MAHABARATA KISAH AMBA DAN BISMA ( BHISMA )
MAHABARATA KISAH AMBA DAN BISMA ( BHISMA )
KISAH AMBA DAN BISMA ( BHISMA )

Chitrangada, putra
Setyawati, tewas dalam pertempuran melawan gandarwa. Karena ia tewas dalam
peperangan tanpa memiliki anak, maka Wichitrawirya, adiknya, dinobatkan menjadi
raja menggantikannya. Tetapi, karena waktu naik takhta dia belum dewasa, tampuk
pemerintahan untuk sementara dipegang oleh kakaknya dari lain ibu, yaitu
Dewabrata alias Bhisma, sampai dia dewasa.
Ketika Wichitrawirya telah cukup dewasa untuk menikah, Bhisma
mencarikan calon istri yang pantas bagi adiknya itu. Ia mendengar bahwa tiga
putri Raja Kasi akan memilih calon suami menurut adat-istiadat kaum bangsawan,
yaitu dengan mengadakan sayembara. Bhisma memutuskan mengikuti sayembara itu
agar bisa memboyong putri-putri Raja Kasi untuk adiknya.
Pada hari sayembara, di alun-alun Kerajaan Kasi berkumpul
putra-putra mahkota dari Kerajaan Kosala, Wangsa, Pundra, Kalingga dan
lain-lain. Mereka semua berminat mempersunting putri-putri Raja Kasi yang
sangat terkenal kecantikan dan keanggunannya. Karena ada tiga putri yang
diperebutkan, sayembara itu diselenggarakan secara besar-besaran. Meskipun
datang dengan semangat tinggi, banyak juga putra mahkota yang merasa cemas,
takut menanggung malu jika gagal memenangkan sayembara; lebih-lebih ketika
melihat Bhisma hadir di antara mereka.
Bhisma terkenal sakti dan mahir menggunakan segala macam senjata
perang. Kecuali itu, karena kesetiaan dan keteguhan hatinya, semua orang segan
padanya.
Semula para putra mahkota menyangka Bhisma datang hanya untuk
menyaksikan jalannya sayembara karena pangeran itu telah bersumpah takkan
pernah menikah. Tetapi, ketika mengetahui bahwa Bhisma mengikuti sayembara,
sangatlah kecut hati mereka.
Tak ada yang menyangka bahwa Bhisma datang untuk maksud yang
sama. Dan tak seorang pun tahu bahwa ia datang demi saudaranya yang lebih muda,
Wichitrawirya.
Para putra mahkota itu berbisik-bisik, membicarakan Bhisma.
Seseorang berkata, “Dia memang keturunan Bharata yang sakti dan bijaksana.
Sayang sekali, ia lupa diri. Tak sadar bahwa sudah tua dan lupa akan sumpahnya
untuk hidup sebagai brahmacarin yang seumur hidup tidak akan kawin. Untuk apa
dia ikut sayembara ini? Dasar pangeran tak tahu malu!”
Putri-putri Kasi yang hendak memilih calon suami mereka sama
sekali tak menghiraukan kehadiran Bhisma. Mereka menganggapnya pemuda tua yang
tidak menarik. Mereka berbisik-bisik mengolok-olok jagoan tua itu sambil
membuang muka, tak mau memandangnya.
Bhisma, yang merasa diejek dan dipermainkan, menjadi berang.
Ditantangnya semua putra mahkota untuk berperang-tanding dengannya. Tak ada
yang berani menolak meskipun sadar semua takkan mampu mengalahkan kesatria tua
itu. Tak ada yang mau dipermalukan di depan putri-putri jelita idaman mereka.
Satu per satu mereka berperang-tanding melawan Bhisma. Semua
kalah. Segera setelah mengalahkan semua putra mahkota, Bhisma menyambar ketiga
putri jelita itu dan melarikan mereka dengan keretanya yang termasyhur. Begitu
kencang laju kereta itu hingga seakan-akan mereka terbang meninggalkan
gelanggang sayembara, menuju Hastinapura. Belum lagi jauh dari arena sayembara
Kerajaan Kasi, mereka dihadang Raja Salwa dari Kerajaan Saubala. Raja itu
menantang Bhisma untuk bertarung.
Sebenarnya, Raja Salwa sudah menjalin kasih dengan Amba dan Amba
yang jelita telah memilih Salwa sebagai calon suaminya. Setelah perkelahian
sengit, Salwa takluk. Menyerah. Bhisma mengangkat senjata, hendak membunuh,
tetapi dicegah oleh Amba. Karena permintaan putri itu, Bhisma urung membunuh
Salwa.
