Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda ...

Shop now !

Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencic...

Shop now !

Dalam rencana Bale Sigala-gala ini Drona yang menjadi guru besar warga Kurawa dan Pandawa tidak dilibatkan oleh Patih Sengkuni Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang...

Shop now !

Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak ada dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal...

Shop now !

Bima berjalan menyusuri Alas Pramanakoti setelah selamat dari ancaman pembunuhan . Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada ...

Shop now !

Bukti nyata bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. ...

Shop now !

ampir semua orang sudah siap berperang. Kedua belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing. Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria, mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap lawan. Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang berbeda dengan aturan di ja...

Shop now !

ekembalinya Krishna alias Gowinda ke Upaplawya, ia segera menemui Pandawa dan menyampaikan laporan kepada Yudhistira. Ia laporkan pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di Hastinapura dan pertemuannya dengan Dewi Kunti, ibu Pandawa. “Kini tidak ada lagi harapan untuk berdamai. Duryodhana bersikeras, tetap ingin berperang melawan kita. Sekarang ...

Shop now !
Kresna

Kresna

Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis. Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa susastra Hindu, yaitu Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana.
Pemujaan terhadap dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa, Balakresna atau Gopala—dapat ditelusuri sampai awal abad ke-4 SM. Pemujaan Kresna sebagai Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti. Dari abad ke-10 M, Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad ke-16, dan sejak tahun 1960-an juga telah menyebar di Dunia Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).
Dalam aksara Dewanagari, Kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca [ˈkr̩ʂɳə]), dengan bunyi konsonan silabis Ṛ, atau disebut pula vokal Ṛ (dalam aksara Dewanagari disimbolkan dengan , sedangkan dalam alfabet Fonetis Internasional disimbolkan dengan huruf [r̩ ]*dengarkan contoh bunyi). Dalam aksara Jawa, huruf vokal tersebut dialihaksarakan sebagai huruf Pa cerek (huruf Ra repa dalam aksara Bali) yang melambangkan bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf Latin "Re"), karena bunyi konsonan silabis Ṛ seperti dalam bahasa Sanskerta tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu kata कृष्ण dialihaksarakan menjadi "Kresna" (dibaca [ˈkrəsna]).
Arca Kresna di Mayapur, India. Pada arca ini, Kresna digambarkan berkulit hitam.
Kata kṛṣṇa dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata čьrnъ (crn, 'hitam') dalam rumpun bahasa Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa kegelapan dalam mandala (bab) IV Regweda. Untuk nama diri, kata Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama seorang penyair. Sebagai salah satu nama Wisnu, kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna seringkali digambarkan dalam arca dengan kulit hitam maupun biru.
Kresna juga dikenal dengan berbagai macam nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut diantaranya: Acyuta (yang kekal; teguh); Arisudana (penghancur musuh); Bagawan (Yang Mahakuasa); Gopala (pelindung sapi); Gowinda (penggembala sapi); Hresikesa (penguasa indria); Janardana (juru selamat umat manusia); Kesawa (yang berambut indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi); Madawa (suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh raksasa Madhu); Mahabahu (yang berlengan perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama (manusia utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni); Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin).
Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala sapi", atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa kecil Kresna di Braj. Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di Puri, India Timur.
