MAHABARATA Krishna dalam Wujud Wiswarupa
MAHABARATA Krishna dalam Wujud Wiswarupa
Sejak
Sanjaya berangkat menuju perkemahan Pandawa
di Upaplawya, Dritarastra gelisah dan cemas menantikan
berita yang akan dibawa kembali oleh utusannya.
Siang tak enak makan, malam tak enak tidur. Ia
memanggil Widura untuk menemaninya bercakap-cakap.
Widura berkata, “Yang terbaik dan paling aman adalah
mengembalikan wilayah kerajaan Pandawa seperti semula.
Hanya itu yang akan membawa kebaikan dan keabadian
bagi kedua belah pihak. Perlakukan Pandawa dan putraputramu
dengan kasih sayang yang sama. Dalam hal ini,
cara yang benar adalah penyelesaian yang bijaksana.”
Demikianlah Widura mencoba menghibur dan memberi
jalan kepada Dritarastra yang buta agar raja itu dapat
bertindak tepat terhadap anak-anaknya dan kemenakannya.
Esok harinya Sanjaya telah kembali ke Hastinapura. Ia
memberikan laporan panjang lebar. Sebelum menutup
laporannya, ia berkata, “Yang terpenting, Duryodhana
harus tahu apa yang dikatakan oleh Arjuna, yaitu:
“... Krishna dan aku akan hancurkan Duryodhana dan
seluruh pengikutnya. Jangan kalian keliru tentang ini.
Panah Gandiwaku sudah tidak sabar untuk dibawa bertempur.
Busur panahku bergetar biarpun tidak kubidikkan.
Di dalam sarungnya, anak panahku bergemerincing
beradu, minta segera dilepaskan dari tali busurnya untuk
menembus dada Duryodhana yang serakah dan nekat
menantang aku dan Krishna. Ingat, dewa-dewa pun takkan
bisa mengalahkan kami.’
“Demikianlah yang dikatakan Dhananjaya kepadaku.”
Bhisma mencoba menasihati Dritarastra agar melarang
putra-putranya mengadu kekuatan dengan Arjuna dan
Krishna. Berkatalah Bhisma, “Karna yang membanggakan
diri sanggup membunuh Pandawa kesaktiannya tidak sampai
seperenambelas kesaktian Pandawa. Putra-putramu
membiarkan diri mereka terseret ke lembah kehancuran
karena mendengarkan kata-kata Karna.
“Ketika Arjuna membalas serangan putra-putramu terhadap
Raja Wirata dan kemudian mengalahkan Duryodhana,
apa yang dilakukan Karna? Ketika Chitrasena si
raja raksasa menaklukkan dan menawan Duryodhana, di
manakah Karna? Bukankah Arjuna yang membebaskan
Duryodhana dan mengusir Chitrasena?” Demikianlah
Bhisma terpaksa menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya
sikap Karna selama ini.
“Apa yang engkau katakan, wahai Bhisma sang tetua
keluarga, adalah satu-satunya jalan yang patut ditempuh,”
sahut Dritarastra. Lalu ia melanjutkan, “Setiap orang
bijaksana berkata demikian. Aku sendiri juga yakin, itulah
satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian. Tetapi
apa yang dapat kulakukan? Anak-anakku memang serakah
dan buta hati. Mereka ingin menempuh jalan mereka
sendiri, tanpa meminta persetujuanku.”
Duryodhana, yang mendengar pembicaraan ayahnya
dengan Bhisma, menyela, “Ayahanda, jangan cemaskan
keselamatan kami. Jangan takut! Kami tahu kekuatan
kami. Kita pasti menang. Yudhistira juga tahu. Kulihat ia
sudah putus asa dan akhirnya hanya minta lima desa.
Apalagi yang kurang jelas? Ia sudah mulai ketakutan akan
menghadapi sebelas divisi balatentara kita. Apa yang dapat
dilakukan Pandawa untuk melawan balatentara kita?
Kenapa Ayahanda meragukan keunggulan kami?”
“Anakku sayang, sebaiknya kita hindari perang. Belum
puaskah kamu memiliki separo dari kerajaan ini? Yang
menjadi hakmu itu sebenarnya lebih dari cukup apabila
kita bina dengan sebaik-baiknya,” kata Dritarastra.
Tetapi Duryodhana tidak mengindahkan nasihat
ayahnya. Ia sudah muak mendengar berbagai nasihat.
Kemudian ia berkata dengan keras, “Sejengkal tanah pun
takkan kuberikan kepada Pandawa. Setapak pun aku tak
sudi bergeser!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan
ayahnya tanpa mohon diri.
Sementara itu, setelah Sanjaya meninggalkan Upaplawya,
Yudhistira berunding dengan Krishna. Katanya,
“Wasudewa, Sanjaya adalah bayangan Dritarastra. Dari
ucapannya, aku mencoba menangkap apa yang sebenarnya
ada dalam pikiran Dritarastra. Ia mencoba mengajak
kami berdamai, tanpa mengembalikan tanah kami. Sejengkal
pun tidak. Mulanya aku senang mendengar ucapannya.
Tapi, setelah menyimak dan merenungkan kata-katanya,
aku sadar, kegembiraanku tidak beralasan. Kemudian ia
menyatakan keinginan untuk berdamai, tetapi dengan
syarat yang membuat posisi kami lemah karena mereka
takkan mengembalikan hak kami.
“Dritarastra memang bersikap tidak adil kepada kami.
Berarti saat-saat gawat semakin dekat. Tidak ada orang
lain, kecuali engkau yang dapat menolong kami. Aku telah
ajukan tuntutan sesedikit mungkin: hanya lima desa. Tetapi
Kaurawa yang serakah pasti tetap menolak. Bagaimana
kami bisa bertenggang rasa menghadapi sikap seperti itu?