Setibanya di Hastinapura, Bhisma segera mempersiapkan pernikahan
Wichitrawirya. Ketika tamu-tamu mulai berdatangan, Amba berkata kepada Bhisma
dengan nada mencemooh,
“Wahai putra Dewi Gangga yang masyhur, Tuan pasti tahu yang
terkandung dalam kitab-kitab suci yang kita hormati dan muliakan. Seharusnya
Tuan juga tahu bahwa aku telah memilih Salwa, Raja Kerajaan Saubala, untuk
menjadi suamiku. Tuan memaksa diriku menerima pernikahan ini. Bila Tuan
mengerti akan hal ini, bertindaklah sesuai dengan ajaran kitab suci.”
Sementara pernikahan Ambika dan Ambalika, adik-adik Amba, dengan
Wichitrawirya berlangsung dengan baik dan penuh kebesaran, Bhisma mengantarkan
Amba kepada Raja Salwa.
Hal itu dilakukan Bhisma karena memahami maksud putri itu dan
demi menaati apa yang tertulis dalam kitab suci. Diiringkan sejumlah pengawal
kehormatan yang pantas, diantarkannya Amba ke istana Kerajaan Saubala. Sampai
di sana, Bhisma menghadap Raja Salwa dan menyerahkan Amba kepadanya. Segera
sesudah itu, pangeran tua itu kembali ke Hastinapura.
Dengan perasaan gembira dan mesra, Amba menceritakan semua yang
telah terjadi kepada Raja Salwa. Setelah itu ia berkata, “Sejak semula hamba
telah tetapkan hati untuk mengabdikan diri, lahir dan batin kepada Tuanku.
Pangeran Bhisma menerima penolakan hamba dan mengantarkan hamba ke hadapan
Tuanku. Jadikanlah hamba permaisuri Tuanku menurut ajaran kitab-kitab suci
sastra.”
Maharaja Salwa menjawab, “Bhisma telah menaklukkan aku dan telah
melarikan engkau di depan umum. Aku merasa sangat terhina. Karena itu, aku
tidak bisa menerima engkau menjadi istriku. Sebaiknya engkau kembali kepada
Bhisma dan lakukan apa yang ia perintahkan.”
Setelah berkata demikian, Raja memanggil beberapa pengawal dan
memerintahkan mereka untuk mengawal Amba kembali kepada Bhisma.
Sampai di Hastinapura, Amba menceritakan apa yang telah terjadi
kepada Bhisma. Pangeran tua itu kemudian membujuk adiknya agar mau menikahi
Amba. Tetapi, Wichitrawirya tegas-tegas menolak, karena putri itu telah
memberikan hatinya kepada orang lain.
Penolakan Wichitrawirya merupakan beban berat bagi Bhisma,
karena dia sendiri telah bersumpah tidak akan pernah menikah. Tak mungkin dia
melanggar sumpahnya sendiri. Lebih-lebih karena ia keturunan bangsawan yang
terhormat. Ia iba kepada Amba, tetapi tak kuasa berbuat apa-apa. Beberapa kali
dicobanya membujuk Wichitrawirya, tetapi adiknya itu tetap pada pendiriannya.
Tak ada jalan lain. Ia terpaksa menasihati Amba agar kembali lagi kepada Salwa.
Hal itu sungguh sangat berat bagi Amba. Karena tak berani
kembali ke Kerajaan Saubala, selama beberapa waktu Amba terpaksa bersembunyi di
Hastinapura. Akhirnya dengan perasaan berat, Amba mencoba kembali kepada Raja
Salwa.
Sekali lagi, dengan suara yang keras dan tegas, Raja Salwa
menolak Amba.
Demikianlah, Amba yang jelita kemudian terpaksa melewatkan
hari-harinya dalam kemurungan. Hampir enam tahun lamanya ia hidup tanpa cinta,
penuh duka, dan tanpa harapan. Parasnya yang segar dan jelita menjadi layu dan
kisut. Hatinya yang menderita berubah, berisi kepahitan dan kebencian kepada
Bhisma — yang menurutnya telah menghancurkan hidupnya. Sia-sia ia berusaha
mencari seorang kesatria tangguh untuk bertarung melawan Bhisma dan kalau bisa
… sekaligus membunuh pangeran tua itu. Tak seorang kesatria pun berani
bertarung dengan Bhisma yang termasyhur sakti dan perkasa.
Akhirnya, Amba pergi ke hutan dan bertapa dengan sangat tekun.
Ia memohon kepada Dewa Subrahmanya agar membantunya menghancurkan Bhisma. Dewa
itu menghadiahkan seuntai kalung bunga teratai segar yang sudah diberi
restu-pastu. Orang yang berkalung bunga teratai segar itu akan menjadi sakti
dan dengan kesaktiannya ia akan mampu mengalahkan Bhisma.
Amba menerima kalung bunga teratai itu. Kemudian sekali lagi ia
mencari seorang kesatria yang mau memakai kalung bunga hadiah Dewa Subrahmanya,
dewa sakti berwajah enam. Sayang sekali, tak seorang kesatria pun mau
menerimanya. Tak seorang kesatria pun berani melawan Bhisma yang termasyhur
kesaktiannya. Kemudian Amba menghadap Raja Drupada. Raja ini juga menolaknya.
