MAHABARATA Telaga Ajaib

MAHABARATA Telaga Ajaib


Tahun pengasingan yang kedua belas sudah hampir berakhir.
Pandawa berunding, mencari cara untuk melewatkan
tahun ketiga belas tanpa dikenali siapa pun. Ketika
itu, datanglah seorang brahmana meminta bantuan mereka
untuk menangkap seekor menjangan yang melarikan
pedupaannya.
Demikianlah kisahnya.
Seekor menjangan datang mendekati pedupaan milik
sang brahmana. Mungkin karena gatal atau mungkin karena
kedinginan, ia menggosok-gosokkan badannya pada
pedupaan itu. Brahmana yang melihat itu, segera menghalaunya.
Menjangan itu terlonjak kaget, lalu berlari menjauh.
Pedupaan itu tersangkut pada tanduknya dan terbawa
lari.
“Wahai Pandawa, menjangan itu membawa lari pedupaanku.
Tolonglah aku, aku tidak mampu mengejar menjangan
itu,” kata brahmana itu kepada Yudhistira.
Pandawa kemudian memburu menjangan itu beramairamai
dan mengepungnya dari berbagai arah. Tetapi, rupanya
itu bukan sembarang menjangan. Ia terus berlari menjauh
dan selalu berhasil lolos dari kepungan. Tanpa sadar
Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan menjangan
itu seakan hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang
lelah menghentikan pengejaran dan beristirahat di bawah
sebatang pohon beringin hutan yang rindang.
Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya kekuatan kita
sekarang. Menolong seorang brahmana dalam kesulitan
sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana dengan kesulitan
yang lebih besar?”
“Engkau benar. Ketika Draupadi dipermalukan di depan
orang banyak seharusnya kita bunuh saja manusia-manusia
kurang ajar itu! Tetapi... kita tidak berbuat apa-apa.
Dan sekarang inilah akibatnya,” kata Bhima sambil memandang
Arjuna.
Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, “Ya benar,
aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak
sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang!”
Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudaranya.
Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk
melengahkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, “Adikku,
panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di
dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali.”
Nakula naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya,
ia berteriak, “Di kejauhan kulihat ada air tergenang
dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga!”
Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi mengambil
air. Nakula pergi dan memang menemukan sebuah telaga.
Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum
membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru
saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tibatiba
terdengar suara, “Janganlah engkau tergesa-gesa.
Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madri! Jawablah dulu
pertanyaanku! Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh
minum.” Nakula terkejut mendengar suara itu, tetapi
karena sangat haus, ia tidak mempedulikan suara itu. Ia
langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan
meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan
diri.
Setelah lama menunggu dan Nakula tak juga kembali,
Yudhistira menyuruh Sahadewa mencarinya. Setelah mencari-
cari beberapa lama, Sahadewa terkejut melihat Nakula
terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena
merasa haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tibatiba
suara tadi terdengar lagi, “Wahai Sahadewa, telaga ini
telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh
menghilangkan dahagamu.” Sahadewa tidak peduli. Ia
mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih segar
itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan
diri.
Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum
kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan
Sahadewa. “Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa
air,” katanya kepada Arjuna.
Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya
terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut, mengira
mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin menghancurkan
yang telah membunuh saudara-saudaranya.
Tetapi, karena haus, Arjuna memutuskan untuk minum
dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, “Jawab dulu
pertanyaanku sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga
ini milikku. Kalau engkau tidak menurutiku, nasibmu
akan sama dengan nasib saudara-saudaramu.”
Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak,
“Hai, siapa engkau?! Tunjukkan dirimu! Jangan
pengecut! Kubunuh kau!”
Sambil berkata demikian, Arjuna membidikkan panahnya
ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek,
“Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku
dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu.
Bila engkau minum air tanpa menjawab pertanyaanku,
engkau akan mati!”
Arjuna senang bisa berhadapan dengan pembunuh
adik-adiknya. Tetapi, ia tak kuasa menahan rasa hausnya.