Hanya engkau yang dapat memberi nasihat kepada kami.
Hanya engkau yang bisa menunjukkan apa tugas kami
sekarang. Hanya engkau yang mampu memimpin kami
dalam dharma.”
Krishna menanggapi, “Demi kebaikan kalian, kedua
belah pihak—maksudku, sebaiknya aku pergi ke Hastinapura.
Aku akan mencoba memintakan hak kalian tanpa
peperangan. Kalau usahaku berhasil, itu berarti kebaikan
bagi dunia dan umat manusia.”
Kata Yudhistira, “Wahai Krishna, engkau tak perlu pergi
ke Hastinapura. Apa gunanya engkau pergi ke tempat
musuh? Duryodhana sebenarnya penakut, membenci kebajikan,
dan keras kepala. Aku tidak setuju engkau pergi
menemuinya. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu karena
Kaurawa yang licik akan nekat dan bisa berbuat apa
saja.”
Krishna menjawab, “Dharmaputra, aku tahu Duryodhana
memang jahat, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai
penyelesaian secara damai agar rakyat tidak menuduh
kita tidak berusaha untuk menghindari peperangan.
Cara apa pun akan kita tempuh, demi perdamaian. Jangan
khawatirkan keselamatanku. Jika Kaurawa berani mengancam
atau melukai aku yang datang sebagai duta perdamaian,
aku akan remukkan mereka hingga menjadi abu!”
Yudhistira berkata lagi, “Engkau tahu segala dan
semua. Engkau tahu hati kami dan hati mereka. Memang,
engkaulah utusan yang paling baik dan paling tepat.”
Krishna menanggapi, “Ya, aku mengenalmu dan mengenal
Duryodhana dengan baik. Jiwamu selalu teguh memegang
kebenaran. Jiwa mereka selalu diliputi kebencian, iri
hati dan permusuhan. Aku akan berusaha sebaik mungkin
agar apa yang kau cita-citakan tercapai, yaitu penyelesaian
tanpa perang. Memang, kemungkinan itu sangat kecil dan
situasi sekarang ini membuahkan firasat buruk. Tetapi,
kewajiban kita untuk selalu mengusahakan perdamaian.”
Demikianlah percakapan Yudhistira dengan Krishna
sebelum Raja Dwaraka itu berangkat ke Hastinapura
diiringkan Satyaki. Sebelum berangkat, sekali lagi Krishna
mengajak Pandawa berunding dengan sungguh-sungguh.
Dalam perundingan itu, sungguh terasa bahwa setiap
orang di pihak Pandawa menghendaki perdamaian. Bahkan
Bhima, yang terkenal keras kepala, juga memilih
perdamaian. Demikian kata Bhima, “Janganlah kita memusnahkan
bangsa kita; juga keturunannya. Kalau bisa
diusahakan, aku lebih memilih perdamaian.”
Tetapi Draupadi tidak bisa melupakan penghinaan yang
pernah dialaminya. Sambil mengusap-usap rambutnya
yang panjang, dengan suara tersendat-sendat ia berkata
kepada Krishna, “Madusudana, perhatikanlah rambutku
ini, bekas penghinaan. Kehormatan apa yang harus dijunjung?
Tidak ada perdamaian tanpa kehormatan! Kalaupun
Bhima dan Arjuna tidak setuju jalan perang, ayahku—
walaupun sudah tua—pasti akan pergi ke medan perang
bersama anak-anakku. Mungkin ayahku tidak setuju, tetapi
anak-anakku dan Abhimanyu, anak Subadra, akan
memimpin pertempuran melawan Kaurawa. Demi pengabdianku
kepada Dharmaputra, tiga belas tahun kulewatkan
dengan memendam kebencianku pada Kaurawa. Tetapi
kini, aku sudah tidak tahan lagi!”
Krishna menjawab, “Mungkin sekali anak-anak Dritarastra
tidak akan peduli akan usul perdamaian ini. Dalam
perang, mereka akan berjatuhan dan musnah. Tak ada
yang akan melakukan upcara persembahyangan untuk
mereka. Mayat mereka akan jadi santapan serigala dan
anjing hutan.
“Engkau akan menyaksikan kami pulang membawa
kemenangan. Semua penghinaan yang pernah engkau terima,
akan mereka bayar mahal. Sabarlah, saat itu akan
segera tiba.” Setelah berkata demikian, berangkatlah Krishna
alias Madhusudana ke Hastinapura.
Berita kedatangan Krishna telah sampai ke Hastinapura
jauh sebelum dia dan pengiringnya melewati perbatasan.
Dritarastra memerintahkan agar Hastinapura dihias dengan
semarak dan upacara penyambutan dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya. Kediaman Duhsasana, yang paling
indah dari semua kediaman Kaurawa, disiapkan untuk
tempat beristirahat Krishna dan pengiringnya.
Dritarastra meminta nasihat kepada Widura, “Sebaiknya
kita siapkan upacara pemberian gelar dan hadiah
untuk Krishna. Kita hadiahkan kereta kencana, gajah,
kuda, dan sejumlah hadiah lain.”
Widura menjawab, “Krishna tak mungkin dibujuk
dengan gelar dan hadiah. Berikan apa yang ia kehendaki.
Bukankah ia datang untuk mengusahakan penyelesaian
secara damai? Usahakan untuk memenuhinya. Krishna
takkan silau oleh hadiah dalam bentuk apa pun. Ia akan
puas jika kedatangannya membuahkan perdamaian.”
