MAHABARATA Pengembaraan di Rimba Raya
MAHABARATA Pengembaraan di Rimba Raya
Kaum brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira di
Indraprastha setia menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah
mengatur dan membiayai rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa menasihati
Yudhistira agar memperkecil rombongannya supaya pengembaraan lebih lancar,
terutama ketika berziarah ke tempat-tempat suci di hutan.
Atas saran tersebut, Yudhistira memberi tahu
pengikut-pengikutnya bahwa mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan dan
mengikutinya hanya karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina yang
diperintah Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja
Drupada. Selanjutnya, Yudhistira menyerahkan sepenuhnya kepada para pengikutnya
cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan kesanggupan mereka.
Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke tempat suci
lainnya di dalam hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan mengalami berbagai
keadaan dan situasi yang membuat mereka yakin bahwa masa depan mereka akan
baik.
Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah Resi
Agastya kepada mereka,
“Pada suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri
terbalik, kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya
kepada makhluk itu dan dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri
yang telah meninggal dunia. Ia mengalami nasib demikian karena keturunannya
tidak mau kawin dan tidak punya anak yang wajib mengadakan upacara-upacara
persembahyangan untuk roh nenek moyang. Mendengar hal itu, Agastya langsung
memutuskan untuk kawin.
“Terkisahlah bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu
kemudian memohon restu kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu
memberikan restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir
perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini.
“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang
kemudian diberi nama Dewi Lopamudra. Semakin dewasa semakin sempurnalah
kecantikannya. Dewi Lopamudra termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak
seorang pun berani mendekatinya karena takut pada Resi Agastya.
“Pada suatu hari, Resi Agastya datang ke istana Raja
Widarbha untuk menagih janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau
menyerahkan putrinya yang cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di
dalam hutan. Raja cemas kalau-kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi
kenyataan. Mengetahui kecemasan dan kesedihan orangtuanya, Dewi Lopamudra
justru menyatakan keinginannya untuk kawin dengan resi itu.
“Setelah disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagaimana
mestinya. Sebelum memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi
Lopamudra melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan
mahal. Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para resi yang
tinggal dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan semua perhiasan
dan pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya, kemudian mengenakan
pakaian dari kulit kayu.
Demikianlah, Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia
di pertapaan di hutan Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak
mesra.
“Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang meluap-luap,
Dewi Lopamudra tak bisa menahan perasaannya.
Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka
menikmati kemewahan.
“Aku ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk,
mengenakan jubah indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah
orangtuaku.’
Agastya menjawab,
“Aku tidak punya kekayaan apa-apa, karena sekarang kita
hidup di hutan sebagai peminta-minta.”
Lopamudra menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib
yogi-nya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju,
karena kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah
berdebat lama, mereka sepakat untuk pergi meminta-minta kepada raja-raja kaya
dengan harapan kelak mereka bisa hidup enak.
Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya.
Agastya berkata,
“Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku
yang dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi orang
lain.”
Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan kerajaan kepada
Agastya dan mempersilakan sang Resi mengambil apa yang diperlukannya dan
kelebihan yang ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa antara pendapatan dan
pengeluaran kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia kemudian pergi meminta-minta ke
negeri lain. Ternyata negeri itu mengalami kekurangan karena rajanya
mengeluarkan lebih banyak uang daripada jumlah pendapatan dari upeti yang
dipungut atas rakyat.
Tanpa putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di
sana ia menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya
sendiri,
“Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat
rakyat harus memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat lain
dengan cara lain.”
Demikianlah Agastya banyak mengetahui keadaan keuangan suatu
kerajaan. Ia menyimpulkan bahwa menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh
menarik upeti dari rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan
pengeluaran untuk kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima
pemberian hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti
dia telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya Agastya
memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan kaya raya,
untuk mencoba meminta-minta.
“Mula-mula Ilwala dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh
Agastya karena mereka membenci kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu
membunuh setiap brahmana yang datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah
seorang brahmana yang sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera
memenuhi permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan
keduanya hidup bahagia.”
Demikianlah cerita Resi Lomasa kepada Yudhistira yang
intinya merupakan pelajaran tentang bagaimana seharusnya mengurus harta
kerajaan yang merupakan hasil pungutan upeti dari rakyat. Harta kerajaan harus
digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
pribadi.
Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di lain pihak, sungguh
salah jika kita berpikir bahwa seseorang dapat dengan mudah hidup suci sebagai
brahmacharin jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali tidak
mengajarkan pengetahuan akan kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”
Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidaktahuan
tidaklah meyakinkan.”
Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah
mengalami bahaya kelaparan yang mengerikan.
Romapada, raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya
dilanda bencana alam. Panen gagal, tumbuh-tumbuhan kering, hujan tidak
turun-turun, ternak mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh
sengsara. Romapada memanggil semua brahmana di negerinya untuk dimintai nasihat
tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana menyarankan
agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra Resi Wibhandaka
yang masyhur. Resi Risyasringga telah menjalani kehidupan yang suci sempurna
dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup memanggil hujan yang akan
menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu selalu bertapa di samping
ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia lain, laki-laki atau
perempuan, selain ayahnya.
Bersama para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk
memanggil Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa
perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke ibukota
Angga.
Mula-mula perempuan-perempuan penggoda itu takut kepada raja
yang berkuasa itu dan kepada Resi Wibhandaka yang sakti. Tetapi setelah diberi
penjelasan, mereka menerima tugas itu dengan senang hati karena keberhasilan
mereka adalah demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka
membangun taman indah yang ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi dengan
pertapaan di tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai besar
yang jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi
Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat pertapaan itu.
Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka sedang pergi, salah
seorang perempuan yang cantik itu mengayuh perahu dan melabuhkannya di tepian
pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil memberi salam sesuai adat seorang
resi bila bertemu resi lainnya.
Seumur hidup Risyasringga belum pernah melihat perempuan
cantik dan bersuara merdu. Ia mengira perempuan itu seorang brahmacharin. Ia
bertanya,
“Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan
cemerlang. Siapakah engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang
engkau pelajari? Aku menyembah kepadamu.”
Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan buah-buahan sebagai
persembahan kepada seorang resi yang bertamu.
Perempuan itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ,
di pinggir sungai yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat
kembali, perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum,
minum-minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada Risyasringga.
Sambil membelai dan memeluk resi itu, perempuan itu berkata bahwa begitulah yang
ditradisikan bila seorang resi bertemu dengan resi lain yang seajaran.
Risyasringga tidak keberatan. Ia justru berpendapat bahwa
cara itu memberinya kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Kesucian
pikirannya ternoda. Ia tak kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan
itu. Tanpa berpikir panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang
lagi mengunjunginya.
Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat kaget melihat suasana
pertapaan yang tidak seperti biasanya. Rumput dan semak-semak bunga terlihat
habis diinjak-injak, sisa-sisa makanan berserakan, wangi kalung bunga menyusupi
hidungnya, dan wajah putranya tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi.
Risyasringga bercerita bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud
tubuhnya luar biasa indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk
dan membelainya, membuat sekujur tubuhnya merasakan kenikmatan tak terkira.
Dengan lugu Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi dengan
brahmacharin itu dan merasakan kembali kelembutan belaiannya.
Mendengar cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti
apa yang telah terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia
berkata,
“Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin
melainkan makhluk jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipumu dan berniat
menodai pertapaan kita. Jangan biarkan ia datang lagi.”
Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan
yang telah menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka.
Pada kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang
mengadakan perjalanan, perempuan itu datang lagi. Melihat Risyasringga hanya
sendirian, ia berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi
itu pergi sebelum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh
perempuan-perempuan penggoda yang mengemban tugas dari Raja Romapada. Segera
setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan perahu dikayuh
ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu diterima dengan
upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan beristirahat di tempat
yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana.
“Berkat kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah
Kerajaan Angga. Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras
menyuburkan tanah, binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi
kembali. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi Santa,
putrinya, untuk diperistri oleh Risyasringga.
Untuk menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada
mengerahkan berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana, terutama
di sekitar jalan-jalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika bertemu
dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah gembala yang
menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga.
Sementara itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi
Wibhandaka meninggalkan pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala
penjuru hutan, tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari
hutan, menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran melihat puluhan gembala
sedang menggembalakan sapi-sapi yang tambun dan sehat. Para gembala itu berkata
bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena berkali-kali mendengar jawaban
yang sama di mana-mana, lambat laun amarah Wibhandaka berkurang.
Akhirnya ia sampai ke ibukota Negeri Angga. Timbul rasa
ingin tahunya, apakah anaknya ada di ibukota itu. Di depan istana, tanpa
disangka-sangka, ia disambut dengan upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada
sendiri yang mengantarkannya ke puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat
bertemu dengan Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang
Resi lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai
menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri Angga dari
bencana kelaparan.