Akhirnya, Amba meninggalkan kalung bunga itu di pintu gerbang istana Raja
Drupada lalu pergi mengembara ke dalam hutan.
Kepada beberapa pertapa yang ditemuinya di hutan, Amba
menceritakan pengalamannya yang menyedihkan itu. Mereka menasihatinya agar
menghadap Parasurama. Amba menuruti nasihat mereka, ia pergi menghadap
Parasurama.
Mendengar cerita Amba, Parasurama merasa kasihan. Ia berkata,
“Wahai anakku yang jelita, apa yang kaukehendaki sekarang? Aku
dapat meminta Salwa untuk mengawinimu jika engkau mau.”
Amba menjawab dengan hati teguh, “Tidak, saya tidak menginginkan
itu lagi. Saya tak punya hasrat lagi untuk menikah atau mencari kebahagiaan.
Satu-satunya yang saya inginkan dalam hidup ini adalah membalas dendam kepada
Bhisma. Saya bersumpah, yang saya inginkan tak lain hanyalah kematian Bhisma.”
Parasurama mendengarkan kata-kata Amba dengan penuh perhatian.
Ia sendiri amat membenci golongan kesatria. Karena itu, ia memutuskan untuk
menolong Amba dan bertarung melawan Bhisma. Pertempuran mereka sangat hebat dan
berlangsung lama. Dua-duanya setara kesaktian dan kemahirannya dalam olah
senjata. Tetapi, akhirnya Parasurama harus mengakui keunggulan Bhisma.
Setelah dikalahkan Bhisma, ia menemui Amba dan berkata, “Aku sudah
berusaha sekuat tenaga untuk menaklukkan dan menghancurkan Bhisma, tetapi aku
kalah. Satu-satunya jalan bagimu adalah kembali kepadanya dan menyerahkan
nasibmu kepadanya. Hanya itu yang dapat kaulakukan.”
Dengan membawa duka, sakit hati, dendam, dan kebencian, akhirnya
Amba pergi ke kaki Gunung Himalaya untuk bertapa. Dengan khusyuk ia bertapa dan
terus-menerus melakukan penyucian diri agar dapat menerima karunia Batara Shiwa
karena di dunia tak ada lagi manusia yang bisa menolongnya.
Setelah lama bertapa dengan sangat khusyuk, Batara Shiwa muncul
di hadapannya dan memberinya restu: ‘dalam inkarnasinya yang akan datang, Amba
dapat membunuh Bhisma’.
Amba tidak sabar menunggu hingga masa inkarnasinya yang akan
datang. Karena itu, ia membuat api unggun besar dan melakukan satya,
mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api yang berkobar-kobar. Dengan satya,
badannya akan hangus terbakar.
Atas pertolongan Batara Shiwa, Amba berinkarnasi, terlahir
kembali sebagai putri Raja Drupada. Ajaib! Beberapa tahun kemudian ia menemukan
kalung bunga teratai yang dahulu ia gantungkan di pintu gerbang istana Raja
Drupada. Kalung bunga itu masih elok dan segar, seakan-akan tak pernah disentuh
orang. Maka dikalungkanlah untaian bunga itu di lehernya. Melihat perbuatannya
yang gegabah itu, Raja Drupada menjadi cemas karena ingat bagaimana dahulu Amba
mengalungkan untaian bunga itu di situ sebelum meninggalkan istana Hastinapura
dengan hati penuh dendam. Putri yang mendendam itu kemudian bertapa di hutan
yang lengang dan sunyi.
Begitulah, putri Raja Drupada mengambil untaian bunga itu dan
mengalungkannya di lehernya. Ajaib! Lama kelamaan, kelamin putri Raja Drupada
itu berubah. Ia menjadi seorang laki-laki dan kemudian termasyhur dengan nama
Srikandi, artinya “pahlawan perang.”
Kelak dalam perang besar Bharatayuda, Srikandi bertempur di
depan kereta Arjuna melawan Bhisma. Dalam perang di padang Kurukshetra itu,
Bhisma tahu benar bahwa Amba telah lahir kembali dalam wujud Srikandi, yakni
perempuan yang berubah menjadi laki-laki dan karena penampilannya yang tetap
seperti wanita, menurut tata krama, aturan perang dan sumpahnya sendiri, dalam
keadaan apa pun Bhisma tidak boleh melawannya. Dalam keadaan apa pun Bhisma
tidak akan bertempur melawan Srikandi yang termasyhur dan gagah berani..
+ komentar + 1 komentar
Ini cerita yg asli kak??soalnyakata lappak sebelah, yg asli justruamba n Bhisma pada akhirnya sebenarnya Sling suka
Posting Komentar