Ketika Krishna dan para pengiringnya tiba di Hastinapura,
penduduk berdiri di pinggir jalan, mengelu-elukan
kedatangannya. Saking padatnya jalanan, kereta mereka
nyaris tak bisa bergerak. Pertama-tama Krishna pergi ke
istana Dritarastra, kemudian ke kediaman Widura. Dewi
Kunti menemuinya di kediaman Widura. Ibu para kesatria
Pandawa itu menangis ketika bertemu dengan Krishna. Ia
sedih karena ingat akan penderitaan putra-putranya selama
tiga belas tahun. Krishna menghibur Dewi Kunti
dengan mengabarkan bahwa saat itu Pandawa selamat dan
sejahtera.
Dari kediaman Widura, Krishna pergi ke kediaman
Duryodhana untuk menyampaikan maksud kedatangannya,
yaitu mengharapkan penyelesaian yang wajar.
Duryodhana menyambut Krishna dan mengundangnya
untuk makan-makan, tetapi dengan halus Krishna menolaknya.
Katanya, “Terima kasih atas undanganmu. Saya
terima undangan makan-makan itu. Tetapi, sebaiknya itu
dilaksanakan setelah kita mencapai kesepakatan untuk
memilih jalan damai.”
Setelah menyampaikan pesannya kepada Duryodhana,
Krishna minta diri untuk kembali ke kediaman Widura. Di
sanalah ia tinggal selama ia menjalankan tugasnya di
Hastinapura. Krishna dan Widura lalu mengadakan pembicaraan.
Widura menjelaskan kepada Krishna bahwa keangkuhan
Duryodhana disebabkan oleh keyakinannya akan
kesaktiannya sendiri.
Kecuali itu, Bhisma dan Drona tetap berada di pihaknya.
Widura memberi isyarat bahwa sebaiknya Krishna
dan pengiringnya tidak masuk ke ruang perundingan yang
akan diselenggarakan oleh Duryodhana. Ia yakin, Duryodhana
dan saudara-saudaranya pasti telah merencanakan
suatu perangkap untuk membunuh Krishna.
“Apa yang engkau katakan tentang Duryodhana itu
benar. Aku datang kemari dengan harapan bisa merundingkan
penyelesaian secara damai. Aku tidak ingin dikutuk
oleh dunia. Jangan engkau khawatirkan keselamatanku,”
kata Krishna.
Keesokan harinya Duryodhana dan Sakuni datang
menemui Krishna, mengatakan bahwa Dritarastra telah
menunggu kedatangannya. Krishna segera pergi ke tempat
perundingan bersama Satyaki dan Widura. Pada waktu
Krishna memasuki ruangan, semua yang hadir di situ
serentak berdiri dan memberikan salam hormat dengan
mengatupkan kedua telapak tangan. Kemudian Krishna
dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan baginya.
Setelah upacara penyambutan selesai, tibalah giliran
Krishna untuk bicara.
Sambil memandang Dritarastra dengan penuh hormat,
Krishna menjelaskan maksud kedatangannya kepada hadirin.
Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan
pihak Pandawa. Akhirnya secara khusus Krishna berkata
kepada Dritarastra, “Paduka Raja, hendaknya Tuanku
jangan membawa kehancuran bagi rakyat. Renungkan ini:
sesuatu dikatakan jelek apabila baik bagi dirimu sendiri
dan sesuatu dikatakan baik apabila jelek bagi dirimu sendiri.
“Tugasmu adalah untuk menuntun putra-putramu.
Pandawa siap bertempur, tetapi mereka memilih perdamaian.
Mereka ingin hidup rukun dan bahagia di bawah
pimpinanmu. Perlakukan mereka sebagaimana putraputramu
sendiri. Berusahalah untuk mencari penyelesaian
yang damai dan terhormat. Pasti dunia akan menghormati
engkau!” Demikianlah, Krishna berkata dengan sungguhsungguh.
Dritarastra yang buta berkata kepada para hadirin,
“Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku, dalam hal
ini aku tidak bersalah. Aku juga mengharapkan perdamaian,
sama seperti yang dikatakan Krishna. Tetapi aku
tidak berdaya. Putra-putraku tidak mau mendengarkan
kata-kataku. Krishna, aku harap kau berhasil menasihati
Duryodhana.”
Krishna menoleh ke arah Duryodhana dan berkata,
“Engkau keturunan keluarga agung dan terhormat. Berjalanlah
di jalan dharma. Buanglah iri, dengki dan dendam
di hatimu karena itu tidak sesuai dengan keagunganmu.
Perasaan seperti itu hanya pantas bagi orang yang berasal
dari keturunan berbudi rendah. Karena engkaulah, keturunan
dan keluarga ini berada dalam bahaya kehancuran.
Dengarkan dan pertimbangkan usul kami yang adil dan
wajar ini.
“Pandawa menghendaki Dritarastra menjadi raja dan
engkau menjadi ahli warisnya. Berdamailah dengan mereka
dan serahkan separo kerajaan ini kepada mereka.”
Bhisma dan Drona menasihati Duryodhana agar mau
mendengarkan kata-kata Krishna. Tetapi hati Duryodhana
sudah keras, tidak bisa dilembutkan.
“Aku kasihan melihat ayahmu, Dritarastra, dan ibumu,
Dewi Gandhari. Karena keserakahanmu, mereka menderita,
putus asa dan kehilangan segalanya,” kata Widura
kepada Duryodhana.
Sekali lagi Dritarastra berkata kepada putranya, “Duryodhana!
Kalau engkau tidak mau mendengarkan nasihat
Krishna, bangsamu akan musnah.”
Bhisma dan Drona tidak putus-putusnya menasihati
Duryodhana agar tidak berjalan ke arah yang salah. Tetapi
Duryodhana justru kehilangan kesabaran. Ia tidak dapat
menahan kekesalannya lagi, lebih-lebih karena merasa
dipojokkan untuk menyetujui penyelesaian secara damai.
Kekesalan dan amarahnya meledak! Dia berdiri lalu berkata
lantang, “Wahai, Krishna, engkau menyalahkan aku
sebab engkau memihak Pandawa. Yang lain juga menyalahkan
aku, tetapi aku yakin bukan aku yang harus dikutuk.
Atas kehendak mereka sendiri Pandawa telah mempertaruhkan
kerajaan mereka. Mana bisa aku yang harus
bertanggung jawab atas urusan ini? Setelah kalah dalam
permainan, sesuai permufakatan yang terhormat, mereka
harus masuk hutan seperti kesepakatan kita semula.
“Sekarang, kesalahan apalagi yang mereka tuduhkan
kepada kami? Mengapa kami dituduh haus perang dan
pembunuhan? Aku tidak gentar menghadapi ancaman apa
pun. Ketika aku masih bocah, orang-orang yang lebih tua
selalu menyalahkan dan menyakiti hati kami dengan selalu
membenarkan, membela, dan menyanjung Pandawa. Aku
tidak tahu, mengapa mereka harus mendapat setengah
dari kerajaan ini padahal sesungguhnya mereka sama
sekali tidak berhak. Waktu itu, aku diam dan setuju saja.
Tetapi, bukankah mereka telah mempertaruhkan kerajaannya
dalam permainan dadu dan mereka kalah? Sejengkal
pun takkan kuberikan wilayah kerajaanku kepada Pandawa!”
kata Duryodhana tanpa rasa bersalah sama sekali.
Krishna tersenyum dan berkata, “Bukankah engkau
telah mempersiapkan permainan itu dengan licik? Bersama
dengan Sakuni, kau memperdayakan Pandawa. Permainan
kauatur sedemikian hingga Pandawa tak mungkin menang.
Dengan keji kauhina Draupadi di depan para raja dan
tamu-tamu lainnya. Tanpa malu engkau tetap bersitegang
bahwa engkau sama sekali tidak bersalah.”
Duhsasana menanggapi pembicaraan tersebut dengan
mengatakan bahwa Bhisma dan para tetua lainnya sudah
termakan oleh kata-kata Krishna yang memojokkan Duryodhana.
Tiba-tiba ia berdiri lalu berkata dengan lantang,
“Saudaraku, rupa-rupanya orang-orang dalam perundingan
ini telah menyiapkan rencana jahat terhadap dirimu.
Mereka hendak mengikat kaki dan tanganmu dengan tali
tipu muslihat dan menyerahkan dirimu pada Pandawa.
Ayo, kita pergi dari sini.”
Demikianlah, Duryodhana dan saudara-saudaranya
segera meninggalkan perundingan.
Krishna meneruskan pembicaraan dengan hadirin yang
masih ada. Ia berkata, “Tuan-Tuan yang mulia, bangsa
Yadawa dan bangsa Wrisni kini hidup damai dan bahagia
setelah Kamsa dan Sisupala mati. Demi menyelamatkan
seluruh rakyat, mungkin kita perlu mengorbankan satudua
orang.
“Bukankah ada kalanya sebuah desa harus dikosongkan
atau dimusnahkan demi menyelamatkan seluruh
negeri dari petaka wabah penyakit? Aku khawatir, kita
terpaksa mengorbankan Duryodhana bila Tuan-Tuan hendak
menyelamatkan bangsa ini. Inilah satu-satunya jalan.”
Dritarastra menyuruh Widura memanggil Dewi Gandhari,
permaisurinya dan ibu para Kaurawa. Ia berharap
Duryodhana mau mendengarkan nasihat ibunya dan
mengambil keputusan dengan akal sehat. Tetapi Duryodhana
berkata dengan mata merah melotot, “Tidak, tidak,
tidak!” lalu pergi tanpa memberi hormat kepada siapa pun.
Duryodhana menyusun rencana untuk menculik dan
membunuh Krishna. Rencana itu segera sampai ke ruang
perundingan. Krishna, yang sudah mengetahui rencana itu
sejak semula, tiba-tiba memperlihatkan keaslianNya. Selama
beberapa saat Dritarastra yang buta dapat melihat
Krishna dalam wujudNya yang suci dan agung, wujud
sebagai penjelmaan Hyang Widhi yang membawa perdamaian.
Dritarastra lalu menyembah.
“Oh Hyang Widhi, setelah melihat Engkau dalam bentuk
Wiswarupa, aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Biarlah
aku buta untuk selama-lamanya,” katanya sambil memejamkan
matanya lagi. Seketika itu ia kembali buta seperti
sediakala.
Dritarastra meneruskan ucapannya, “Semua usaha kita
gagal. Duryodhana memang kepala batu.”
Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pertemuan
diakhiri. Krishna segera meninggalkan ruangan
didampingi Satyaki dan Widura. Ia langsung menemui
Dewi Kunti dan mengabarkan bahwa usahanya gagal. Dewi
Kunti meminta agar Krishna menyampaikan restunya
kepada putra-putranya.
“Sekarang saatnya menunjukkan untuk apa sebenarnya
seorang ibu membesarkan putra-putranya hingga menjadi
kesatria, yaitu untuk dikorbankan di medan perang. Semoga
engkau dapat menuntun mereka dalam pertempuran,”
kata Dewi Kunti kepada Krishna. Setelah bercakap-cakap
sebentar, Krishna cepat-cepat naik ke keretanya lalu
melecut kudanya agar berlari kencang menuju Upaplawya.