Apa hendak dikata, setelah minum seteguk ia langsung
rebah tak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Arjuna tak juga kembali,
Yudhistira berkata kepada Bhima, “Bhimasena saudaraku,
Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin
terjadi. Bintang-bintang kita hari ini memang tampak
buruk. Carilah mereka. Dan bawakan air untukku. Aku
haus sekali.”
Begitu mendapat perintah Yudhistira, Bhima segera
berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga
saudaranya terbaring tak bergerak. “Ini pasti perbuatan
para jin dan raksasa jahat,” pikirnya. “Akan kumusnahkan
mereka! Tapi aku sangat haus. Setelah minum, akan
kutamatkan pembunuh itu.” Lalu ia turun ke tepi telaga.
Suara gaib itu terdengar lagi, “Hati-hatilah, hai Bhimasena.
Engkau boleh minum, setelah menjawab pertanyaanku.
Kamu akan mati jika tidak mau mendengarkan
kata-kataku.”
Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani
benar memerintah aku!” Lalu ia minum air telaga itu.
Seketika itu otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat
baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudarasaudaranya,
ia jatuh tak sadarkan diri.
Yudhistira menunggu dan menunggu dengan cemas.
Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam
pikirannya, “Apakah mereka terkena kutuk-pastu? Apakah
mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali?
Apakah mereka mati karena kehausan?” Kemudian
Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki
saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang
dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak menjangan dan
babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah
melihat burung-burung bangau beterbangan, pertanda
ada bentang air di dekat situ.
Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah
terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau
jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan ... di pinggir telaga
ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak.
Dihampirinya satu per satu, dirabanya kaki, tangan, dahi,
dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati,
“Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita
jalani? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa
pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya
para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan.”
Menatap wajah Nakula dan Sahadewa, pemuda-pemuda
yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur
dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. “Haruskah
hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi
kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada
gunanya setelah keempat saudaraku mati? Untuk apa aku
hidup? Aku yakin, ini bukan peristiwa biasa,” gumam
Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan mampu
membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan
hebat.
“Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak
seperti wajah orang yang kesakitan. Mereka kelihatan
tenang, seperti sedang tidur dalam damai.” Hatinya terus
bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi
bekas-bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam
perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib! Mungkinkah ini tipu
muslihat Duryodhana? Mungkinkah Duryodhana telah
meracuni air telaga ini?”
Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan
ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya
yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu
terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena tak
menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka.
Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu.
Telaga ini milikku.”
Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-
saudaranya mati. Pikirnya, ini pasti suara yaksa. Ia
berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian
Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud
itu.
Yudhistira : “Silakan ajukan pertanyaanmu.”
Suara gaib : “Apa yang menyebabkan matahari bersinar
setiap hari?”
Yudhistira : “Kekuatan Brahman.”
Suara gaib : “Apa yang dapat menolong manusia dari
semua marabahaya?”
Yudhistira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari
marabahaya.”
Suara gaib : “Mempelajari ilmu apakah yang bisa membuat
manusia jadi bijaksana?”
Yudhistira :”Orang tidak menjadi bijaksana hanya karena
mempelajari kitab-kitab suci. Orang menjadi
bijaksana karena bergaul dan berkumpul
dengan para cendekiawan besar.”
Suara gaib : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi
manusia daripada bumi ini?”
Yudhistira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan
anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi
daripada bumi ini.”
Suara gaib : “Apa yang lebih tinggi dari langit?”
Yudhistira : “Bapa.”
Suara gaib : “Apa yang lebih kencang dari angin?”
Yudhistira : “Pikiran.”
Suara gaib : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering
di musim panas?”
Yudhistira : “Hati yang menderita duka nestapa.”
Suara gaib : “Apa yang menjadi teman seorang pengembara?”
Yudhistira : “Kemauan belajar.”
Suara gaib : “Siapakah teman seorang lelaki yang tinggal di
rumah?”
Yudhistira : “Istri.”
Suara gaib : “Siapakah yang menemani manusia dalam
kematian?”
Yudhistira : “Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa
dalam kesunyian perjalanan setelah kematian.”
Suara gaib : “Perahu apakah yang terbesar?”
Yudhistira : “Bumi dan segala isinya adalah perahu
terbesar di jagad ini.”
Suara gaib : “Apakah kebahagiaan itu?”
Yudhistira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku
dan perbuatan baik.”
Suara gaib : “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia
dicintai oleh sesamanya?”
Yudhistira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan
orang akan dicintai sesamanya.”
Suara gaib : “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang
bahagia dan tidak sedih?”
Yudhistira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita
tidak lagi diburu oleh kesedihan.”
Suara gaib : “Apakah itu, jika orang membuangnya jauhjauh,
ia menjadi kaya?”
Yudhistira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu
orang menjadi kaya.”
Suara gaib : “Apakah yang membuat orang benar-benar
menjadi brahmana? Apakah kelahiran, kelakuan
baik atau pendidikan sempurna? Jawab
dengan tegas!”
Yudhistira : “Kelahiran dan pendidikan tidak membuat
orang menjadi brahmana; hanya kelakuan
baik yang membuatnya demikian. Betapapun
pandainya seseorang, ia tidak akan menjadi
brahmana jika ia menjadi budak kebiasaan
jeleknya. Betapapun dalamnya penguasaannya
akan kitab-kitab suci, tapi jika kelakuannya
buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih
rendah.”
Suara gaib : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia
ini?”
Yudhistira : “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi
menghadap Batara Yama, namun mereka
yang masih hidup terus berusaha untuk
hidup lebih lama lagi. Itulah keajaiban
terbesar.”
Demikianlah yaksa itu menanyakan berbagai masalah
dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan
terakhir yang diajukan yaksa itu langsung berkaitan
dengan saudara-saudaranya.
Suara gaib : “Wahai Raja, seandainya salah satu saudaramu
boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah
yang engkau pilih? Dia akan hidup kembali.”
Yudhistira : (Berpikir sesaat, kemudian menjawab.)
“Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya
bersih bagai awan berarak, matanya indah
bagai bunga teratai, dadanya bidang dan
lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur
kaku bagai sebatang kayu jati.”
Suara gaib : (Belum puas akan jawaban Yudhistira, yaksa
itu bertanya lagi.) “Kenapa engkau memilih
Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya
enam belas ribu kali kekuatan gajah? Lagi
pula, kudengar engkau sangat mengasihi
Bhima. Atau, mengapa bukan Arjuna yang
mahir menggunakan segala macam senjata,
terampil olah bela diri dan jelas dapat
melindungimu? Jelaskan, mengapa engkau
memilih Nakula!”
Yudhistira : “Wahai Yaksa, dharma adalah satu-satunya
pelindung manusia, bukan Bhima bukan
Arjuna. Apabila dharma tidak diindahkan,
manusia akan menemui kehancuran. Dewi
Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku dan
mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih
hidup. Jadi Dewi Kunti tidak kehilangan keturunan.
Dengan pertimbangan yang sama dan
demi keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi
Madri, hidup bersamaku.”
Yaksa itu puas sekali mendengar jawaban Yudhistira
yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Akhirnya,
yaksa itu menghidupkan kembali semua saudara
Yudhistira.
Ternyata, menjangan dan yaksa itu adalah penjelmaan
Batara Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan
batin dan dharma Yudhistira.
Batara Yama berdiri di depan Yudhistira lalu memeluknya
sambil berkata, “Beberapa hari lagi masa pengasinganmu
di hutan rimba akan selesai. Di tahun ketiga belas,
kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itu
pun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang
musuh pun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian
pasti lulus dalam ujian yang berat ini. Dharma akan selalu
menyertaimu, Yudhistira.” Setelah berkata demikian, Batara
Yama menghilang.
Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata
pamungkas yang sakti, pengalaman Bhima bertemu dengan
Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman Yudhistira
bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan
jasmani, keyakinan batin serta kemuliaan rohani Pandawa.
Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mereka
semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma.

Posting Komentar

Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger