MAHABARATA Hidup dalam Penyamaran
MAHABARATA Hidup dalam Penyamaran
Wahai
Brahmana yang budiman, tahun ketiga belas
masa pengasingan kami telah tiba. Kini tiba waktunya
untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang
kami harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh matamata
Duryodhana. Kami tidak tahu, kapan kita bisa bertemu
lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan
bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mohon
restumu. Doakan kami, semoga kami terhindar dari
pengkhianatan orang-orang pengecut yang menginginkan
hadiah dari Duryodhana,” kata Yudhistira kepada Resi
Dhaumya yang setia menyertai Pandawa dalam pengasingan.
Pangeran itu tak dapat menahan rasa harunya.
Suaranya bergetar dan wajahnya sedih.
Resi Dhaumya menghibur, “Berpisah memang berat.
Bahaya dan malapetaka akan bertambah banyak dan
bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana dan
terlatih, tak dapat digoyahkan atau digertak musuh.
Menyamarlah! Setelah dikalahkan raksasa, Batara Indra
hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di Negeri
Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun.
Setelah menjalani penyamaran dengan baik, Batara Indra
dikaruniai kemampuan untuk menghancurkan musuhmusuhnya.
Demikian pula Batara Wishnu yang menyamar
menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya
dari Maharaja Bali. Batara Narayana menyamar masuk ke
dalam senjata Indra untuk menghancurkan Writa, raja
raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah menyamar
menjadi anak Dasaratha agar dapat memusnahkan Rahwana.
“Demikianlah, banyak dewa dan kesatria agung di
jaman dulu yang menyamar demi tujuan yang baik dan
luhur. Engkau pun hendaknya demikian, menyamar,
menghancurkan musuh-musuhmu dan memenangkan
kemakmuran bagi saudara-saudara dan rakyatmu.”
Akhirnya Yudhistira berpisah dengan Resi Dhaumya.
Semua pengikut Pandawa diminta kembali ke negeri
masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan saudara-saudaranya
di suatu tempat tersembunyi untuk membicarakan
langkah-langkah yang akan mereka tempuh. Pertemuan
itu sangat rahasia, sebab jika sampai ketahuan oleh
Kaurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama
dua belas tahun lagi.
Yudhistira berkata kepada Arjuna, “Dua belas tahun
sudah kita jalani dengan selamat. Di tahun ketiga belas ini,
kita harus hidup menyamar. Di antara kita, engkau yang
punya pengalaman paling banyak dan engkau pula yang
mengetahui keadaan dunia. Menurut pendapatmu, negeri
manakah yang paling cocok untuk tempat tinggal kita?”
“Kakanda Raja, engkau telah direstui Batara Yama.
Menurutku, tak sulit bagi kita untuk mencari tempat
persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk tempat
bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha,
Bhalika, Dashrana, Surasena, Kalingga dan Magadha.
Terserah padamu, mana yang akan dipilih. Tetapi, jika kau
minta pendapatku, Matsya, negeri Raja Wirata, adalah
pilihanku,” jawab Arjuna.
“Wirata adalah raja yang berpendirian kuat dan bersimpati
kepada kita. Ia berpandangan luas, ahli tata kerajaan,
taat kepada dharma dan selalu melaksanakan kebajikan
dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi
atau ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhana. Ya, aku
setuju kita hidup menyamar di negeri itu,” Yudhistira
menanggapi.
“Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau
pilih dalam penyamaran ini?” tanya Arjuna.
Yudhistira tampak sedih karena kini ia harus bekerja
untuk orang lain. Katanya, “Aku akan memohon kepada
Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku bersedia
menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika
ia punya waktu senggang. Aku akan menyamar sebagai
sanyasin dan menghiburnya dengan membacakan ramalan,
membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan
Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi
pekerti, ilmu tata kerajaan dan hal-hal lain. Tentu aku
harus hati-hati, tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam
suatu kesempatan akan kuceritakan kepadanya bahwa
aku kenal Yudhistira dan pernah belajar banyak darinya
sewaktu mendapat kesempatan melayaninya.
“Hai, Bhima, pekerjaan apakah yang akan kaucari di
negeri Raja Wirata? Carilah pekerjaan yang seimbang
dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga Antaboga
dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala,
Bakasura, Hidimba dan Jatasura—semua raksasa perkasa
yang kejam. Engkau begitu hebat dan mudah dikenali.
Bagaimana engkau bisa menyamar untuk menyembunyikan
badanmu yang begitu besar?” kata Yudhistira dengan
murung dan tak dapat menahan air matanya.
Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseriseri,
“Aku akan menyamar menjadi juru masak di istana.
Kalian tahu, aku doyan makan dan pandai memasak. Aku
terampil memasak untuk orang banyak, misalnya untuk
pesta-pesta. Aku bisa mencari kayu api dan kuat memikulnya
sendiri dari hutan. Jika ada acara adu kekuatan otot,
aku akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan
wakil Negeri Matsya dan Raja Wirata pasti akan senang.”
Meskipun Bhima menjawab dengan riang dan mantap,
Yudhistira tetap kuatir. Jangan-jangan, jika Bhimasena
ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati dia banting.
Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar.
Mengetahui kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan
berhati-hati jika ikut adu kekuatan otot.
“Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir
hutan jika mereka diserang binatang buas,” sambung
Bhima.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, “Pekerjaan
apa yang hendak kauambil, hai kesatria sakti?”
“Kakanda yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi
perempuan pelayan dan guru tari. Bekas-bekas tali busur
di tanganku akan kututupi dengan baju wanita lengan
panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi
dengan alasan dia kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk
pastu aku menjadi banci. Untunglah, berkat restu Batara
Indra dan karena kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau,
aku bisa bertingkah laku seperti perempuan. Aku akan
mengenakan gelang, kalung, dan anting-anting. Aku akan
merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar menari,
aku juga akan mengajar menyanyi,” jawab Arjuna.
Terbayang oleh Yudhistira, betapa merosotnya keadaan
mereka sekarang. Padahal, mereka adalah keturunan
Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung
Mahameru yang kokoh tinggi menjulang. Tetapi nyatanya,
mereka terpaksa hidup di pengasingan dan kini harus
menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, “Engkau
ahli kitab-kitab suci dan ilmu pendidikan, apa yang
akan engkau kerjakan di Negeri Matsya?”
Sahadewa menjawab singkat, “Biarlah Nakula menjadi
tukang kuda dan aku menjadi gembala sapi. Aku gemar
dan punya pengalaman memelihara ternak.”
Memandang Draupadi, Yudhistira tak mampu bertanya.
Ia tertunduk. Ia tak sanggup membayangkan permaisurinya
hidup menyamar. Ia malu dan putus asa karena tidak
mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya sebagai
ratu.
Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya,
“Wahai Rajaku, janganlah sedih dan mencemaskan aku.