Jalan damai sudah diusahakan, tapi peperangan tak
terhindarkan!
di Upaplawya, Dritarastra gelisah dan cemas menantikan
berita yang akan dibawa kembali oleh utusannya.
Siang tak enak makan, malam tak enak tidur. Ia
memanggil Widura untuk menemaninya bercakap-cakap.
Widura berkata, “Yang terbaik dan paling aman adalah
mengembalikan wilayah kerajaan Pandawa seperti semula.
Hanya itu yang akan membawa kebaikan dan keabadian
bagi kedua belah pihak. Perlakukan Pandawa dan putraputramu
dengan kasih sayang yang sama. Dalam hal ini,
cara yang benar adalah penyelesaian yang bijaksana.”
Demikianlah Widura mencoba menghibur dan memberi
jalan kepada Dritarastra yang buta agar raja itu dapat
bertindak tepat terhadap anak-anaknya dan kemenakannya.
Esok harinya Sanjaya telah kembali ke Hastinapura. Ia
memberikan laporan panjang lebar. Sebelum menutup
laporannya, ia berkata, “Yang terpenting, Duryodhana
harus tahu apa yang dikatakan oleh Arjuna, yaitu:
“... Krishna dan aku akan hancurkan Duryodhana dan
seluruh pengikutnya. Jangan kalian keliru tentang ini.
Panah Gandiwaku sudah tidak sabar untuk dibawa bertempur.
Busur panahku bergetar biarpun tidak kubidikkan.
Di dalam sarungnya, anak panahku bergemerincing
beradu, minta segera dilepaskan dari tali busurnya untuk
menembus dada Duryodhana yang serakah dan nekat
menantang aku dan Krishna. Ingat, dewa-dewa pun takkan
bisa mengalahkan kami.’
“Demikianlah yang dikatakan Dhananjaya kepadaku.”
Bhisma mencoba menasihati Dritarastra agar melarang
putra-putranya mengadu kekuatan dengan Arjuna dan
Krishna. Berkatalah Bhisma, “Karna yang membanggakan
diri sanggup membunuh Pandawa kesaktiannya tidak sampai
seperenambelas kesaktian Pandawa. Putra-putramu
membiarkan diri mereka terseret ke lembah kehancuran
karena mendengarkan kata-kata Karna.
“Ketika Arjuna membalas serangan putra-putramu terhadap
Raja Wirata dan kemudian mengalahkan Duryodhana,
apa yang dilakukan Karna? Ketika Chitrasena si
raja raksasa menaklukkan dan menawan Duryodhana, di
manakah Karna? Bukankah Arjuna yang membebaskan
Duryodhana dan mengusir Chitrasena?” Demikianlah
Bhisma terpaksa menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya
sikap Karna selama ini.
“Apa yang engkau katakan, wahai Bhisma sang tetua
keluarga, adalah satu-satunya jalan yang patut ditempuh,”
sahut Dritarastra. Lalu ia melanjutkan, “Setiap orang
bijaksana berkata demikian. Aku sendiri juga yakin, itulah
satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian. Tetapi
apa yang dapat kulakukan? Anak-anakku memang serakah
dan buta hati. Mereka ingin menempuh jalan mereka
sendiri, tanpa meminta persetujuanku.”
Duryodhana, yang mendengar pembicaraan ayahnya
dengan Bhisma, menyela, “Ayahanda, jangan cemaskan
keselamatan kami. Jangan takut! Kami tahu kekuatan
kami. Kita pasti menang. Yudhistira juga tahu. Kulihat ia
sudah putus asa dan akhirnya hanya minta lima desa.
Apalagi yang kurang jelas? Ia sudah mulai ketakutan akan
menghadapi sebelas divisi balatentara kita. Apa yang dapat
dilakukan Pandawa untuk melawan balatentara kita?
Kenapa Ayahanda meragukan keunggulan kami?”
“Anakku sayang, sebaiknya kita hindari perang. Belum
puaskah kamu memiliki separo dari kerajaan ini? Yang
menjadi hakmu itu sebenarnya lebih dari cukup apabila
kita bina dengan sebaik-baiknya,” kata Dritarastra.
Tetapi Duryodhana tidak mengindahkan nasihat
ayahnya. Ia sudah muak mendengar berbagai nasihat.
Kemudian ia berkata dengan keras, “Sejengkal tanah pun
takkan kuberikan kepada Pandawa. Setapak pun aku tak
sudi bergeser!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan
ayahnya tanpa mohon diri.
Sementara itu, setelah Sanjaya meninggalkan Upaplawya,
Yudhistira berunding dengan Krishna. Katanya,
“Wasudewa, Sanjaya adalah bayangan Dritarastra. Dari
ucapannya, aku mencoba menangkap apa yang sebenarnya
ada dalam pikiran Dritarastra. Ia mencoba mengajak
kami berdamai, tanpa mengembalikan tanah kami. Sejengkal
pun tidak. Mulanya aku senang mendengar ucapannya.
Tapi, setelah menyimak dan merenungkan kata-katanya,
aku sadar, kegembiraanku tidak beralasan. Kemudian ia
menyatakan keinginan untuk berdamai, tetapi dengan
syarat yang membuat posisi kami lemah karena mereka
takkan mengembalikan hak kami.
“Dritarastra memang bersikap tidak adil kepada kami.
Berarti saat-saat gawat semakin dekat. Tidak ada orang
lain, kecuali engkau yang dapat menolong kami. Aku telah
ajukan tuntutan sesedikit mungkin: hanya lima desa. Tetapi
Kaurawa yang serakah pasti tetap menolak. Bagaimana
kami bisa bertenggang rasa menghadapi sikap seperti itu?