Ia merestui anaknya dan berkata,
“Teruslah berbuat kebajikan untuk menyenangkan hati Raja
Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau punya anak laki-laki,
kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.”
Resi muda itu menaati perintah ayahnya.
Resi Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian,
“Seperti halnya Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati
dan Wasistha, Lopamudra dan Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan
Draupadi pun ditakdirkan untuk hidup mengembara di dalam hutan selama waktu
yang telah ditentukan. Hiduplah dengan penuh cinta kasih, saling menyayangi,
dan selalu menjalankan dharma. Tempat ini adalah bekas pertapaan Risyasringga.
Mandilah dalam kolam ini dan sucikan dirimu.”
Mengikuti anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan
diri dalam kolam itu. Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka
bersembahyang memuja dewata.
***
Dalam pengembaraannya, Pandawa sampai ke pertapaan Resi
Raibhya di tepi Sungai Gangga. Mereka berhenti, membersihkan diri dan melakukan
upacara pemujaan, lalu beristirahat. Resi Lomasa bercerita tentang riwayat
pertapaan itu.
“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini.
Beginilah kisah hidupnya… .
Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brahmana yang
bersahabat dan pertapaannya berdampingan.
Raibhya punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan
Arwawasu, sedangkan Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida.
Kedua anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan
sungguh-sungguh hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu,
Yawakrida iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk
melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan bersamadi
dan bertapa berbulan-bulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin mendapat karunia
kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia mendatangi Yawakrida.
Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak menyiksa diri seperti itu.
Yawakrida menjawab,
“Aku ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi mereka
yang telah mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab suci
itu. Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai. Bagiku,
belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin berpuasa dan
bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa perlu berguru.
Restuilah aku!”
Batara Indra tersenyum seraya berkata,
“Wahai Brahmana, engkau berada di jalan yang salah.
Pulanglah engkau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah kitab-kitab
Weda darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar yang
benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.” Setelah berkata demikian,
Batara Indra menghilang.
Yawakrida tidak mengindahkan nasihat itu. Ia terus menyiksa
diri. Batara Indra muncul lagi, memberinya peringatan.
“Engkau memilih jalan salah untuk memperoleh ilmu. Untuk
memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar. Ayahmu mempelajari
kitab-kitab suci Weda dengan sabar dan berhasil. Yakinlah, kau pun pasti bisa.
Berhentilah menyiksa dirimu.”
Yawakrida tetap tidak mengindahkan nasihat Batara Indra.
Malahan ia berkata, jika puasa dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong
kaki dan tangannya untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan.
Pada suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai
Gangga sebelum mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja
keras melemparkan pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida
bertanya,
“Wahai Pak Tua, apa yang sedang kaukerjakan?”
Lelaki tua itu menjawab,
“Aku hendak membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun
bendungan dengan cara ini, orang akan bisa menyeberangi sungai ini dengan
mudah. Tahukah engkau bahwa tidak mudah menyeberangi Sungai Gangga. Bukankah
membuat bendungan suatu pekerjaan yang mulia?”
Yawakrida tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata,
“Rupanya engkau sudah gila! Engkau pikir, dengan
melempar-lemparkan pasir —dengan kedua tanganmu yang rapuh— engkau akan bisa
membendung arus sungai yang perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang
lebih berguna!”
Orang tua itu menjawab,
“Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada perbuatanmu
menyiksa diri karena ingin menguasai kitab-kitab suci Weda tanpa berguru?
Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?”
Maka, tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah
Batara Indra. Ia segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara
Indra berkenan menganugerahkan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan
permintaannya dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda
sebagaimana mestinya.
Sejak itu, Yawakrida mempelajari kitab-kitab suci Weda
dengan sungguh-sungguh dan berhasil menguasainya dalam waktu singkat.
Sayangnya, ia berjiwa lemah. Ia mengira, kemampuannya mempelajari kitab-kitab
Weda dengan cepat itu bukan karena pertolongan gurunya, melainkan karena
anugerah pastu Batara Indra. Ia menjadi sombong.
Resi Bharadwaja, ayahnya, yang mengetahui hal itu segera
menasihatinya,
“Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap iri dan
tinggi hati. Usahakan membatasi diri, jangan melampaui batas-batas kesopanan.
Jangan bersikap congkak terhadap orang yang lebih tua seperti Resi Raibhya.”
