MAHABARATA Di Antara Dua Pilihan.

MAHABARATA Di Antara Dua Pilihan.


Raja Drupada memanggil pendita Negeri Pancala dan
berkata kepadanya, “Engkau mengetahui jalan pikiran
Duryodhana dan sikap Pandawa. Pergilah, menghadap
Duryodhana sebagai utusan Pandawa. Kaurawa telah
menipu Pandawa dengan sepengetahuan ayah mereka,
Raja Dritarastra yang tidak mau mengindahkan nasihat
Resi Widura. Tunjukkan kepada raja tua yang lemah itu,
bahwa ia telah diseret anak-anaknya ke jalan yang salah,
jalan yang menjauhi kebajikan dan dharma.
“Engkau bisa bekerja sama dengan Resi Widura. Mungkin
dalam tugasmu engkau akan berbeda pandangan dengan
para tetua di sana, yaitu Bhisma, Drona dan Kripa;
begitu pula dengan para panglima perang mereka. Andaikata
itu yang terjadi, maka dibutuhkan waktu lama untuk
mempertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dengan
demikian, Pandawa mendapat kesempatan baik untuk
mempersiapkan diri.
“Sementara engkau berada di Hastinapura untuk merundingkan
perdamaian, persiapan Kaurawa akan tertunda.
Syukur, kalau Pendita bisa kembali dengan penyelesaian
yang memuaskan kedua pihak. Itu penyelesaian
yang paling mulia! Tetapi, menurutku Duryodhana tidak
dapat diharapkan akan mau menyetujui penyelesaian
seperti itu. Namun demikian, mengirim utusan merupakan
suatu keharusan yang menguntungkan dan mempertinggi
martabat kita.”

Sementara Drupada mengirim Pendita Negeri Pancala ke
Hastinapura, Pandawa mengirim utusan ke Dwaraka. Arjuna
sendiri berangkat untuk menemui Krishna. Dari matamatanya,
Duryodhana tahu bahwa Arjuna hendak menemui
Krishna. Karena itu ia tidak tinggal diam. Ia segera
memutuskan untuk berangkat ke Dwaraka, dengan kereta
kudanya yang paling cepat, untuk menemui Wasudewa.
Kebetulan, Duryodhana dan Arjuna sampai di Dwaraka
pada saat yang sama. Mereka langsung menemui Krishna.
Karena mereka adalah kerabat Krishna, tanpa kesulitan
mereka segera dipersilakan masuk ke istana dan menunggu.
Waktu itu Krishna sedang tidur. Dengan sabar mereka
menunggu. Duryodhana yang masuk lebih dulu ke kamar
tidur Krishna lalu duduk di kursi empuk dekat kepala
tempat tidur. Arjuna, yang masuk kemudian, berdiri tegak
dengan tangan memegangi kaki tempat tidur. Mereka
diam, masing-masing tak berniat mendahului bicara.
Setelah lama menunggu, akhirnya Krishna bangun. Begitu
Madawa alias Krishna terjaga, matanya langsung melihat
Arjuna, yang berdiri memberi hormat. Krishna membalasnya
dengan memberi salam hangat dan mengucapkan
selamat datang. Kemudian ia menoleh dan memberi salam
selamat datang kepada Duryodhana.
Kemudian Krishna menanyakan maksud kedatangan
mereka. Duryodhana yang pertama bicara, “Agaknya,
perang akan pecah di antara kita. Kalau ini tidak bisa
dihindari dan memang harus terjadi, engkau harus membantu
aku. Arjuna dan aku sama-sama kaukasihi. Kami
berdua adalah keluarga dekatmu. Engkau tidak dapat
mengatakan salah satu di antara kami lebih dekat
denganmu. Tidak mungkin! Aku lebih dulu sampai di sini
daripada Arjuna. Sesuai tradisi dan kesopanan, yang
datang lebih dulu harus diberi pilihan pertama. Janardana,
engkaulah yang termulia di antara orang-orang mulia.
Menjadi tugasmulah untuk memberi contoh mulia bagi
orang-orang lain. Bertindaklah tegas sesuai dengan
kedudukanmu, tradisi, kesopanan, dan dharma! Akulah
yang lebih dulu masuk ke kamar ini.”
Purushottama alias Krishna menjawab, “Wahai putra
Dritarastra, boleh jadi engkau tiba lebih dulu, tetapi yang
pertama kulihat ketika terjaga dari tidurku adalah putra
Dewi Kunti. Memang engkau datang lebih dulu, tetapi
Arjuna yang lebih dulu kulihat. Namun demikian, tuntutan
kalian berdua adalah sama bagiku dan aku harus memberikan
bantuan kepada kalian. Dalam menjatuhkan pilihan,
menurut tradisi kesempatan sebaiknya diberikan kepada
yang lebih muda. Karena itu, aku akan memberikan
kesempatan pertama kepada Arjuna.
“Aku berasal dari bangsa Narayana yang tak mudah
ditaklukkan. Menurut kami, dalam hal kekuatan ragawi,
mereka semua dan seluruhnya sama dengan aku yang
seorang diri. Karena itu, dalam membagi bantuan ini,
mereka merupakan satu bagian dan aku merupakan bagian
lain yang tersendiri. Dalam pertempuran nanti, aku
tidak akan menggunakan senjata dan tidak akan ikut bertempur.
Aku takkan melepaskan anak panahku atau
menggunakan senjata apa pun.”
Sesaat kemudian, sambil memandang Arjuna, ia berkata,
“Wahai Partha, pikirkan masak-masak. Apakah engkau
menghendaki aku yang sendirian tanpa senjata atau
seluruh balatentara Narayana yang gagah perkasa? Gunakan
hak untuk lebih dulu memilih yang oleh tradisi diberikan
kepadamu sebagai orang yang lebih muda.”
Tanpa berpikir lama dan tanpa ragu, Arjuna menjawab,
“Aku akan lega jika engkau ada di pihak kami, walaupun
tanpa senjata.”
Duryodhana tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia
menganggap pilihan Arjuna bodoh. Dengan senang hati ia
memilih balatentara Wasudewa. Dengan kegembiraan yang
meluap-luap ia pergi menemui Balarama, kakak Krishna.
Kepada pangeran itu ia menceritakan apa yang telah diperolehnya
dari Wasudewa dan mengatakan bahwa ia mengharapkan
bantuan yang sama.
Balarama berkata kepada Duryodhana, “Wahai Duryodhana,
mereka pasti sudah menyampaikan kepadamu apa
yang kukatakan dalam perjamuan agung perkawinan putri
Wirata dan dalam pertemuan para penasihat agung di
ibukota Negeri Matsya. Aku ungkapkan semua masalah ini
dan sedapatku aku membela kalian. Aku sering mengatakan
pada Krishna bahwa kita punya hubungan sama
dengan Kaurawa dan Pandawa. Tetapi kata-kataku tidak
berhasil meyakinkan dia. Aku tak berdaya. Tidak mungkin
bagiku memihak seseorang atau sesuatu yang bertentangan
dengan Krishna. Aku tidak akan membantu Partha