Hanya engkau yang dapat memberi nasihat kepada kami.
Hanya engkau yang bisa menunjukkan apa tugas kami
sekarang. Hanya engkau yang mampu memimpin kami
dalam dharma.”
Krishna menanggapi, “Demi kebaikan kalian, kedua
belah pihak—maksudku, sebaiknya aku pergi ke Hastinapura.
Aku akan mencoba memintakan hak kalian tanpa
peperangan. Kalau usahaku berhasil, itu berarti kebaikan
bagi dunia dan umat manusia.”
Kata Yudhistira, “Wahai Krishna, engkau tak perlu pergi
ke Hastinapura. Apa gunanya engkau pergi ke tempat
musuh? Duryodhana sebenarnya penakut, membenci kebajikan,
dan keras kepala. Aku tidak setuju engkau pergi
menemuinya. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu karena
Kaurawa yang licik akan nekat dan bisa berbuat apa
saja.”
Krishna menjawab, “Dharmaputra, aku tahu Duryodhana
memang jahat, tetapi kita tetap harus berusaha mencapai
penyelesaian secara damai agar rakyat tidak menuduh
kita tidak berusaha untuk menghindari peperangan.
Cara apa pun akan kita tempuh, demi perdamaian. Jangan
khawatirkan keselamatanku. Jika Kaurawa berani mengancam
atau melukai aku yang datang sebagai duta perdamaian,
aku akan remukkan mereka hingga menjadi abu!”
Yudhistira berkata lagi, “Engkau tahu segala dan
semua. Engkau tahu hati kami dan hati mereka. Memang,
engkaulah utusan yang paling baik dan paling tepat.”
Krishna menanggapi, “Ya, aku mengenalmu dan mengenal
Duryodhana dengan baik. Jiwamu selalu teguh memegang
kebenaran. Jiwa mereka selalu diliputi kebencian, iri
hati dan permusuhan. Aku akan berusaha sebaik mungkin
agar apa yang kau cita-citakan tercapai, yaitu penyelesaian
tanpa perang. Memang, kemungkinan itu sangat kecil dan
situasi sekarang ini membuahkan firasat buruk. Tetapi,
kewajiban kita untuk selalu mengusahakan perdamaian.”
Demikianlah percakapan Yudhistira dengan Krishna
sebelum Raja Dwaraka itu berangkat ke Hastinapura
diiringkan Satyaki. Sebelum berangkat, sekali lagi Krishna
mengajak Pandawa berunding dengan sungguh-sungguh.
Dalam perundingan itu, sungguh terasa bahwa setiap
orang di pihak Pandawa menghendaki perdamaian. Bahkan
Bhima, yang terkenal keras kepala, juga memilih
perdamaian. Demikian kata Bhima, “Janganlah kita memusnahkan
bangsa kita; juga keturunannya. Kalau bisa
diusahakan, aku lebih memilih perdamaian.”
Tetapi Draupadi tidak bisa melupakan penghinaan yang
pernah dialaminya. Sambil mengusap-usap rambutnya
yang panjang, dengan suara tersendat-sendat ia berkata
kepada Krishna, “Madusudana, perhatikanlah rambutku
ini, bekas penghinaan. Kehormatan apa yang harus dijunjung?
Tidak ada perdamaian tanpa kehormatan! Kalaupun
Bhima dan Arjuna tidak setuju jalan perang, ayahku—
walaupun sudah tua—pasti akan pergi ke medan perang
bersama anak-anakku. Mungkin ayahku tidak setuju, tetapi
anak-anakku dan Abhimanyu, anak Subadra, akan
memimpin pertempuran melawan Kaurawa. Demi pengabdianku
kepada Dharmaputra, tiga belas tahun kulewatkan
dengan memendam kebencianku pada Kaurawa. Tetapi
kini, aku sudah tidak tahan lagi!”
Krishna menjawab, “Mungkin sekali anak-anak Dritarastra
tidak akan peduli akan usul perdamaian ini. Dalam
perang, mereka akan berjatuhan dan musnah. Tak ada
yang akan melakukan upcara persembahyangan untuk
mereka. Mayat mereka akan jadi santapan serigala dan
anjing hutan.
“Engkau akan menyaksikan kami pulang membawa
kemenangan. Semua penghinaan yang pernah engkau terima,
akan mereka bayar mahal. Sabarlah, saat itu akan
segera tiba.” Setelah berkata demikian, berangkatlah Krishna
alias Madhusudana ke Hastinapura.
Berita kedatangan Krishna telah sampai ke Hastinapura
jauh sebelum dia dan pengiringnya melewati perbatasan.
Dritarastra memerintahkan agar Hastinapura dihias dengan
semarak dan upacara penyambutan dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya. Kediaman Duhsasana, yang paling
indah dari semua kediaman Kaurawa, disiapkan untuk
tempat beristirahat Krishna dan pengiringnya.
Dritarastra meminta nasihat kepada Widura, “Sebaiknya
kita siapkan upacara pemberian gelar dan hadiah
untuk Krishna. Kita hadiahkan kereta kencana, gajah,
kuda, dan sejumlah hadiah lain.”
Widura menjawab, “Krishna tak mungkin dibujuk
dengan gelar dan hadiah. Berikan apa yang ia kehendaki.
Bukankah ia datang untuk mengusahakan penyelesaian
secara damai? Usahakan untuk memenuhinya. Krishna
takkan silau oleh hadiah dalam bentuk apa pun. Ia akan
puas jika kedatangannya membuahkan perdamaian.”