Musim semi tiba. Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar
semerbak mewangi, hamparan padang rumput terlihat hijau segar. Ke mana mata
memandang, yang tampak adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan,
burung-burung di angkasa, ikan di sungai dan telaga, semua gembira menyambut
datangnya musim semi yang gemilang.
Dalam suasana yang indah itu, istri Parawasu yang cantik dan
muda belia berjalan-jalan di luar pertapaan sambil memetik bunga-bunga dan
bersenandung merdu. Di tengah keindahan alam, kecantikannya semakin tampak
cemerlang. Yawakrida yang kebetulan lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh
kecantikannya. Ia berhenti dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah.
Lama-lama ia tak dapat menahan gejolak berahinya. Disambarnya putri itu lalu
diseretnya ke balik semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya
sepuas-puasnya.
Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan melihat
menantunya menangis tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang terjadi, resi tua
itu marah. Dicabutnya sehelai rambut dari kepalanya lalu dibakarnya dalam api
pemujaan sambil mengucapkan mantra. Seketika itu juga, dari rambut yang
terbakar itu muncul makhluk halus berwujud seorang gadis cantik. Kemudian ia
mencabut dan membakar sehelai rambut lagi. Setelah mengucapkan mantra,
muncullah makhluk halus berwujud raksasa perkasa bersenjata lembing. Resi
Raibhya memerintahkan kedua makhluk halus itu untuk membunuh Yawakrida.
Keesokan paginya, ketika sedang mengisi kendinya dengan air,
Yawakrida melihat seorang gadis cantik tiba-tiba muncul di hadapannya.
Gerak-geriknya sungguh menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat
makhluk cantik itu merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan
diri. Yawakrida beranjak, hendak mengejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa
perkasa bersenjata lembing. Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa
mengucapkan mantra sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi telaga.
Tetapi telaga itu kering. Ia lari ke tepi sungai, tetapi sungai itu juga
kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana pun ia lari, raksasa itu terus
mengejarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi. Tubuhnya yang letih jatuh
terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan menancapkan lembingnya. Tamatlah
riwayat Yawakrida.
Bharadwaja mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena
kematian putranya. Dalam keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi
Raibhya: kelak resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah
mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang bersalah.
Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja terjun ke dalam
api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh Yawakrida dan Bharadwaja
bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang dan damai.”
Resi Lomasa berkata,
“Inilah bekas pertapaan Resi Raibhya yang kuceritakan tadi.
Wahai Yudhistira, dari sini naiklah ke gunung. Bila engkau telah sampai ke
puncaknya, segala mendung yang menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu adalah
gunung suci! Amarah dan nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di sungai
ini. Mandilah dan sucikan dirimu.”
Demikianlah Resi Lomasa menutup kisahnya tentang puasa dan
samadi yang tidak berguna karena didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak
pantas.
Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya.
Dalam soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia
Resi Raibhya. Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk
memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia meminta Resi Raibhya
agar mengirimkan Parawasu dan Arwawasu ke istana untuk memimpin upacara
tersebut. Permintaan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi petunjuk
seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang dikerjakan, malam
harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani istrinya yang menginap di
rumah ayahnya.
Saat itu tengah malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat
satu sosok berjalan membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang
mengintai mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia
membidikkan lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat
mengenai sasaran. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengaduh. Ia mendekat. Dan
… alangkah terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata ayahnya
sendiri. Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit menjangan. Ia pergi
ke mata air malam-malam untuk menimba air. Sebelum meninggal, Resi Raibhya
sempat menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan Resi Bharadwaja kepadanya.
Parawasu segera menemui Arwawasu dan menceritakan peristiwa
sedih itu. Ia berkata,
“Kejadian ini hendaknya jangan sampai menghalangi upacara
persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran jenazah atas namaku, sebagai
pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa sengaja. Pengampunan bagi dosa-dosa
yang dilakukan tanpa sengaja adalah dibenarkan. Sementara engkau menggantikan
aku dan memohonkan ampun untuk dosaku kepada Ayah, aku akan memimpin upacara
permohonan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat negeri ini tanpa perlu kau
bantu. Tapi… engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri tanpa bantuanku.”
Arwawasu yang suci dan berbudi luhur menuruti kata
saudaranya. Ia melakukan upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas
nama saudaranya dan melakukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri
dan saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia menyusul saudaranya ke
istana Raja Brihadyumna.
Tetapi Parawasu terkutuk oleh dosanya sendiri. Ternyata ia
mempunyai maksud jahat dan pertimbangan lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa
ditebus orang lain. Mewakilkan penebusan dosa kepada orang lain sama dengan
menyuruh orang lain memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya
sendiri. Melihat saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur
memasuki ruangan upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh
saudaranya telah membunuh seorang brahmana. Katanya lantang,
“Seorang pembunuh tidak boleh dibiarkan masuk agar tidak
mengotori ruangan suci ini.”
Kepada para pengawal kerajaan Parawasu meminta agar
saudaranya diusir keluar istana dengan alasan istana tak boleh dikotori oleh
orang yang membawa dosa sebagai pembunuh seorang brahmana.
Arwawasu menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya
Parawasu yang melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya
telah melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang
pun mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk kesan
orang akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar.
Arwawasu yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan
keterangan palsu, kembali ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak
adakah keadilan di dunia ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia melakukan
tapa brata yang seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan
pikirannya dari segala macam kejahatan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar
jalan ayahnya dilapangkan di alam baka, terbebas dari belenggu karma dan pada
gilirannya kembali manunggal dengan Hyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kecuali itu
dia mohon agar Parawasu, saudaranya, dibebaskan dari kejahatan dan dosa yang
telah dilakukannya.”
Resi Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada
Yudhistira,
“Arwawasu dan Parawasu adalah dua brahmana muda yang pandai
dan terpelajar. Tetapi, untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur,
orang harus berusaha selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk.
Pengetahuan tentang baik-buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa seseorang
dan tercermin dalam perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan jalan demikian
seseorang dapat disebut bijaksana dan berbudi luhur. Pengetahuan yang kita peroleh
hanya merupakan keterangan yang akan menimbuni pikiran kita dan membuat kita
tidak bijaksana. Semua itu ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang
lain tetapi sesungguhnya bukan bagian dari diri kita.”
***
Pandawa terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi
tempat-tempat suci, pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka
sampai di pertapaan Resi Uddalaka.
Menurut Resi Lomasa, Resi Uddalaka adalah seorang mahaguru
ahli kitab-kitab Weda dan mendalami falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya
banyak sekali. Salah satu di antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang
yang suci dan teguh imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan
dipermainkan teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah
putus asa dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi dan
tabiat Kogala yang baik dan jujur. Ia berharap bisa menikahkan Sujata,
putrinya, dengan Kagola jika putrinya itu sudah dewasa.
Resi Lomasa melanjutkan,
Sujata dan Kagola dianugerahi seorang anak laki-laki yang
cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak itu telah menunjukkan
tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya, anak itu bongkok dan
badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di tubuhnya.
Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah mengucapkan
mantra ketika anaknya masih dalam kandungan. Mendengar mantra yang salah, anak
itu meronta-ronta. Kesalahan itu diulang sampai delapan kali. Akibatnya, bayi
itu terlahir bongkok. Bayi itu kemudian dinamai Astawakra, artinya ‘delapan benjolan’.
Pada suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta.
Dalam perlombaaan itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari
Negeri Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi
Wandi. Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Kelak,
kekalahan Kagola akan ditebus oleh anaknya.
Astawakra tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi
pikirannya cerdas luar biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu
umurnya dua belas tahun, ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan
tafsir Wedanta.
Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Janaka, raja
Negeri Mithila, akan mengadakan upacara besar. Dalam rangkaian upacara itu akan
diadakan acara mabebasan, yaitu lomba membaca dan menafsirkan kitab-kitab
Sastra. Para mahaguru, ahli-ahli pikir, dan ahli-ahli tafsir terkenal akan
datang dari mana-mana. Astawakra ingin sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia
ke Negeri Mithila diantarkan pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua
darinya.
Dalam perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka berpapasan
dengan rombongan Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang
minggir, tetapi Astawakra malah berkata dengan berani,
“Wahai pengawal kerajaan yang budiman, seorang raja yang
adil dan bijaksana akan memberi jalan kepada orang buta, orang cacat, para
wanita, pembawa beban berat dan para brahmana, seperti diajarkan dalam
kitab-kitab suci Weda.”
Ketika mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para
pengawalnya,
“Apa kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau
besar tetap punya kekuatan untuk membakar.”
Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak memasuki ruangan
upacara, mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena anak-anak yang belum cukup
umur dilarang masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda
diperbolehkan masuk.
