MAHABARATA Sumpah Setia Krishna
MAHABARATA Sumpah Setia Krishna
Salwa sangat marah ketika mendengar
berita terbunuhnya Sisupala oleh Krishna pada waktu upacara besar rajasuya yang
diadakan Yudhistira di Indraprastha. Salwa, sahabat Sisupala, tahu benar bahwa
Krishna dan Sisupala memang bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena
Basudewa, ayah Krishna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal
permusuhan itu adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan
diperistri oleh Krishna.
Sebagai teman sejati yang ingin membalas
dendam atas kematian Sisupala, Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota
kerajaan Krishna. Ketika itu Krishna masih berada di Indraprastha dan semua
urusan sehari-hari kerajaan dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun sudah lanjut
usia, dengan sekuat tenaga Ugrasena mempertahankan ibukota Dwaraka dari
serangan Salwa.
Ibukota Dwaraka dikelilingi benteng yang
sangat kuat dan didirikan di sebuah pulau yang dilengkapi persenjataan luar
biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-kemah untuk menyimpan persenjataan dan
persediaan makanan dalam jumlah sangat besar. Balatentara Dwaraka yang sangat
banyak jumlahnya dipimpin oleh perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan
keadaan perang. Pada malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke
tempat-tempat hiburan. Semua jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal
dilarang berlabuh. Semua jalan keluar masuk ibukota dipasangi rintangan berupa
batang-batang pohon berduri. Penjagaan diperketat. Setiap orang yang keluar
atau masuk ibukota diperiksa, tanpa kecuali. Singkatnya, segala sesuatu
diterapkan dengan keras dan tegas agar ibukota bisa dipertahankan. Balatentara
Dwaraka diperbanyak dengan memanggil pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran
dan ketangkasannya berolah senjata.
Tetapi… pertahanan sekokoh itu tak mampu
menahan serangan balatentara Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap.
Serangan mereka begitu hebat sehingga ibukota Dwaraka rusak berat. Ketika
kembali, Krishna sangat kaget dan marah melihat ibukota Dwaraka telah
dihancurkan balatentara Salwa. Ia lalu mengerahkan kekuatan yang ada untuk
membalas serangan Salwa.
Setelah bertempur dengan sengit,
balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan balatentara Salwa. Ketika itulah
Krishna mendengar berita tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu di
Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui Pandawa di hutan tempat
pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya, antara lain orang-orang
terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan Kekaya, dan Raja Dristaketu dari Kerajaan
Chedi. Dristaketu adalah anak Sisupala, tetapi ia sangat kecewa mendengar
tentang kebusukan hati Duryodhana. Ia meramalkan bahwa bumi ini akan menghisap
darah manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu.
Draupadi mendekati Krishna dan
menceritakan penghinaan yang dialaminya dengan suara terputus-putus dan air
mata berlinang-linang. “Aku diseret ke depan persidangan. Anak-anak Dritarastra
menghinaku dengan sangat keji. Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan
sudi menjadi budak mereka. Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka
terhadap dayang-dayang di Hastinapura. Lebih menyakitkan hati adalah sikap
Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa akan asal kelahiranku dan hubunganku
dengan mereka.
“Wahai, Janardana*, suami-suamiku pun
tidak melindungi aku dari penghinaan manusia-manusia bejat itu. Kekuatan raga
Bhima yang perkasa dan senjata Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang
yang paling lemah sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan
bangkit melawan. Tetapi … Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan
masyhur malah tidak melakukan apa-apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu,
diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima
pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wahai Madhusudana*, engkau pun
telah meninggalkan aku.”
Sambil berkata-kata demikian, sekujur
tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati yang tak tertanggungkan.
Krishna sangat terharu dan mencoba menghibur
Draupadi yang menangis tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu
kelak akan binasa dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air
matamu! Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal.
Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi
permaisuri Rajadiraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh
terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, tetapi kata-kataku ini akan
kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu.”
Demikianlah Krishna bersumpah di hadapan
Draupadi, seperti dinyatakan dalam kitab-kitab suci, “Demi melindungi
kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan. Demi memegang teguh dharma, aku dilahirkan
ke dunia dari abad ke abad.”
Dristadyumna menghibur Draupadi dengan
berkata, “Hapuslah air matamu, adikku. Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan
menewaskan Bhisma, Bhima akan melenyapkan nyawa Duryodhana dan
saudara-saudaranya, sedangkan Arjuna akan menamatkan Karna, anak sais kereta
kuda itu.”
Krishna berkata lagi, “Ketika peristiwa
sedih itu menimpa dirimu, aku sedang berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di
Hastinapura, aku pasti takkan membiarkan kecurangan itu terjadi. Walaupun tidak
diundang, kalau tahu aku pasti akan datang untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan
para kesatria tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan
mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sakuni menipumu, aku
sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang Dwaraka. Aku baru mendengar
tentang ini setelah mengalahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih
karena aku tak kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan
rusak, tidak bisa langsung selesai dan untuk sementara air tetap merembes.”
Setelah berkata demikian, Krishna minta
diri untuk kembali ke Dwaraka bersama Subadra, adiknya yang diperistri Arjuna
dan Abimanyu, keponakannya.
Dristadyumna kembali ke Panchala,
membawa anak-anak Draupadi dari kelima suaminya, yaitu: Pratiwindhya anak
Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti anak Arjuna, Satanika anak
Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa.
***
* Krishna juga dipanggil Janardana,
artinya ‘kesayangan manusia’ dan Madhusudana, artinya ‘pembunuh raksasa bernama
Madhu’.
Posting Komentar