Ketika Krishna dan para pengiringnya tiba di Hastinapura,
penduduk berdiri di pinggir jalan, mengelu-elukan
kedatangannya. Saking padatnya jalanan, kereta mereka
nyaris tak bisa bergerak. Pertama-tama Krishna pergi ke
istana Dritarastra, kemudian ke kediaman Widura. Dewi
Kunti menemuinya di kediaman Widura. Ibu para kesatria
Pandawa itu menangis ketika bertemu dengan Krishna. Ia
sedih karena ingat akan penderitaan putra-putranya selama
tiga belas tahun. Krishna menghibur Dewi Kunti
dengan mengabarkan bahwa saat itu Pandawa selamat dan
sejahtera.
Dari kediaman Widura, Krishna pergi ke kediaman
Duryodhana untuk menyampaikan maksud kedatangannya,
yaitu mengharapkan penyelesaian yang wajar.
Duryodhana menyambut Krishna dan mengundangnya
untuk makan-makan, tetapi dengan halus Krishna menolaknya.
Katanya, “Terima kasih atas undanganmu. Saya
terima undangan makan-makan itu. Tetapi, sebaiknya itu
dilaksanakan setelah kita mencapai kesepakatan untuk
memilih jalan damai.”
Setelah menyampaikan pesannya kepada Duryodhana,
Krishna minta diri untuk kembali ke kediaman Widura. Di
sanalah ia tinggal selama ia menjalankan tugasnya di
Hastinapura. Krishna dan Widura lalu mengadakan pembicaraan.
Widura menjelaskan kepada Krishna bahwa keangkuhan
Duryodhana disebabkan oleh keyakinannya akan
kesaktiannya sendiri.
Kecuali itu, Bhisma dan Drona tetap berada di pihaknya.
Widura memberi isyarat bahwa sebaiknya Krishna
dan pengiringnya tidak masuk ke ruang perundingan yang
akan diselenggarakan oleh Duryodhana. Ia yakin, Duryodhana
dan saudara-saudaranya pasti telah merencanakan
suatu perangkap untuk membunuh Krishna.
“Apa yang engkau katakan tentang Duryodhana itu
benar. Aku datang kemari dengan harapan bisa merundingkan
penyelesaian secara damai. Aku tidak ingin dikutuk
oleh dunia. Jangan engkau khawatirkan keselamatanku,”
kata Krishna.
Keesokan harinya Duryodhana dan Sakuni datang
menemui Krishna, mengatakan bahwa Dritarastra telah
menunggu kedatangannya. Krishna segera pergi ke tempat
perundingan bersama Satyaki dan Widura. Pada waktu
Krishna memasuki ruangan, semua yang hadir di situ
serentak berdiri dan memberikan salam hormat dengan
mengatupkan kedua telapak tangan. Kemudian Krishna
dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan baginya.
Setelah upacara penyambutan selesai, tibalah giliran
Krishna untuk bicara.
Sambil memandang Dritarastra dengan penuh hormat,
Krishna menjelaskan maksud kedatangannya kepada hadirin.
Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya diinginkan
pihak Pandawa. Akhirnya secara khusus Krishna berkata
kepada Dritarastra, “Paduka Raja, hendaknya Tuanku
jangan membawa kehancuran bagi rakyat. Renungkan ini:
sesuatu dikatakan jelek apabila baik bagi dirimu sendiri
dan sesuatu dikatakan baik apabila jelek bagi dirimu sendiri.
“Tugasmu adalah untuk menuntun putra-putramu.
Pandawa siap bertempur, tetapi mereka memilih perdamaian.
Mereka ingin hidup rukun dan bahagia di bawah
pimpinanmu. Perlakukan mereka sebagaimana putraputramu
sendiri. Berusahalah untuk mencari penyelesaian
yang damai dan terhormat. Pasti dunia akan menghormati
engkau!” Demikianlah, Krishna berkata dengan sungguhsungguh.
Dritarastra yang buta berkata kepada para hadirin,
“Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku, dalam hal
ini aku tidak bersalah. Aku juga mengharapkan perdamaian,
sama seperti yang dikatakan Krishna. Tetapi aku
tidak berdaya. Putra-putraku tidak mau mendengarkan
kata-kataku. Krishna, aku harap kau berhasil menasihati
Duryodhana.”
Krishna menoleh ke arah Duryodhana dan berkata,
“Engkau keturunan keluarga agung dan terhormat. Berjalanlah
di jalan dharma. Buanglah iri, dengki dan dendam
di hatimu karena itu tidak sesuai dengan keagunganmu.
Perasaan seperti itu hanya pantas bagi orang yang berasal
dari keturunan berbudi rendah. Karena engkaulah, keturunan
dan keluarga ini berada dalam bahaya kehancuran.
Dengarkan dan pertimbangkan usul kami yang adil dan
wajar ini.
“Pandawa menghendaki Dritarastra menjadi raja dan
engkau menjadi ahli warisnya. Berdamailah dengan mereka
dan serahkan separo kerajaan ini kepada mereka.”
Bhisma dan Drona menasihati Duryodhana agar mau
mendengarkan kata-kata Krishna. Tetapi hati Duryodhana
sudah keras, tidak bisa dilembutkan.
“Aku kasihan melihat ayahmu, Dritarastra, dan ibumu,
Dewi Gandhari. Karena keserakahanmu, mereka menderita,
putus asa dan kehilangan segalanya,” kata Widura
kepada Duryodhana.
Sekali lagi Dritarastra berkata kepada putranya, “Duryodhana!
Kalau engkau tidak mau mendengarkan nasihat
Krishna, bangsamu akan musnah.”
Bhisma dan Drona tidak putus-putusnya menasihati
Duryodhana agar tidak berjalan ke arah yang salah. Tetapi
Duryodhana justru kehilangan kesabaran. Ia tidak dapat
menahan kekesalannya lagi, lebih-lebih karena merasa
dipojokkan untuk menyetujui penyelesaian secara damai.
Kekesalan dan amarahnya meledak! Dia berdiri lalu berkata
lantang, “Wahai, Krishna, engkau menyalahkan aku
sebab engkau memihak Pandawa. Yang lain juga menyalahkan
aku, tetapi aku yakin bukan aku yang harus dikutuk.
Atas kehendak mereka sendiri Pandawa telah mempertaruhkan
kerajaan mereka. Mana bisa aku yang harus
bertanggung jawab atas urusan ini? Setelah kalah dalam
permainan, sesuai permufakatan yang terhormat, mereka
harus masuk hutan seperti kesepakatan kita semula.
“Sekarang, kesalahan apalagi yang mereka tuduhkan
kepada kami? Mengapa kami dituduh haus perang dan
pembunuhan? Aku tidak gentar menghadapi ancaman apa
pun. Ketika aku masih bocah, orang-orang yang lebih tua
selalu menyalahkan dan menyakiti hati kami dengan selalu
membenarkan, membela, dan menyanjung Pandawa. Aku
tidak tahu, mengapa mereka harus mendapat setengah
dari kerajaan ini padahal sesungguhnya mereka sama
sekali tidak berhak. Waktu itu, aku diam dan setuju saja.
Tetapi, bukankah mereka telah mempertaruhkan kerajaannya
dalam permainan dadu dan mereka kalah? Sejengkal
pun takkan kuberikan wilayah kerajaanku kepada Pandawa!”
kata Duryodhana tanpa rasa bersalah sama sekali.
Krishna tersenyum dan berkata, “Bukankah engkau
telah mempersiapkan permainan itu dengan licik? Bersama
dengan Sakuni, kau memperdayakan Pandawa. Permainan
kauatur sedemikian hingga Pandawa tak mungkin menang.
Dengan keji kauhina Draupadi di depan para raja dan
tamu-tamu lainnya. Tanpa malu engkau tetap bersitegang
bahwa engkau sama sekali tidak bersalah.”
Duhsasana menanggapi pembicaraan tersebut dengan
mengatakan bahwa Bhisma dan para tetua lainnya sudah
termakan oleh kata-kata Krishna yang memojokkan Duryodhana.
Tiba-tiba ia berdiri lalu berkata dengan lantang,
“Saudaraku, rupa-rupanya orang-orang dalam perundingan
ini telah menyiapkan rencana jahat terhadap dirimu.
Mereka hendak mengikat kaki dan tanganmu dengan tali
tipu muslihat dan menyerahkan dirimu pada Pandawa.
Ayo, kita pergi dari sini.”
Demikianlah, Duryodhana dan saudara-saudaranya
segera meninggalkan perundingan.
Krishna meneruskan pembicaraan dengan hadirin yang
masih ada. Ia berkata, “Tuan-Tuan yang mulia, bangsa
Yadawa dan bangsa Wrisni kini hidup damai dan bahagia
setelah Kamsa dan Sisupala mati. Demi menyelamatkan
seluruh rakyat, mungkin kita perlu mengorbankan satudua
orang.
“Bukankah ada kalanya sebuah desa harus dikosongkan
atau dimusnahkan demi menyelamatkan seluruh
negeri dari petaka wabah penyakit? Aku khawatir, kita
terpaksa mengorbankan Duryodhana bila Tuan-Tuan hendak
menyelamatkan bangsa ini. Inilah satu-satunya jalan.”
Dritarastra menyuruh Widura memanggil Dewi Gandhari,
permaisurinya dan ibu para Kaurawa. Ia berharap
Duryodhana mau mendengarkan nasihat ibunya dan
mengambil keputusan dengan akal sehat. Tetapi Duryodhana
berkata dengan mata merah melotot, “Tidak, tidak,
tidak!” lalu pergi tanpa memberi hormat kepada siapa pun.
Duryodhana menyusun rencana untuk menculik dan
membunuh Krishna. Rencana itu segera sampai ke ruang
perundingan. Krishna, yang sudah mengetahui rencana itu
sejak semula, tiba-tiba memperlihatkan keaslianNya. Selama
beberapa saat Dritarastra yang buta dapat melihat
Krishna dalam wujudNya yang suci dan agung, wujud
sebagai penjelmaan Hyang Widhi yang membawa perdamaian.
Dritarastra lalu menyembah.
“Oh Hyang Widhi, setelah melihat Engkau dalam bentuk
Wiswarupa, aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Biarlah
aku buta untuk selama-lamanya,” katanya sambil memejamkan
matanya lagi. Seketika itu ia kembali buta seperti
sediakala.
Dritarastra meneruskan ucapannya, “Semua usaha kita
gagal. Duryodhana memang kepala batu.”
Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, pertemuan
diakhiri. Krishna segera meninggalkan ruangan
didampingi Satyaki dan Widura. Ia langsung menemui
Dewi Kunti dan mengabarkan bahwa usahanya gagal. Dewi
Kunti meminta agar Krishna menyampaikan restunya
kepada putra-putranya.
“Sekarang saatnya menunjukkan untuk apa sebenarnya
seorang ibu membesarkan putra-putranya hingga menjadi
kesatria, yaitu untuk dikorbankan di medan perang. Semoga
engkau dapat menuntun mereka dalam pertempuran,”
kata Dewi Kunti kepada Krishna. Setelah bercakap-cakap
sebentar, Krishna cepat-cepat naik ke keretanya lalu
melecut kudanya agar berlari kencang menuju Upaplawya.
Jalan damai sudah diusahakan, tapi peperangan tak
terhindarkan!
Posting Komentar