Astawakra berkata,
“Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah menjadi
brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah
mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan wajahnya.”
Penjaga pintu itu membentak karena menganggap Astawakra
masih bocah dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra melawan,
“Maksudmu, badanku ini bogel seperti labu tua yang tak ada
isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai dalamnya pengetahuan seseorang,
begitu pula usia. Biarkan aku masuk!”
Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk
masuk. Mereka berbantah sengit.
“Rambut beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang.
Orang yang betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan
memahami Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi inti
ajarannya. Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,” kata Astawakra.
Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat dan mendengar
perdebatan itu. Raja mengenali si bongkok dan bertanya,
“Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir dan ahli
tafsir, telah mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di akhir
perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang menerjunkan diri ke
laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu tidak mengecutkan hatimu? Masih
beranikah engkau mengikuti lomba ini?”
Astawakra menjawab,
“Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang
seperti aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan
orang-orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayahku.
Riwayatnya kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan.
Ijinkan kami masuk dan menemuinya.”
Kemudian Astawakra menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan
Negeri Mithila. Perlombaan dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling
muskil yang sudah ditentukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru,
masing-masing mempertahankan pandangannya.
Di akhir lomba, para ahli tafsir memutuskan bahwa kemenangan
ada di tangan Astawakra. Wandi menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra,
kemudian pergi ke laut untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut,
yang menguasai seluruh perairan di dunia.
Resi Lomasa berkata kepada Yudhistira,
“Seorang anak tidak perlu sama dengan ayahnya. Seorang ayah
yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak yang kuat dan perkasa. Seorang ayah
yang dungu bisa saja mempunyai anak yang sangat cerdas. Sungguh keliru menilai
kebesaran seseorang dari tinggi badan dan lanjut umurnya. Kenyataan luar dapat
menipu, seperti halnya Kagola dan Astawakra.”
***
Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita tentang
kisah cinta dan kesetiaan Sawitri kepada suaminya.
Terkisahlah bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang
cantik dan baik hati bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian
suci untuk upacara pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja Aswapati
membebaskan putrinya untuk memilih sendiri calon suaminya. Sawitri senang
karena maksud baik ayahnya. Setelah mendapat restu ayahnya, ia melakukan
perjalanan ke negeri-negeri jauh, naik kereta emas, didampingi seorang
panasihat tua kepercayaan ayahnya dan sejumlah pengawal.
Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai negeri dan
kerajaan. Sayangnya, setelah melihat banyak pangeran dan pemuda bangsawan, hati
Sawitri tetap dingin. Tidak seorang pun membuatnya terpikat.
Pada suatu hari, rombongan Sawitri sampai ke sebuah
pertapaan di tepi hutan. Pertapaan itu milik Raja Dyumatsena yang telah
ditaklukkan musuh dan kehilangan kerajaannya. Kekalahan berat itu menyebabkan
ia lekas menjadi tua dan buta. Ia mengundurkan diri dari keramaian hidup di
ibukota, pergi ke hutan, lalu menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan
putranya yang bernama Satyawan. Ia sendiri yang membangun pertapaan itu.
Sawitri bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya
langsung terpikat melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa
waktu kemudian, setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk
menceritakan pengalamannya.
Raja Aswapati bertanya,
“Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang telah
menawan hatimu?”
Sawitri menjawab dengan tersipu-sipu,
“Baiklah, Ayahanda. Ia putra Raja Dyumatsena yang telah
kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini hidup sebagai pertapa di hutan.
Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan umbi-umbian, daun-daunan dan
buah-buahan untuk dimakan.”
Setelah mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati meminta
nasihat kepada Resi Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa
firasat yang menyedihkan. Katanya,
“Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan meninggal
dunia.”
Mendengar firasat buruk yang disampaikan Resi Narada,
Aswapati segera menemui anaknya dan berkata,
“Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui ajalnya dua
belas bulan dari sekarang. Jika kau menikah dengannya, engkau akan segera
menjadi janda. Pikirlah masak-masak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang. Aku
tidak tega melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.”
Dengan hati mantap Sawitri menjawab,
“Jangan Ayahanda risaukan hal itu. Jangan pula Ayahanda
berharap aku mau kawin dengan orang lain dan mengorbankan pengabdian serta
cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan. Dialah pemuda pilihanku. Dalam
hidup ini, seorang perempuan hanya dipilih dan memilih sekali. Aku sudah
menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingkarinya.”
