MAHABARATA Detik-Detik menjelang Tragedi
MAHABARATA Detik-Detik menjelang Tragedi
Dalam
rencana Bale Sigala-gala ini Drona yang menjadi guru besar warga Kurawa dan
Pandawa tidak dilibatkan oleh Patih Sengkuni
Kicau burung
bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan
yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu.
Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian,
kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini,
para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari
pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para
Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale
Sigala-gala nanti sore. bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi
sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.
Lain yang
dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan
para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di
Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman
ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun
hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar
pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan
terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan
Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu,
Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke
gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala
“Kakang Mbok
Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat
orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang
yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan
keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”
Dihantar
oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan
Panggombakan.
Sejak pagi
Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias
halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale
Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya
yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum.
Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.
Namun
tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale
yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan
membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!!
Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh
orang yang tak berdosa.”
Puruncona
merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan
Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa
bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di Hastinapura.
Ketika sayup
terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan
pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum
menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum
datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah
artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan
Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi
pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia
disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan
Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling
perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan
mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan
tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi,
karena takut diketahui oleh Patih Sengkuna dan warga Kurawa.
Sejak Kanana
menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia
menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal
tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan
rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang
tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan
Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni
menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh
menyambut mereka.
Keramahtamahan
Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga
Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa
dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.
Pesta itu
sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta,
menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili,
mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti
penuh variasi.
Suasana
gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk
terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para
Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat
mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta
terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak
mendapat perhatian.
Keadaan
menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas
minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan
makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.
Jika semula
pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan
suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya
berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.
Sengkuni
menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk,
ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.
Posting Komentar