Aku akan menyamar menjadi Sairandri, pelayan permaisuri
Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa
aku pernah menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di
Kerajaan Indraprastha.”
Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedoman
tentang apa saja yang harus mereka pegang teguh
selama dalam penyamaran.
Yudhistira berkata, “Kita harus selalu waspada dan
bekerja tanpa banyak cakap; hanya memberi pandangan
atau pendapat jika diminta, tidak boleh memaksakan pendapat
kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di saat-saat
yang tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh
dilakukan setelah disetujui raja, karena kita ini ibarat api
yang mudah terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan
raja, tetapi tidak boleh terkesan menjauhi atau menghindarinya.
Betapapun besarnya kepercayaan yang diberikan
raja, kita harus pandai menjaga diri karena sewaktu-waktu
raja bisa memecat kita.
“Sungguh bodoh jika kita terlalu bergantung pada
kepercayaan raja. Jangan gegabah jika duduk di dekat raja
dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan sayang
kepada kita. Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi
dan tidak boleh terlalu senang atau takabur jika dipuji.
“Kita harus pandai menjaga rahasia. Jangan mau
disuap oleh siapa pun. Kita tak boleh iri pada pekerja lain,
karena raja mungkin menempatkan orang tolol sebagai
orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang
pandai dan berbudi baik. Hal-hal semacam itu tak perlu
kita hiraukan. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan wanita-
wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita
terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari
segala keruwetan.
“Kita harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu
tahun. Segala kesulitan akan teratasi dengan kerendahan
hati dan kebesaran jiwa.”
Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk
dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, termasuk untuk
Dewi Draupadi.
***
Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna berdandan
seperti perempuan dan memilih nama Brihannala,
sementara Bhima, Nakula dan Sahadewa mempersiapkan
diri masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka
pilih selama satu tahun masa penyamaran. Mereka berlatih
cara berjalan, berbicara, bertingkah laku dan berbagai
kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang
mereka pilih. Setelah dirasa cukup mempersiapkan diri,
mereka memasuki Negeri Matsya dengan penuh keyakinan.
Pandawa berpencar, berusaha melamar pekerjaan sendiri-
sendiri. Tapi alangkah sulitnya mendapat pekerjaan.
Meski sudah berusaha menyamar sebaik-baiknya, jika
diperhatikan dengan saksama, sifat, wibawa dan gerakgerik
mereka sebagai putra-putra raja masih bisa terlihat.
Yudhistira, Bhima dan Draupadi akhirnya berhasil
masuk ke lingkungan istana dan diterima bekerja di sana.
Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima menjadi
juru masak istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi
Ratu Sudesha, permaisuri Raja Wirata.
Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru tari dan
seni suara di sanggar tempat putra-putri bangsawan
belajar. Sahadewa menemui pengawas gembala yang bertugas
mengawasi ribuan ternak raja. Setelah diuji, Sahadewa
diterima menjadi pembantunya. Pengawas gembala itu
senang karena Sahadewa rajin, cekatan dan cepat menguasai
pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit berkuda
dan diterima sebagai tukang kuda.
Kedudukan panglima tertinggi Negeri Matsya dipegang
oleh Kicaka yang gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di
tangannya terletak keamanan Raja Wirata dan pertahanan
Negeri Matsya. Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu berkuasanya
dia hingga rakyat berpendapat bahwa penguasa
negeri itu sesungguhnya adalah Kicaka, bukan Wirata.
Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani Ratu
Sudesha, Panglima Kicaka tampak sering muncul di istana
tanpa diketahui Sairandri. Diam-diam panglima itu tertarik
melihat kecantikan pelayan kakaknya.
Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai
dirinya. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan,
tetapi panglima tampan itu sudah jatuh cinta kepadanya
dan tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia sering
mencari-cari alasan untuk menemui Ratu Sudesha agar
bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka lupa, sebagai
Mahasenapati Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta
dengan seorang pelayan.
Sairandri takut dan malu, tak berani mengatakan hal
itu kepada Ratu Sudesha atau kepada pelayan lain. Ia
sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya sekarang.
Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya,
meskipun Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan
menolaknya. Untuk mengelabui, Sairandri berkata kepada
Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya raksasa
yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu
secara gaib akan membunuh siapa pun yang berani menggangunya.
Tetapi Kicaka tidak peduli.
Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang ajar membuat
Sairandri terpaksa mengadukannya kepada Ratu Sudesha
dan memohon pertolongannya. Mengetahui itu, tanpa
malu-malu Kicaka menggunakan pengaruh kakaknya dan
berkata kepada Ratu Sudesha bahwa ia menaruh hati pada
pelayannya. Ia berharap Ratu menolongnya dengan memerintahkan
pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka.
Kicaka berkata, “Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu
yang ayu. Semakin hari aku semakin terpikat padanya.
Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau harus menolongku
dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku
sungguh mencintainya dan tidak akan mempermainkannya.
Tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak
asmaraku.”
Mula-mula Ratu Sudesha menasihati saudaranya agar
tidak menuruti perasaannya, karena Sairandri sudah bersuami
dan suaminya raksasa. Tetapi Kicaka tak bisa dinasihati
dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha
menemukan gagasan untuk menolong adiknya. Mereka
lalu menyiapkan perangkap.
Pada suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kediamannya.
Berbagai makanan hangat dan minuman keras
disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu Sudesha menyuruh
Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa
ke kamar Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan
alasan malu dan takut.
Sampai di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah
siap menjebaknya. Ia meminta Sairandri menginap di
rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata, “Mengapa
Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan
keturunan kasta terendah? Janganlah Panglima menempuh
jalan yang salah. Mengapa Panglima menghendaki
perempuan yang sudah kawin seperti aku? Suamiku
raksasa, ia pasti tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia
pasti akan membunuh pengganggu istrinya.”
Meskipun dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan diberi
hadiah-hadiah, Sairandri tetap menolak. Dengan kesal
Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu pelayan
itu meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan
cepat Sairandri mengelak, lalu lari. Kicaka mengejarnya.
Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap pelayan itu,
tetapi Sairandri selalu lolos. Akhirnya Kicaka marah dan
menendang Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat
kejadian itu, tapi tidak seorang pun berani berbuat sesuatu
karena Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya.
Tidak seorang pun memikirkan peristiwa itu sebagai kejadian
serius.
Sairandri marah dan sedih diperlakukan seperti itu.
Dendam hatinya membuatnya lupa akan bahaya yang
dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali sebelum
masa penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi menemui
Bhima, si juru masak, dan menceritakan apa yang
dialaminya. Katanya, “Aku tidak tahan lagi menghadapi
Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi kepentingan
kita, aku relakan diriku menjadi pelayan Ratu
Sudesha. Semua tugas pelayan kujalani dengan ikhlas.
Aku sudah relakan diriku menyiapkan segala sesuatu
untuk Raja dan Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi melayani
manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan semakin
kurang ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisabisa
kita semua binasa!” Sambil berkata demikian ia memperlihatkan
tangannya yang kini kasar karena banyak
bekerja.
