MAHABARATA Arjuna dan Pasupata
MAHABARATA Arjuna dan Pasupata
Di tempat pengasingan di dalam hutan,
Bhima dan Draupadi sering bercakap-cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata
bahwa amarah yang didasari kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar
menerima penghinaan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria
sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif bijaksana
untuk membenarkan pendapat masing-masing. Tetapi, dengan mantap Yudhistira
berkata bahwa seorang kesatria haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan
uji adalah kebajikan paling mulia dari segala sifat manusia.
Bhima sudah tidak sabar ingin segera
menyerang Duryodhana dan merebut kembali kerajaan mereka. Baginya tidak ada
gunanya menjadi kesatria perkasa jika harus hidup mengembara di hutan, tanpa
berperang, hanya bertapa bersama para resi dan pendita.
Bhima berkata kepada Yudhistira, “Engkau
seperti mereka yang berulang-ulang melantunkan kidung suci Weda dengan suara
merdu dan puas mendengar suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya.
Otakmu jadi kacau. Engkau dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir
dan bertindak seperti kesatria. Tingkah lakumu seperti brahmana. Seharusnya kau
tahu, dalam kitab-kitab suci tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet
berusaha adalah ciri-ciri kaum kesatria. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak
Dritarastra berbuat curang seenaknya. Sia-sialah kelahiran seseorang sebagai
kesatria jika ia tak dapat menundukkan musuh yang licik. Inilah pendapatku.”
“Bagiku, masuk neraka karena memusnahkan
musuh yang jahat dan licik sama artinya dengan masuk surga. Hatimu yang lemah
membuat kami panas hati. Aku dan Arjuna tidak terima. Hati kami bergejolak.
Siang dan malam kami tak bisa tidur.”
Ia berhenti sebentar, menghela napas,
lalu melanjutkan, “Mereka orang-orang laknat yang merampas kerajaan kita dengan
licik. Kini mereka hidup bergelimang kekayaan dan pesta pora. Tapi… engkau?
Lihatlah dirimu! Engkau tergolek pulas seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa
bergerak. Katamu, kita harus setia pada janji kita. Bagaimana mungkin Arjuna
yang masyhur bisa hidup dengan menyamar? Mungkinkah Gunung Himalaya
disembunyikan dalam segenggam rumput? Bagaimana bisa Arjuna, Nakula dan
Sahadewa yang berhati singa hidup dengan sembunyi-sembunyi? Apa mungkin
Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali orang? Apa pun usaha kita untuk
menyamar, Kaurawa pasti bisa menemukan kita melalui mata-mata mereka. Jadi,
tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua ini hanya alasan untuk
mengusir kita selama tiga belas tahun. Kitab suci Sastra membenarkan kata-kataku,
yaitu: janji berdasarkan kecurangan bukanlah janji. Engkau harus putuskan untuk
menggempur musuh-musuh kita sekarang juga! Bagi kesatria, tak ada kewajiban
yang lebih mulia daripada itu.”
Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan
pendapatnya. Draupadi juga sering mengingatkan Yudhistira betapa ia telah
dijamah oleh tangan-tangan kotor Duryodhana, Karna dan Duhsasana. Ia juga
sering mencoba memanas-manasi Yudhistira dengan mengutip nukilan-nukilan
kitab-kitab suci.
Yudhistira menjawab dengan sabar bahwa ia
harus memperhitungkan semua kekuatan lawan dengan cermat. Ia menambahkan,
“Musuh-musuh kita mempunyai sekutu terpercaya seperti Bhurisrawa, Bhisma,
Drona, Karna dan Aswatthama. Mereka semua ahli perang dan olah senjata. Banyak
raja yang kuat, besar atau kecil, kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan
Drona tidak senang pada watak Duryodhana, tetapi mereka tidak akan meninggalkan
dia. Mereka bersedia mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kaurawa.
“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan
tak dapat ditentukan. Tak ada gunanya tergesa-gesa!”
Demikianlah, Yudhistira terus-menerus
berusaha menenangkan saudara-saudaranya yang lebih muda.
Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna
pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, memohon agar dikaruniai senjata-senjata
baru oleh para dewata. Ia minta diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali.
Panchali berkata,
“Wahai Dananjaya, semoga engkau berhasil
menjalankan tugasmu. Semoga Dewata memberimu semua yang diidam-idamkan ibumu,
Dewi Kunti, sejak dulu. Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami
semua tergantung padamu. Kembalilah engkau setelah memperoleh senjata-senjata
baru.”