dan tidak akan mendukungmu melawan Krishna.
“Duryodhana, engkau adalah keturunan dan ahli waris
suatu bangsa kesatria yang perwira dan disegani semua
orang di seluruh muka bumi. Seandainya perang harus
terjadi, bertindaklah sesuai dengan watak seorang kesatria.”
Setelah menerima doa restu dari Balarama, Duryodhana
kembali ke Hastinapura dengan semangat tinggi. Ia berkata
kepada dirinya sendiri, “Arjuna telah membodohi
dirinya sendiri. Balatentara Dwaraka yang terkenal perkasa
akan bertempur di pihakku. Balarama telah memberikan
restunya kepadaku. Sementara Krishna telah berjanji
takkan ikut berperang atau menggunakan senjata. Ah,
rupa-rupanya Arjuna sudah gila.”
Setelah Duryodhana pergi, Krishna bertanya kepada
Arjuna, “Dhananjaya, kenapa engkau memilih aku yang
sendirian tanpa senjata, tanpa pasukan, dan membiarkan
balatentara Dwaraka bertempur di pihak Duryodhana?”
Arjuna menjawab, “Keinginanku adalah mencapai kebesaran
seperti keagunganmu. Engkau memiliki kekuatan
dan kesaktian untuk menghadapi semua kesatria di bumi
ini. Kelak, aku ingin agar aku juga bisa. Sebab itu, aku
ingin memenangkan semua pertempuran dengan engkau
sebagai sais keretaku yang tidak memegang senjata.
Kesempatan seperti itu sudah kuimpi-impikan sejak dulu.
Kini engkau memenuhi impianku dan berada di pihak
kami. Alangkah bahagianya hatiku.”
Sambil tersenyum Krishna berkata, “O, jadi engkau hendak
bertempur dengan aku sebagai sais keretamu?
Baiklah, semoga engkau berhasil. Terimalah restuku.”
Berbeda dengan Krishna, Balarama yang termasyhur
sebagai kesatria besar pergi mengunjungi Pandawa untuk
menyatakan ketetapan hatinya mengenai perselisihan
antara Kaurawa dan Pandawa. Ia mengenakan pakaian
kebesaran berwarna biru. Yudhistira, Krishna dan para
Pandawa menyambutnya dengan hangat. Balarama yang
tampak perkasa dengan bahu lebar dan dada bidang itu
memberi hormat kepada Drupada dan Wirata, kemudian
duduk di samping Dharmaputra.
Setelah cukup berbasa-basi, Balarama menyatakan isi
hatinya kepada Dharmaputra.
“Aku datang kemari”, katanya memulai, “setelah mendengar
bahwa keturunan bangsa Bharata telah membiarkan
diri mereka diseret oleh rasa loba, angkara murka dan
kebencian. Aku juga telah mendengar tentang gagalnya
usaha merundingkan perdamaian. Aku mendengar bahwa
akhirnya perang akan diumumkan.”
Ia berhenti sesaat, sebab dadanya sesak oleh perasaan
sedih dan kecewa terhadap keadaan yang membuat perang
saudara tak terhindarkan. Kemudian ia meneruskan
ucapannya, kali ini ditujukan kepada Yudhistira, “Dharmaputra,
kemusnahan yang mengerikan akan terjadi. Tanah
akan dibanjiri darah, mayat manusia akan bergelimpangan.
Ini adalah perbuatan setan yang membuat para
kesatria menjadi gila harta dan haus perang. Dengarlah,
perang hanya akan membuahkan kehancuran.
“Sering kukatakan kepada Krishna bahwa Duryodhana
dan Pandawa bagi kami adalah sama. Kami tidak boleh
memihak salah satu dari mereka jika mereka bertikai.
Tetapi Krishna tidak mau mendengarkan. Rasa sayangnya
kepada Dhananjaya sangat besar dan itu membuatnya tak
mampu bertindak adil. Dalam perang nanti, aku tahu
Krishna telah memutuskan untuk berada di pihakmu.
Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Krishna, adikku
sendiri, di pihak yang berlawanan?
“Duryodhana dan Bhima pernah menjadi muridku. Aku
menyayangi dan menghormati mereka, tanpa membedabedakan
atau berat sebelah. Bagaimana mungkin aku
membantu yang satu dan melawan yang lain? Aku tidak
ingin melihat salah satu dari kalian musnah dalam peperangan
nanti. Karena itu, aku tidak akan turut campur
dalam peperangan yang akan memusnahkan segalanya.
Keputusan yang menyedihkan ini membuatku tak percaya
lagi pada dunia ini. Aku akan pergi bertapa, mengasingkan
diri dan berziarah ke tempat-tempat suci.”
Setelah berkata demikian, Balarama pergi. Ia sedih dan
muak terhadap keburukan dan kejahatan di dunia. Ia
bingung menghadapi kenyataan pahit itu.
Begitulah, di dunia ini sesungguhnya banyak orang baik
dan jujur yang tidak mampu menentukan pilihan dalam
keadaan seperti itu. Apa pun yang dipilih, serba salah dan
terlalu berat untuk dihadapi. Sebagai pribadi, mereka
merana, putus asa, dan terjerumus dalam dilema yang
dapat mematikan semangat, cita-cita, dan gairah hidup.

Posting Komentar

Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger