harus memikul akibat perbuatannya sendiri. Janganlah engkau memberi jalan
untuk kedukaan.”
Atas nasihat dan petuah Bagawan Wyasa, Pandawa mengenakan
pakaian brahmana. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Ekacakra.
Sampai di sana, mereka tinggal menumpang di rumah seorang brahmana.
Posting Komentar