Melihat kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswapati tak
dapat berbuat apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah
upacara perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk
mengabdi pada mertuanya yang buta dan sudah tua.
Sawitri tahu bahwa malapetaka akan menimpa suaminya. Tetapi
ia tidak berkata apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin
setiap hari Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan
umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah
kehidupan mereka setiap hari.
Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun berpuasa
dan bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai air mata ia
bersujud, memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari terakhir hidup
suaminya, sedikit pun Sawitri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari
suaminya.
Hari itu, seperti biasa mereka pergi mengumpulkan
umbi-umbian, daun-daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba Satyawan mengeluh dan
berkata kepada Sawitri,
“Kepalaku pening, panca indraku serasa berpusing,
pandanganku kabur. Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberatkan langkahku.
Biarlah aku berhenti dan beristirahat sesaat.”
Sawitri cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia
terus berusaha menenangkan suaminya. Katanya,
“Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah kepalamu di
pangkuanku.”
Sesaat setelah Satyawan membaringkan kepalanya di pangkuan
Sawitri, ia tertidur. Mula-mula badan dan kepalanya terasa bagai terbakar api,
kemudian rasa panas itu berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri
memeluk suaminya yang tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu.
Di tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satyawan.
Roh-roh kematian berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat
lingkaran api gaib yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk
pencabut nyawa itu tidak berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi menghadap
Batara Yama, Dewa Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka gagal mencabut nyawa
Satyawan.
“Batara Yama, Dewa Kematian, datang sendiri untuk mencabut
nyawa Satyawan. Kepada Sawitri ia berkata,
“Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu. Ketahuilah,
kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup yang mati
pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus mati. Mati
adalah batas akhir hidup makhluk hidup.”
Mendengar sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan
tubuh Satyawan yang sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan,
Batara Yama pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju,
ia mendengar langkah orang mengikutinya dari belakang. Ia menoleh, dilihatnya
Sawitri mengikutinya. Ia berkata,
“Wahai anakku Sawitri, kenapa engkau mengikuti aku? Sudah
ditakdirkan, setiap manusia pasti mati.”
“Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,” jawab Sawitri.
Memang sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana
pun cintanya membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan
laki-laki dari istrinya yang mencintainya dengan setia.
Batara Yama berkata lagi,
“Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa suamimu.”
Sawitri menjawab,
“Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta dapat
melihat lagi dan hidup bahagia.”
“Permohonanmu kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,” kata
Batara Yama lalu meneruskan perjalanan membawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali
ia mendengar langkah-langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri.
“Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’
tanyanya.
“Ya Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku
sudah mencoba untuk pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku.
Jiwa suamiku telah kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara
Yama, cabutlah juga jiwa dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa suamiku,”
demikian jawab Sawitri.
“Sawitri yang setia dan berbudi, peganglah kata-kataku.
Mintalah anugerah lagi, tetapi jangan jiwa suamimu,” kata Dewa Kematian.
“Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku
dikembalikan kepadanya,’ jawab Sawitri.
“Anakku yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan.
Pulanglah, sebab manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa
Kematian,” kata Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya.
Tetapi Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang
telah mati. Batara Yama menoleh lagi, dan berkata,
“Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti cintamu yang
sia-sia.”
Sawitri menjawab,
“Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti engkau
yang telah mengambil jiwa suamiku tercinta.”
“Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk penuh
dosa dan harus masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?” tanya
Dewa Kematian.
“Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke
surga atau ke neraka,” demikian jawab Sawitri.
“Anakku, engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini.
Mintalah anugerah sekali lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa
dihidupkan lagi,’ kata Batara Yama.
“Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku seorang putra
yang akan meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan kerajaannya diwarisi
oleh anak Satyawan,” kata Sawitri.
Batara Yama tersenyum mendengar permintaan Sawitri. Ia
berkata,
“Anakku, engkau akan memperoleh segala keinginanmu.
Terimalah jiwa suamimu, ia akan bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan
anak-anakmu kelak akan memerintah kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta
dapat mengalahkan kematian. Tak ada perempuan yang mencintai suaminya seperti
engkau mencintai suamimu. Cintamu yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan
maut. Bahkan aku, sang Dewa Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta
sejati yang bertakhta dalam jiwamu.”
Demikianlah, Resi Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada
Yudhistira dalam salah satu perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi
menekankan bahwa cinta dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga
yang bisa dimiliki seorang lelaki.
Posting Komentar