Bhima kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia
perhatikan tangan Sairandri yang dulu halus lembut dan
kini menjadi kasar dan tergores-gores, penuh bekas parut.
Sambil menghapus air mata Sairandri, ia berkata dengan
geram, “Aku tak peduli nasihat Yudhistira dan janji Arjuna.
Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Aku akan
bunuh Kicaka malam ini juga!” Setelah berkata begitu,
Bhima bangkit dan siap pergi.
Sairandri menahannya dan menasihatinya agar jangan
tergesa-gesa. Kemudian mereka menyusun rencana untuk
menghabisi Kicaka. Bhima akan menunggu di kegelapan,
dekat sanggar tempat berlatih menabuh gamelan, pada
malam yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai
perempuan. Jadi, bukan Sairandri yang akan menemui
Kicaka, melainkan Bhima.
Beberapa hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba merayu
Sairandri dan mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi
menahan perasaannya. Katanya dengan wajah memerah
penuh nafsu, “Wahai Sairandri, aku terpaksa menendangmu
malam itu karena engkau selalu menghindariku. Aku
bisa berbuat lebih kasar dari itu. Adakah yang akan
menolongmu? Ketahuilah, Wirata hanya raja dalam
sebutan. Kekuasaan yang sebenarnya ada di tanganku,
Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan berpurapura
atau bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga
asmara kita dan engkau akan menikmati kebesaran
sebagai Ratu Negeri Matsya.”
Sairandri pura-pura menerima tawaran itu dengan
berkata, “Mahasenapati Kicaka, sebenarnya aku tidak
dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai ada
orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau
bersumpah untuk merahasiakan hubungan kita, aku akan
menuruti kemauanmu.”
Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati
Kicaka. Ia segera berjanji akan memenuhi semua syarat
yang diajukan Sairandri.
Sairandri berkata lagi, “Setiap sore, biasanya para putri
belajar menari di ruang gamelan. Malam hari mereka
pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi, dan gelap.
Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menunggumu
di sana.”
Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi sebersih-bersihnya,
mengenakan pakaian terbaiknya, dan memerciki
tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap, ia pergi ke
sanggar tempat putri-putri bangsawan berlatih menari.
Tempat itu kosong dan gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia
masuk ke ruangan, melangkah maju sampai ke sudut
gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam kegelapan
ia mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah,
di sudut ia melihat sosok wanita berdiri menunggu. Ia
mempercepat langkahnya, tak sabar ingin memeluk
perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya ia
ketika menyentuh tubuh itu! Bukan kulit halus lembut
yang tersentuh tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu
disentuh, sosok itu menyergapnya bagaikan singa galak
menyergap mangsa.
Kicaka bukan pengecut. “Ini pasti raksasa suami
Sairandri yang akan membunuhku,” pikirnya. Ia tak tahu
bahwa orang itu adalah Bhima. Dia melawan mati-matian.
Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap. Kicaka
memang perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan
Balarama atau Bhima. Meskipun sakti dan perkasa, malam
itu Kicaka tidak siap berkelahi. Sebaliknya, Bhima memang
sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam waktu
singkat Bhima bisa menundukkan Kicaka. Dibantingnya
tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya, kaki dan
tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak berbentuk.
Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima.
Bhima segera pergi menemui Sairandri untuk memberitahu
bahwa Kicaka telah tewas. Setelah itu ia kembali lagi
ke dapur, mandi membersihkan badannya lalu tidur
nyenyak.
Sementara itu, Sairandri berlari-lari ke balai penjagaan
hendak melaporkan bahwa Kicaka mati dibunuh suaminya
karena mahasenapati itu sering mengganggunya. Dengan
suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata, “Mahasenapati
Kicaka sering menggangguku. Padahal sudah
berkali-kali kukatakan bahwa aku sudah bersuami dan
suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus saja
menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh,
penjaga, lihatlah Panglima di ruang gamelan yang gelap.”
Para penjaga beramai-ramai pergi ke ruang gamelan.
Ada yang membawa obor, ada yang membawa golok,
parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka mendapati
Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuhnya
hancur tak berbentuk. Mereka membicarakan kematian
itu sambil berbisik-bisik.
Peristiwa itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang
mulai lebih memperhatikan Sairandri. Di mana-mana
orang membicarakan dan mengutuk Sairandri sebagai
perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik,
“Perempuan itu memang cantik, pandai dan menarik di
mata laki-laki, tetapi ia berbahaya. Apalagi dia bersuamikan
raksasa. Sungguh perempuan yang bisa membahayakan
negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin,
para raksasa akan dengan mudah membunuhi orangorang
yang dilaporkan mengganggu perempuan itu. Yang
terbaik saat ini adalah mengusir perempuan jahat itu.”
Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu
Sudesha dan memohon agar Ratu mengusir Sairandri yang
membawa malapetaka.
“Perempuan setan,” kata mereka.
Sudesha memanggil Sairandri dan berkata, “Tingkah
lakumu dan kerjamu baik, kebaikanmu tak perlu diragukan,
tetapi kuharap engkau segera meninggalkan istana
dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima kebaikanmu.”
Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan. Sairandri
memohon kepada Ratu Sudesha agar diijinkan tinggal kirakira
sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para raksasa
kawan suaminya akan mengambilnya dari Negeri Matsya.
Mereka akan berterima kasih kepada Wirata dan menawarkan
persahabatan untuk menghadapi musuh Negeri Matsya.
Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu
pasti mengamuk, mengobrak-abrik dan menghancurkan
Negeri Matsya.
Mendengar penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak
berani memaksa. Pikirnya, apa jadinya jika raksasa-raksasa
itu benar-benar datang menghancurkan istananya.
Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu
Sudesha mengijinkan Sairandri tinggal lebih lama lagi.
***
Sesungguhnya, sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhana
telah menyebar mata-matanya ke mana-mana. Mereka berusaha
melacak dan memasang perangkap rahasia untuk
menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam
bulan berlalu... tujuh bulan, delapan bulan, sembilan
bulan, sepuluh bulan ... hingga bulan kesebelas mereka
terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata itu terpaksa
kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka
tidak bisa menemukan jejak Pandawa. Mungkin Pandawa
tersesat di rimba raya lalu mati dimakan binatang buas
atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan.
Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura
bahwa Kicaka, Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam
perkelahian melawan raksasa... gara-gara seorang perempuan.
Semua orang tahu, Kicaka panglima yang gagah
perkasa dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa
menandinginya. Salah satunya adalah Bhima dari Pandawa.
Siapa tahu pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima
yang dikira raksasa. Duryodhana menebak-nebak, perempuan
yang menjadi gara-gara itu pasti Draupadi. Kemudian
Duryodhana mengundang raja-raja sahabatnya untuk
membicarakan Pandawa yang hidup menyamar di persembunyian.
Dalam pertemuan itu Duryodhana berkata, “Menurutku
sekarang Pandawa tinggal di ibukota Negeri Matsya. Kalian
tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan kita. Jadi, baik
kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya.
Jika benar Pandawa ada di sana, mereka pasti akan muncul
membantu pasukan Wirata karena merasa berhutang
budi. Dengan begitu, mungkin kita bisa membongkar
penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis
dan memaksa mereka hidup di pengasingan selama dua
belas tahun lagi. Tetapi, seandainya Pandawa tidak ada di
sana, tak apa-apa.”
Susarma, raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan
itu menyetujui usul Duryodhana dengan sepenuh hati.
Katanya, “Raja Negeri Matsya adalah musuhku. Kicaka,
mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan mengobrak-
abrik kerajaanku dengan sombong. Kematiannya
pasti melumpuhkan kekuatan Wirata. Sekarang juga kita
serang dia,” katanya.
Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, pertemuan
itu menyetujui rencana penyerbuan ke Negeri
Matsya.
“Susarma menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit
Negeri Matsya pasti akan dikerahkan ke selatan untuk
menghadapi balatentara Susarma. Kemudian, jika pertempuran
di selatan semakin menghebat, Duryodhana dan
pasukan Kaurawa akan melancarkan serangan tiba-tiba
dari utara. Wilayah utara pasti kurang dijaga karena
perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang sedang
bertempur di selatan,” demikian kesepakatan mereka.
Demikianlah, Susarma dan balatentaranya menyerang
Negeri Matsya dari selatan. Mereka merampas ternak,
merusak dan menghancurkan tanaman di sawah dan
ladang penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang
langgang mencari perlindungan. Laporan disampaikan
kepada Wirata bahwa wilayah selatan kerajaan telah
diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena
Kicaka sudah mati. Jika Kicaka masih hidup, Susarma
pasti tak berani menyerang Negeri Matsya.
Mengetahui situasi buruk itu, Kangka, sanyasin, yang
sehari-hari melayani Wirata, berkata kepada raja, “Tuanku
tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa atau sanyasin,
sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan
bertempur untuk Tuanku. Aku akan mengendarai kereta
bersenjata lengkap dan mengusir musuh-musuh Tuanku.
Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak istana,
Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si
gembala sapi, untuk membantu menghadapi musuh.
Kudengar mereka pernah menjadi kesatria perang. Kalau
mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuhmusuh
Tuanku pasti akan hancur.”
Raja Wirata menyetujui usul Kangka dan memerintahkan
orang-orang itu dipanggil dan dipersenjatai. Demikianlah,
Kangka, Walala, Dharmagranti, dan Tantripala
yang tiada lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan
Sahadewa masuk ke barisan tentara Negeri Matsya untuk
bertempur menghadapi pasukan Susarma.
Pertempuran hebat tak terhindarkan. Korban berjatuhan
di kedua pihak. Susarma mencari sasarannya, yaitu
Wirata. Ia mengepung kereta Wirata, memaksanya turun
dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur,
kucar-kacir, dan takut bertempur karena raja mereka
ditawan musuh. Tetapi Kangka memerintahkan Walala
untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan
Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya.
Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak
mencabut sebatang pohon besar untuk dijadikan senjata.
Begitulah memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi
Kangka melarangnya, “Jangan berbuat demikian! Ingat,
kau jangan berteriak-teriak dalam pertempuran ini! Penyamaranmu
akan terbongkar jika orang mengenalimu dari
kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang
biasa, sebagai prajurit biasa yang naik kereta dan bersenjata
panah dan tombak.”
Patuh akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan
maju bertempur. Ia berhasil membebaskan Wirata,
menangkap Susarma dan menyatukan kembali pasukan
Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu
berhari-hari, membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya
prihatin. Begitu berita kemenangan sampai ke ibu kota,
rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke jalan-jalan,
bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya.
Ketika penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk
mempersiapkan penyambutan untuk Raja Wirata yang
kembali dari medan pertempuran di daerah selatan, datang
berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhana
dan pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta
benda, ternak, dan mengobrak-abrik beberapa desa di perbatasan.
Akhirnya mereka menduduki wilayah kerajaan di
utara!
Para gembala dan petani berlarian ke ibu kota. Mereka
melaporkan kepada Pangeran Uttara, putra mahkota Negeri
Matsya, bahwa balatentara Kaurawa menyerbu dari
utara. Mereka memohon, “Wahai Pangeran Uttara, balatentara
Kaurawa menyerbu dari utara, merampas sapi, biribiri,
kambing dan harta-benda kami, sementara Paduka
Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir balatentara
Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali
Pangeran. Kami mohon, lindungilah kami dan usirlah
mereka! Pulihkan kedaulatan Negeri Matsya demi kehormatan
keluarga Tuanku!”
Mendengar itu, Pangeran Uttara berkata dengan sombong
di depan permaisuri dan putri-putri istana, “Kalau
saja aku bisa mendapat seorang sais handal, aku akan
usir semua musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan
semua ternak dan harta-benda yang mereka rampas.
Kalian harus tahu, aku ahli menggunakan senjata. Di
dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi
aku, Uttara. Sayangnya, aku tidak punya sais kereta.”
Waktu itu Sairandri sedang berada di kamar Ratu
Sudesha. Mendengar Pangeran Uttara berkata demikian, ia
keluar menemui Uttari dan berkata, “Tuanku Putri Uttari,
negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu
tidak bisa mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si
guru tari. Aku dengar, ia pernah menjadi pengemudi kereta
di Negeri Indraprastha dan pernah melayani Arjuna. Ia
banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan
pertarungan.”
Uttari menemui saudaranya dan berkata, “Aku dengar
dari Sairandri bahwa dulu Brihannala adalah sais kereta
yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi sais kereta Arjuna
di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama
dia. Usir musuh kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan
punah.”
Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera
menyuruh orang memanggil Brihannala.
Uttari berkata kepada guru tari itu, “Pasukan Kaurawa
memasuki wilayah negeri kita dari utara, merampas
kekayaan dan harta benda milik rakyat di perbatasan. Kata
Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna.
Pergilah bersama saudaraku untuk mengusir musuh.
Uttara akan melindungimu dari hantaman musuh.”
Brihannala pura-pura lupa bagaimana caranya menggunakan
senjata dan memegang kendali kuda. Tetapi ia berkata
bahwa dirinya akan senang jika diijinkan ikut berperang.
Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada
para wanita yang mengantar Pangeran Uttara berangkat ke
medan perang, “Putra Mahkota pasti menang. Kami akan
hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam benang
emas akan kami rampas dan kami persembahkan kepada
kalian.” Setelah berkata demikian, ia melecut kudanya dan
melarikan kereta dengan kencang. Para wanita itu
terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang menjadi
sais kereta itu?
masa pengasingan kami telah tiba. Kini tiba waktunya
untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang
kami harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh matamata
Duryodhana. Kami tidak tahu, kapan kita bisa bertemu
lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan dalam keadaan
bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mohon
restumu. Doakan kami, semoga kami terhindar dari
pengkhianatan orang-orang pengecut yang menginginkan
hadiah dari Duryodhana,” kata Yudhistira kepada Resi
Dhaumya yang setia menyertai Pandawa dalam pengasingan.
Pangeran itu tak dapat menahan rasa harunya.
Suaranya bergetar dan wajahnya sedih.
Resi Dhaumya menghibur, “Berpisah memang berat.
Bahaya dan malapetaka akan bertambah banyak dan
bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana dan
terlatih, tak dapat digoyahkan atau digertak musuh.
Menyamarlah! Setelah dikalahkan raksasa, Batara Indra
hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di Negeri
Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun.
Setelah menjalani penyamaran dengan baik, Batara Indra
dikaruniai kemampuan untuk menghancurkan musuhmusuhnya.
Demikian pula Batara Wishnu yang menyamar
menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya
dari Maharaja Bali. Batara Narayana menyamar masuk ke
dalam senjata Indra untuk menghancurkan Writa, raja
raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah menyamar
menjadi anak Dasaratha agar dapat memusnahkan Rahwana.
“Demikianlah, banyak dewa dan kesatria agung di
jaman dulu yang menyamar demi tujuan yang baik dan
luhur. Engkau pun hendaknya demikian, menyamar,
menghancurkan musuh-musuhmu dan memenangkan
kemakmuran bagi saudara-saudara dan rakyatmu.”
Akhirnya Yudhistira berpisah dengan Resi Dhaumya.
Semua pengikut Pandawa diminta kembali ke negeri
masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan saudara-saudaranya
di suatu tempat tersembunyi untuk membicarakan
langkah-langkah yang akan mereka tempuh. Pertemuan
itu sangat rahasia, sebab jika sampai ketahuan oleh
Kaurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama
dua belas tahun lagi.
Yudhistira berkata kepada Arjuna, “Dua belas tahun
sudah kita jalani dengan selamat. Di tahun ketiga belas ini,
kita harus hidup menyamar. Di antara kita, engkau yang
punya pengalaman paling banyak dan engkau pula yang
mengetahui keadaan dunia. Menurut pendapatmu, negeri
manakah yang paling cocok untuk tempat tinggal kita?”
“Kakanda Raja, engkau telah direstui Batara Yama.
Menurutku, tak sulit bagi kita untuk mencari tempat
persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk tempat
bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha,
Bhalika, Dashrana, Surasena, Kalingga dan Magadha.
Terserah padamu, mana yang akan dipilih. Tetapi, jika kau
minta pendapatku, Matsya, negeri Raja Wirata, adalah
pilihanku,” jawab Arjuna.
“Wirata adalah raja yang berpendirian kuat dan bersimpati
kepada kita. Ia berpandangan luas, ahli tata kerajaan,
taat kepada dharma dan selalu melaksanakan kebajikan
dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi
atau ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhana. Ya, aku
setuju kita hidup menyamar di negeri itu,” Yudhistira
menanggapi.
“Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau
pilih dalam penyamaran ini?” tanya Arjuna.
Yudhistira tampak sedih karena kini ia harus bekerja
untuk orang lain. Katanya, “Aku akan memohon kepada
Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku bersedia
menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika
ia punya waktu senggang. Aku akan menyamar sebagai
sanyasin dan menghiburnya dengan membacakan ramalan,
membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan
Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi
pekerti, ilmu tata kerajaan dan hal-hal lain. Tentu aku
harus hati-hati, tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam
suatu kesempatan akan kuceritakan kepadanya bahwa
aku kenal Yudhistira dan pernah belajar banyak darinya
sewaktu mendapat kesempatan melayaninya.
“Hai, Bhima, pekerjaan apakah yang akan kaucari di
negeri Raja Wirata? Carilah pekerjaan yang seimbang
dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga Antaboga
dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala,
Bakasura, Hidimba dan Jatasura—semua raksasa perkasa
yang kejam. Engkau begitu hebat dan mudah dikenali.
Bagaimana engkau bisa menyamar untuk menyembunyikan
badanmu yang begitu besar?” kata Yudhistira dengan
murung dan tak dapat menahan air matanya.
Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseriseri,
“Aku akan menyamar menjadi juru masak di istana.
Kalian tahu, aku doyan makan dan pandai memasak. Aku
terampil memasak untuk orang banyak, misalnya untuk
pesta-pesta. Aku bisa mencari kayu api dan kuat memikulnya
sendiri dari hutan. Jika ada acara adu kekuatan otot,
aku akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan
wakil Negeri Matsya dan Raja Wirata pasti akan senang.”
Meskipun Bhima menjawab dengan riang dan mantap,
Yudhistira tetap kuatir. Jangan-jangan, jika Bhimasena
ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati dia banting.
Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar.
Mengetahui kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan
berhati-hati jika ikut adu kekuatan otot.
“Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir
hutan jika mereka diserang binatang buas,” sambung
Bhima.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, “Pekerjaan
apa yang hendak kauambil, hai kesatria sakti?”
“Kakanda yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi
perempuan pelayan dan guru tari. Bekas-bekas tali busur
di tanganku akan kututupi dengan baju wanita lengan
panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi
dengan alasan dia kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk
pastu aku menjadi banci. Untunglah, berkat restu Batara
Indra dan karena kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau,
aku bisa bertingkah laku seperti perempuan. Aku akan
mengenakan gelang, kalung, dan anting-anting. Aku akan
merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar menari,
aku juga akan mengajar menyanyi,” jawab Arjuna.
Terbayang oleh Yudhistira, betapa merosotnya keadaan
mereka sekarang. Padahal, mereka adalah keturunan
Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh siapa pun.
Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung
Mahameru yang kokoh tinggi menjulang. Tetapi nyatanya,
mereka terpaksa hidup di pengasingan dan kini harus
menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar.
Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, “Engkau
ahli kitab-kitab suci dan ilmu pendidikan, apa yang
akan engkau kerjakan di Negeri Matsya?”
Sahadewa menjawab singkat, “Biarlah Nakula menjadi
tukang kuda dan aku menjadi gembala sapi. Aku gemar
dan punya pengalaman memelihara ternak.”
Memandang Draupadi, Yudhistira tak mampu bertanya.
Ia tertunduk. Ia tak sanggup membayangkan permaisurinya
hidup menyamar. Ia malu dan putus asa karena tidak
mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya sebagai
ratu.
Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya,
“Wahai Rajaku, janganlah sedih dan mencemaskan aku.
Aku akan menyamar menjadi Sairandri, pelayan permaisuri
Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa
aku pernah menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di
Kerajaan Indraprastha.”
Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedoman
tentang apa saja yang harus mereka pegang teguh
selama dalam penyamaran.
Yudhistira berkata, “Kita harus selalu waspada dan
bekerja tanpa banyak cakap; hanya memberi pandangan
atau pendapat jika diminta, tidak boleh memaksakan pendapat
kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di saat-saat
yang tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh
dilakukan setelah disetujui raja, karena kita ini ibarat api
yang mudah terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan
raja, tetapi tidak boleh terkesan menjauhi atau menghindarinya.
Betapapun besarnya kepercayaan yang diberikan
raja, kita harus pandai menjaga diri karena sewaktu-waktu
raja bisa memecat kita.
“Sungguh bodoh jika kita terlalu bergantung pada
kepercayaan raja. Jangan gegabah jika duduk di dekat raja
dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan sayang
kepada kita. Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi
dan tidak boleh terlalu senang atau takabur jika dipuji.
“Kita harus pandai menjaga rahasia. Jangan mau
disuap oleh siapa pun. Kita tak boleh iri pada pekerja lain,
karena raja mungkin menempatkan orang tolol sebagai
orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang
pandai dan berbudi baik. Hal-hal semacam itu tak perlu
kita hiraukan. Kita tidak boleh terlalu dekat dengan wanita-
wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita
terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari
segala keruwetan.
“Kita harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu
tahun. Segala kesulitan akan teratasi dengan kerendahan
hati dan kebesaran jiwa.”
Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk
dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, termasuk untuk
Dewi Draupadi.
***
Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna berdandan
seperti perempuan dan memilih nama Brihannala,
sementara Bhima, Nakula dan Sahadewa mempersiapkan
diri masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka
pilih selama satu tahun masa penyamaran. Mereka berlatih
cara berjalan, berbicara, bertingkah laku dan berbagai
kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang
mereka pilih. Setelah dirasa cukup mempersiapkan diri,
mereka memasuki Negeri Matsya dengan penuh keyakinan.
Pandawa berpencar, berusaha melamar pekerjaan sendiri-
sendiri. Tapi alangkah sulitnya mendapat pekerjaan.
Meski sudah berusaha menyamar sebaik-baiknya, jika
diperhatikan dengan saksama, sifat, wibawa dan gerakgerik
mereka sebagai putra-putra raja masih bisa terlihat.
Yudhistira, Bhima dan Draupadi akhirnya berhasil
masuk ke lingkungan istana dan diterima bekerja di sana.
Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima menjadi
juru masak istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi
Ratu Sudesha, permaisuri Raja Wirata.
Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru tari dan
seni suara di sanggar tempat putra-putri bangsawan
belajar. Sahadewa menemui pengawas gembala yang bertugas
mengawasi ribuan ternak raja. Setelah diuji, Sahadewa
diterima menjadi pembantunya. Pengawas gembala itu
senang karena Sahadewa rajin, cekatan dan cepat menguasai
pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit berkuda
dan diterima sebagai tukang kuda.
Kedudukan panglima tertinggi Negeri Matsya dipegang
oleh Kicaka yang gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di
tangannya terletak keamanan Raja Wirata dan pertahanan
Negeri Matsya. Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu berkuasanya
dia hingga rakyat berpendapat bahwa penguasa
negeri itu sesungguhnya adalah Kicaka, bukan Wirata.
Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani Ratu
Sudesha, Panglima Kicaka tampak sering muncul di istana
tanpa diketahui Sairandri. Diam-diam panglima itu tertarik
melihat kecantikan pelayan kakaknya.
Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai
dirinya. Ia berusaha untuk tidak memberi kesempatan,
tetapi panglima tampan itu sudah jatuh cinta kepadanya
dan tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia sering
mencari-cari alasan untuk menemui Ratu Sudesha agar
bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka lupa, sebagai
Mahasenapati Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta
dengan seorang pelayan.
Sairandri takut dan malu, tak berani mengatakan hal
itu kepada Ratu Sudesha atau kepada pelayan lain. Ia
sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya sekarang.
Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya,
meskipun Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan
menolaknya. Untuk mengelabui, Sairandri berkata kepada
Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya raksasa
yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu
secara gaib akan membunuh siapa pun yang berani menggangunya.
Tetapi Kicaka tidak peduli.
Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang ajar membuat
Sairandri terpaksa mengadukannya kepada Ratu Sudesha
dan memohon pertolongannya. Mengetahui itu, tanpa
malu-malu Kicaka menggunakan pengaruh kakaknya dan
berkata kepada Ratu Sudesha bahwa ia menaruh hati pada
pelayannya. Ia berharap Ratu menolongnya dengan memerintahkan
pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka.
Kicaka berkata, “Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu
yang ayu. Semakin hari aku semakin terpikat padanya.
Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau harus menolongku
dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku
sungguh mencintainya dan tidak akan mempermainkannya.
Tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak
asmaraku.”
Mula-mula Ratu Sudesha menasihati saudaranya agar
tidak menuruti perasaannya, karena Sairandri sudah bersuami
dan suaminya raksasa. Tetapi Kicaka tak bisa dinasihati
dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha
menemukan gagasan untuk menolong adiknya. Mereka
lalu menyiapkan perangkap.
Pada suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kediamannya.
Berbagai makanan hangat dan minuman keras
disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu Sudesha menyuruh
Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa
ke kamar Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan
alasan malu dan takut.
Sampai di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah
siap menjebaknya. Ia meminta Sairandri menginap di
rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata, “Mengapa
Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan
keturunan kasta terendah? Janganlah Panglima menempuh
jalan yang salah. Mengapa Panglima menghendaki
perempuan yang sudah kawin seperti aku? Suamiku
raksasa, ia pasti tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia
pasti akan membunuh pengganggu istrinya.”
Meskipun dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan diberi
hadiah-hadiah, Sairandri tetap menolak. Dengan kesal
Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu pelayan
itu meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan
cepat Sairandri mengelak, lalu lari. Kicaka mengejarnya.
Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap pelayan itu,
tetapi Sairandri selalu lolos. Akhirnya Kicaka marah dan
menendang Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat
kejadian itu, tapi tidak seorang pun berani berbuat sesuatu
karena Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya.
Tidak seorang pun memikirkan peristiwa itu sebagai kejadian
serius.
Sairandri marah dan sedih diperlakukan seperti itu.
Dendam hatinya membuatnya lupa akan bahaya yang
dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali sebelum
masa penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi menemui
Bhima, si juru masak, dan menceritakan apa yang
dialaminya. Katanya, “Aku tidak tahan lagi menghadapi
Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi kepentingan
kita, aku relakan diriku menjadi pelayan Ratu
Sudesha. Semua tugas pelayan kujalani dengan ikhlas.
Aku sudah relakan diriku menyiapkan segala sesuatu
untuk Raja dan Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi melayani
manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan semakin
kurang ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisabisa
kita semua binasa!” Sambil berkata demikian ia memperlihatkan
tangannya yang kini kasar karena banyak
bekerja.