Setelah mendapat restu dari
saudara-saudaranya, Arjuna memulai perjalanannya. Ia menuruni jurang yang
dalam, menembus hutan belantara, mendaki tebing-tebing terjal, hingga sampai di
puncak Gunung Indrakila.
Di sana ia bersua dengan seorang
brahmana tua. Brahmana itu tersenyum dan berkata kepadanya,
“Wahai anakku, engkau mengenakan pakaian
prajurit dan membawa senjata. Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah
digunakan. Sebagai kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan
orang-orang suci dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?”
Sesungguhnya brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan ayah
Arjuna sendiri, yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya dalam keadaan
baik, ia melepaskan samarannya dan menjelma kembali menjadi Batara Indra.
Arjuna menjawab, “Aku datang dengan
maksud mencari senjata. Berilah aku senjata.”
Batara Indra berkata, “Oh, Dananjaya,
apa gunanya senjata? Mintalah kesenangan atau carilah tempat yang lebih tinggi
di dunia ini untuk bersenang-senang.”
Arjuna menjawab,
“Wahai Raja segala dewata, aku tidak
menginginkan kesenangan, atau dunia yang lebih tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan
Panchali dan saudarasaudaraku di hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”
Kemudian Batara Indra menyarankan,
“Pergilah bertapa, memohon karunia Batara Shiwa, sang Dewata Bermata Tiga.
Semoga engkau dikaruniai senjata mahasakti.”
Setelah berkata demikian, Batara Indra
menghilang dan Arjuna meneruskan perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa
di punggung gunung itu, memohon anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa.
Ketika Arjuna sedang bertapa, datanglah
Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-nya, ke dalam hutan itu dengan menyamar
sebagai pemburu. Mereka berburu dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang
kabut menuju tempat Arjuna bertapa. Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna
mengangkat busurnya, membidikkan anak panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak
panah dari busur Arjuna, meluncur pulalah panah Pinaka milik Batara Shiwa.
Dua-duanya tepat mengenai sasaran.
Arjuna berteriak lantang, “Siapakah
engkau? Mengapa engkau pergi berburu bersama istrimu? Kenapa engkau lancang
memanah babi hutan yang kupanah?”
Pemburu itu menjawab dengan tenang,
“Hutan ini kepunyaan kami yang hidup di sini dan sejak dulu ini memang hutan
perburuan. Engkau kelihatan tak sesigap pemburu pada umumnya. Keseluruhan
dirimu menunjukkan bahwa engkau biasa hidup nyaman di kota. Sesungguhnya,
akulah yang lebih pantas bertanya, apa yang kaucari di sini. Lagi pula, akulah
yang membunuh babi hutan itu.”
Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia
menantang pemburu itu untuk bertarung. Si pemburu menerima tantangannya.
Dengan tangkas Arjuna melompat,
mengangkat busur lalu melepaskan anak-anak panah dengan cepat, susul menyusul
seperti ular menjulur mematuk pemburu itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna,
pemburu itu bisa mengelak dengan mudah. Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua
anak panahnya lenyap tak berbekas. Ketika anak panahnya habis, Arjuna
menggunakan busurnya untuk menyerang, tetapi pemburu itu menepisnya sambil
tertawa. Kini Arjuna tak punya panah dan busur lagi. Ia heran melihat pemburu
sederhana yang sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus pedangnya lalu menikam
pemburu itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka, malahan pedang Arjuna
yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi. Tetapi ia terus
melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-erat dan mengikatnya
dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa berkutik lagi.
Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna
mengheningkan cipta dan memohon kepada Batara Shiwa. Seketika itu, muncul
seleret cahaya berkilat dalam jiwanya dan … tampak olehnya sosok Batara Shiwa.
Arjuna tersadar, pemburu itu adalah Batara Shiwa yang menyamar. Maka ia segera
bersimpuh dan menyembahnya, memohon ampun atas kesalahannya yang tak disengaja.
Batara Shiwa mengampuninya dan mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna.
Dalam perkelahian dengan Batara Shiwa,
badan Arjuna berulang-ulang bersentuhan dengan Batara mahasakti bermata tiga
itu. Karena itu, tanpa setahunya, ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus
kali lipat.
Sebelum kembali ke kahyangan, Batara
Shiwa menghadiahkan Pasupata, senjata yang sangat ampuh, sambil berkata,
“Pergilah ke kahyangan dan temui ayahmu, Batara Indra, untuk menyampaikan
hormat dan baktimu kepadanya.”
Setelah berkata
demikian Batara Shiwa pun lenyap dari pandangan. Sesaat kemudian Matali, pengemudi
kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk dibawa ke kerajaan para dewata.
Posting Komentar