Bhima kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia
perhatikan tangan Sairandri yang dulu halus lembut dan
kini menjadi kasar dan tergores-gores, penuh bekas parut.
Sambil menghapus air mata Sairandri, ia berkata dengan
geram, “Aku tak peduli nasihat Yudhistira dan janji Arjuna.
Aku tidak peduli apa pun yang akan terjadi. Aku akan
bunuh Kicaka malam ini juga!” Setelah berkata begitu,
Bhima bangkit dan siap pergi.
Sairandri menahannya dan menasihatinya agar jangan
tergesa-gesa. Kemudian mereka menyusun rencana untuk
menghabisi Kicaka. Bhima akan menunggu di kegelapan,
dekat sanggar tempat berlatih menabuh gamelan, pada
malam yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai
perempuan. Jadi, bukan Sairandri yang akan menemui
Kicaka, melainkan Bhima.
Beberapa hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba merayu
Sairandri dan mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi
menahan perasaannya. Katanya dengan wajah memerah
penuh nafsu, “Wahai Sairandri, aku terpaksa menendangmu
malam itu karena engkau selalu menghindariku. Aku
bisa berbuat lebih kasar dari itu. Adakah yang akan
menolongmu? Ketahuilah, Wirata hanya raja dalam
sebutan. Kekuasaan yang sebenarnya ada di tanganku,
Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan berpurapura
atau bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga
asmara kita dan engkau akan menikmati kebesaran
sebagai Ratu Negeri Matsya.”
Sairandri pura-pura menerima tawaran itu dengan
berkata, “Mahasenapati Kicaka, sebenarnya aku tidak
dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai ada
orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau
bersumpah untuk merahasiakan hubungan kita, aku akan
menuruti kemauanmu.”
Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati
Kicaka. Ia segera berjanji akan memenuhi semua syarat
yang diajukan Sairandri.
Sairandri berkata lagi, “Setiap sore, biasanya para putri
belajar menari di ruang gamelan. Malam hari mereka
pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi, dan gelap.
Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menunggumu
di sana.”
Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi sebersih-bersihnya,
mengenakan pakaian terbaiknya, dan memerciki
tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap, ia pergi ke
sanggar tempat putri-putri bangsawan berlatih menari.
Tempat itu kosong dan gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia
masuk ke ruangan, melangkah maju sampai ke sudut
gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam kegelapan
ia mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah,
di sudut ia melihat sosok wanita berdiri menunggu. Ia
mempercepat langkahnya, tak sabar ingin memeluk
perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya ia
ketika menyentuh tubuh itu! Bukan kulit halus lembut
yang tersentuh tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu
disentuh, sosok itu menyergapnya bagaikan singa galak
menyergap mangsa.
Kicaka bukan pengecut. “Ini pasti raksasa suami
Sairandri yang akan membunuhku,” pikirnya. Ia tak tahu
bahwa orang itu adalah Bhima. Dia melawan mati-matian.
Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap. Kicaka
memang perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan
Balarama atau Bhima. Meskipun sakti dan perkasa, malam
itu Kicaka tidak siap berkelahi. Sebaliknya, Bhima memang
sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam waktu
singkat Bhima bisa menundukkan Kicaka. Dibantingnya
tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya, kaki dan
tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak berbentuk.
Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima.
Bhima segera pergi menemui Sairandri untuk memberitahu
bahwa Kicaka telah tewas. Setelah itu ia kembali lagi
ke dapur, mandi membersihkan badannya lalu tidur
nyenyak.
Sementara itu, Sairandri berlari-lari ke balai penjagaan
hendak melaporkan bahwa Kicaka mati dibunuh suaminya
karena mahasenapati itu sering mengganggunya. Dengan
suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata, “Mahasenapati
Kicaka sering menggangguku. Padahal sudah
berkali-kali kukatakan bahwa aku sudah bersuami dan
suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus saja
menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh,
penjaga, lihatlah Panglima di ruang gamelan yang gelap.”
Para penjaga beramai-ramai pergi ke ruang gamelan.
Ada yang membawa obor, ada yang membawa golok,
parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka mendapati
Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuhnya
hancur tak berbentuk. Mereka membicarakan kematian
itu sambil berbisik-bisik.
Peristiwa itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang
mulai lebih memperhatikan Sairandri. Di mana-mana
orang membicarakan dan mengutuk Sairandri sebagai
perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik,
“Perempuan itu memang cantik, pandai dan menarik di
mata laki-laki, tetapi ia berbahaya. Apalagi dia bersuamikan
raksasa. Sungguh perempuan yang bisa membahayakan
negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin,
para raksasa akan dengan mudah membunuhi orangorang
yang dilaporkan mengganggu perempuan itu. Yang
terbaik saat ini adalah mengusir perempuan jahat itu.”
Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu
Sudesha dan memohon agar Ratu mengusir Sairandri yang
membawa malapetaka.
“Perempuan setan,” kata mereka.
Sudesha memanggil Sairandri dan berkata, “Tingkah
lakumu dan kerjamu baik, kebaikanmu tak perlu diragukan,
tetapi kuharap engkau segera meninggalkan istana
dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima kebaikanmu.”
Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan. Sairandri
memohon kepada Ratu Sudesha agar diijinkan tinggal kirakira
sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para raksasa
kawan suaminya akan mengambilnya dari Negeri Matsya.
Mereka akan berterima kasih kepada Wirata dan menawarkan
persahabatan untuk menghadapi musuh Negeri Matsya.
Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu
pasti mengamuk, mengobrak-abrik dan menghancurkan
Negeri Matsya.
Mendengar penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak
berani memaksa. Pikirnya, apa jadinya jika raksasa-raksasa
itu benar-benar datang menghancurkan istananya.
Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu
Sudesha mengijinkan Sairandri tinggal lebih lama lagi.
***
Sesungguhnya, sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhana
telah menyebar mata-matanya ke mana-mana. Mereka berusaha
melacak dan memasang perangkap rahasia untuk
menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam
bulan berlalu... tujuh bulan, delapan bulan, sembilan
bulan, sepuluh bulan ... hingga bulan kesebelas mereka
terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata itu terpaksa
kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka
tidak bisa menemukan jejak Pandawa. Mungkin Pandawa
tersesat di rimba raya lalu mati dimakan binatang buas
atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan.
Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura
bahwa Kicaka, Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam
perkelahian melawan raksasa... gara-gara seorang perempuan.
Semua orang tahu, Kicaka panglima yang gagah
perkasa dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa
menandinginya. Salah satunya adalah Bhima dari Pandawa.
Siapa tahu pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima
yang dikira raksasa. Duryodhana menebak-nebak, perempuan
yang menjadi gara-gara itu pasti Draupadi. Kemudian
Duryodhana mengundang raja-raja sahabatnya untuk
membicarakan Pandawa yang hidup menyamar di persembunyian.
Dalam pertemuan itu Duryodhana berkata, “Menurutku
sekarang Pandawa tinggal di ibukota Negeri Matsya. Kalian
tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan kita. Jadi, baik
kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya.
Jika benar Pandawa ada di sana, mereka pasti akan muncul
membantu pasukan Wirata karena merasa berhutang
budi. Dengan begitu, mungkin kita bisa membongkar
penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis
dan memaksa mereka hidup di pengasingan selama dua
belas tahun lagi. Tetapi, seandainya Pandawa tidak ada di
sana, tak apa-apa.”
Susarma, raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan
itu menyetujui usul Duryodhana dengan sepenuh hati.
Katanya, “Raja Negeri Matsya adalah musuhku. Kicaka,
mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan mengobrak-
abrik kerajaanku dengan sombong. Kematiannya
pasti melumpuhkan kekuatan Wirata. Sekarang juga kita
serang dia,” katanya.
Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, pertemuan
itu menyetujui rencana penyerbuan ke Negeri
Matsya.
“Susarma menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit
Negeri Matsya pasti akan dikerahkan ke selatan untuk
menghadapi balatentara Susarma. Kemudian, jika pertempuran
di selatan semakin menghebat, Duryodhana dan
pasukan Kaurawa akan melancarkan serangan tiba-tiba
dari utara. Wilayah utara pasti kurang dijaga karena
perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang sedang
bertempur di selatan,” demikian kesepakatan mereka.
Demikianlah, Susarma dan balatentaranya menyerang
Negeri Matsya dari selatan. Mereka merampas ternak,
merusak dan menghancurkan tanaman di sawah dan
ladang penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang
langgang mencari perlindungan. Laporan disampaikan
kepada Wirata bahwa wilayah selatan kerajaan telah
diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena
Kicaka sudah mati. Jika Kicaka masih hidup, Susarma
pasti tak berani menyerang Negeri Matsya.
Mengetahui situasi buruk itu, Kangka, sanyasin, yang
sehari-hari melayani Wirata, berkata kepada raja, “Tuanku
tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa atau sanyasin,
sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan
bertempur untuk Tuanku. Aku akan mengendarai kereta
bersenjata lengkap dan mengusir musuh-musuh Tuanku.
Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak istana,
Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si
gembala sapi, untuk membantu menghadapi musuh.
Kudengar mereka pernah menjadi kesatria perang. Kalau
mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuhmusuh
Tuanku pasti akan hancur.”
Raja Wirata menyetujui usul Kangka dan memerintahkan
orang-orang itu dipanggil dan dipersenjatai. Demikianlah,
Kangka, Walala, Dharmagranti, dan Tantripala
yang tiada lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan
Sahadewa masuk ke barisan tentara Negeri Matsya untuk
bertempur menghadapi pasukan Susarma.
Pertempuran hebat tak terhindarkan. Korban berjatuhan
di kedua pihak. Susarma mencari sasarannya, yaitu
Wirata. Ia mengepung kereta Wirata, memaksanya turun
dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur,
kucar-kacir, dan takut bertempur karena raja mereka
ditawan musuh. Tetapi Kangka memerintahkan Walala
untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan
Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya.
Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak
mencabut sebatang pohon besar untuk dijadikan senjata.
Begitulah memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi
Kangka melarangnya, “Jangan berbuat demikian! Ingat,
kau jangan berteriak-teriak dalam pertempuran ini! Penyamaranmu
akan terbongkar jika orang mengenalimu dari
kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang
biasa, sebagai prajurit biasa yang naik kereta dan bersenjata
panah dan tombak.”
Patuh akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan
maju bertempur. Ia berhasil membebaskan Wirata,
menangkap Susarma dan menyatukan kembali pasukan
Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu
berhari-hari, membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya
prihatin. Begitu berita kemenangan sampai ke ibu kota,
rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke jalan-jalan,
bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya.
Ketika penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk
mempersiapkan penyambutan untuk Raja Wirata yang
kembali dari medan pertempuran di daerah selatan, datang
berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhana
dan pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta
benda, ternak, dan mengobrak-abrik beberapa desa di perbatasan.
Akhirnya mereka menduduki wilayah kerajaan di
utara!
Para gembala dan petani berlarian ke ibu kota. Mereka
melaporkan kepada Pangeran Uttara, putra mahkota Negeri
Matsya, bahwa balatentara Kaurawa menyerbu dari
utara. Mereka memohon, “Wahai Pangeran Uttara, balatentara
Kaurawa menyerbu dari utara, merampas sapi, biribiri,
kambing dan harta-benda kami, sementara Paduka
Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir balatentara
Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali
Pangeran. Kami mohon, lindungilah kami dan usirlah
mereka! Pulihkan kedaulatan Negeri Matsya demi kehormatan
keluarga Tuanku!”
Mendengar itu, Pangeran Uttara berkata dengan sombong
di depan permaisuri dan putri-putri istana, “Kalau
saja aku bisa mendapat seorang sais handal, aku akan
usir semua musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan
semua ternak dan harta-benda yang mereka rampas.
Kalian harus tahu, aku ahli menggunakan senjata. Di
dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi
aku, Uttara. Sayangnya, aku tidak punya sais kereta.”
Waktu itu Sairandri sedang berada di kamar Ratu
Sudesha. Mendengar Pangeran Uttara berkata demikian, ia
keluar menemui Uttari dan berkata, “Tuanku Putri Uttari,
negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu
tidak bisa mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si
guru tari. Aku dengar, ia pernah menjadi pengemudi kereta
di Negeri Indraprastha dan pernah melayani Arjuna. Ia
banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan
pertarungan.”
Uttari menemui saudaranya dan berkata, “Aku dengar
dari Sairandri bahwa dulu Brihannala adalah sais kereta
yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi sais kereta Arjuna
di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama
dia. Usir musuh kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan
punah.”
Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera
menyuruh orang memanggil Brihannala.
Uttari berkata kepada guru tari itu, “Pasukan Kaurawa
memasuki wilayah negeri kita dari utara, merampas
kekayaan dan harta benda milik rakyat di perbatasan. Kata
Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna.
Pergilah bersama saudaraku untuk mengusir musuh.
Uttara akan melindungimu dari hantaman musuh.”
Brihannala pura-pura lupa bagaimana caranya menggunakan
senjata dan memegang kendali kuda. Tetapi ia berkata
bahwa dirinya akan senang jika diijinkan ikut berperang.
Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada
para wanita yang mengantar Pangeran Uttara berangkat ke
medan perang, “Putra Mahkota pasti menang. Kami akan
hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam benang
emas akan kami rampas dan kami persembahkan kepada
kalian.” Setelah berkata demikian, ia melecut kudanya dan
melarikan kereta dengan kencang. Para wanita itu
terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang menjadi
sais kereta itu?
Posting Komentar