Kresna dapat dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud arca, Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya pewayangan Jawa, Kresna digambarkan berkulit hitam, sedangkan di Bali, ia digambarkan berkulit hijau. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan modern, Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna hitam merupakan warna Dewa Wisnu menurut konsep Nawa Dewata, sedangkan biru melambangkan keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi sulit, serta kesadaran yang sempurna. Warna biru juga melambangkan langit dan laut, masing-masing bermakna luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan, sama halnya seperti Wisnu.
Dia seringkali tampil dengan dhoti (semacam kemben) berbahan sutra berwarna kuning, melambangkan cahaya yang melenyapkan kegelapan. Kepalanya dihiasi mahkota dengan bulu merak, melambangkan galaksi berwarna-warni dalam kegelapan, atau pusat energi di atas indria. Penggambaran umum biasanya menampilkannya sebagai anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan seruling. Dalam wujud ini, ia biasanya ditampilkan berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Kadangkala ditemani para sapi, menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi (Govinda). Dalam agama Hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan Ibu Pertiwi.
Patung Kresna di Singapura yang menggambarkan adegan dalam Mahabharata, ketika ia menunjukkan wujud aslinya kepada Arjuna, sesaat sebelum perang di Kurukshetra dimulai.
Peran Kresna sebagai kusir kereta Arjuna di medan perang Kurukshetra, seperti yang tergambar dalam wiracarita Mahabharata, adalah subjek umum lain dalam penggambaran Kresna. Dalam hal ini, ia ditampilkan sebagai sosok pria, seringkali dengan karakteristik dewa-dewi dalam kesenian Hindu, misalnya banyak lengan maupun kepala, dan dengan atribut Wisnu, misalnya cakra. Sebagai seorang kusir biasa, ia ditampilkan dengan dua lengan. Lukisan gua dari masa 800 SM di Mirzapur, Uttar Pradesh, India Utara, yang menampilkan pertempuran kusir-kusir kereta kuda, salah satu di antaranya tampak akan melemparkan cakram yang kemungkinan besar dapat dikenali sebagai Kresna.
Penggambaran dalam kuil seringkali menampilkan Kresna sebagai seorang pria yang berdiri tegak, dalam gaya formal. Dapat ditampilkan sendirian, dapat pula dengan figur terkait dengannya: Balarama (Baladewa — kakaknya) dan Subadra (saudari tirinya), atau istrinya yang utama yaitu Rukmini dan Satyabama.
Seringkali Kresna digambarkan bersama dengan kekasihnya dari kaum gopi (wanita pemerah susu), Radha. Sekte Waisnawa di Manipur tidak memuja Kresna saja, tetapi juga aspeknya sebagai Radha Krishna, kombinasi antara Kresna dan Radha. Hal ini juga merupakan karakteristik dari aliran Rudra Sampradaya dan Nimbarka sampradaya,demikian pula aliran kepercayaan Swaminarayan. Tradisi tersebut memuliakan Radha Ramana, yang dipandang oleh pengikut Gaudiya sebagai wujud Radha Krishna.
Kresna juga digambarkan dan dipuja sebagai anak kecil (Balakresna), dengan posisi merangkak atau menari, biasanya dengan mentega di tangannya. Perbedaan di masing-masing daerah tentang penggambaran Kresna dapat teramati dalam wujudnya yang bermacam-macam, misalnya Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan.
Kepustakaan tentang Kresna
Sastra terawal yang secara eksplisit menyediakan deskripsi terperinci tentang Kresna sebagai seorang tokoh adalah kitab Mahabharata. Pada kitab tersebut ia digambarkan sebagai perwujudan Dewa Wisnu. Kresna adalah tokoh yang muncul di berbagai cerita utama dalam wiracarita tersebut. Delapan belas bab dalam jilid Mahabharata keenam (Bismaparwa) merupakan bagian istimewa yang menjadi kitab tersendiri yang disebut Bhagawadgita, mengandung kotbah Kresna kepada Arjuna, sepupunya sendiri, dengan latar belakang sesaat sebelum perang Kurukshetra (Baratayuda) dimulai. Akan tetapi perincian kehidupan Kresna saat kanak-kanak dan remaja tidak terdapat dalam wiracarita tersebut, melainkan dalam Bhagawatapurana, Wisnupurana, Brahmawaiwartapurana, dan Hariwangsa. Kitab Bhagawatapurana dan Wisnupurana diagungkan oleh pengikut Waisnawa, sedangkan Hariwangsa adalah kitab pendukung yang menjelaskan hal yang belum dibahas dalam wiracarita Mahabharata.
Yasoda memandikan Kresna. Ilustrasi dari naskah Bhagawatapurana, sekitar abad ke-16.
Chandogya Upanishad (3:17:6) yang ditulis sekitar masa 900 SM-700 SM menyebut Basudewa Kresna sebagai putra Dewaki dan murid dari Ghora Angirasa, ahli nujum yang mengajari muridnya filsafat Chandogya. Dengan pengaruh filsafat Chandogya, Kresna memberi kotbah kepada Arjuna tentang pengorbanan, yang dapat dibandingkan dengan purusha atau individu.
Nama Kṛṣṇa muncul dalam kitab Buddha dengan ejaan "Kaṇha", secara fonetis sama dengan Kṛṣṇa.
Menurut bukti dari Megasthenes (ahli etnografi Yunani, sekitar 350-290 SM) dan dalam Arthasastra karya Kautilya (400-300 SM), Vāsudeva (Basudewa) dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dalam konsep monoteisme yang kuat.
Sekitar 150 SM, Patanjali dalam kitab Mahabhashya karyanya menulis sebuah sloka sebagai berikut: "Semoga kejayaan Kresna dengan ditemani oleh Sangkarsana meningkat!" Sloka-sloka lainnya disebutkan. Dalam salah satu sloka disebutkan "Janardana bersama dirinya sebagai yang keempat" (Kresna dengan tiga rekannya, ketiganya adalah Sangkarsana, Pradyumna, dan Aniruda). Sloka lainnya menyebut tentang alat musik yang dimainkan saat pertemuan di kuil Rama (Baladewa/Balarama) dan Kesawa (Kresna). Patanjali juga menjelaskan pertunjukkan yang dramatis dan mimetis (Krishna-Kamsopacharam) yang menggambarkan adegan terbunuhnya Kangsa oleh Basudewa (Kresna).
Pada abad ke-1 SM, tampaknya ada bukti pemujaan lima pahlawan bangsa Wresni (Baladewa [Balarama], Kresna, Pradyumna, Aniruda dan Samba) dari sebuah prasasti yang ditemukan di Mora dekat Mathura, India, yang tampaknya menyebutkan tentang putra satrap Rajuwula yang Agung, mungkin satrap Sodasa. Sebuah citra tentang Wresni, mungkin Basudewa, dan "Lima Kesatria". Prasasti Mora bertuliskan aksara Brahmi tersebut kini disimpan di Museum Mathura.
Banyak kitab Purana menceritakan kehidupan Kresna atau beberapa hal penting darinya. Dua Purana, yakni Bhagawatapurana (Srimadbhagawatam) dan Wisnupurana, yang mengandung kisah kehidupan dan ajaran Kresna secara terperinci, adalah kitab yang paling dimuliakan secara teologis oleh aliran Gaudiya Waisnawa. Sekitar seperempat Bhagawatapurana dihabiskan untuk memuji kehidupan dan filsafatnya.
Kehidupan
Riwayat Kresna dapat disimak dalam kitab Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, Brahmawaiwartapurana, dan Wisnupurana. Latar belakang kehidupan Kresna pada masa kanak-kanak dan remaja adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, sementara lokasi kehidupannya sebagai pangeran di Dwaraka sekarang dikenal sebagai negara bagian Gujarat.
Kelahiran
Menurut kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi Hindu, hari kelahiran Kresna yang dikenal sebagai Janmashtami, jatuh pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.
Menurut Itihasa (wiracarita Hindu) dan Purana (mitologi Hindu), Kresna merupakan anggota keluarga bangsawan di Mathura, ibukota kerajaan Surasena di India Utara (kini kawasan Uttar Pradesh). Ia terlahir sebagai putra kedelapan Basudewa (putra Raja Surasena) dan Dewaki (keponakan Raja Ugrasena). Orang tuanya termasuk kaum Yadawa atau keturunan Yadu, putra raja legendaris Yayati. Raja Kangsa, kakak sepupu Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya sendiri ke penjara, yaitu Ugrasena. Pada suatu ketika, ia mendengar ramalan yang menyatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan bahwa mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap putra mereka yang baru lahir untuk dibunuh. Setelah enam putra pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putra ketujuhnya, maka lahirlah Kresna. Karena hidup Kresna terancam bahaya, maka ia diselundupkan keluar penjara oleh Basudewa dan dititipkan pada Nanda dan Yasoda, sahabat Basudewa di Vrindavan. Dua saudaranya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putra ketujuh Dewaki, dipindahkan secara ajaib ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putra dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Menurut kitab Bhagawatapurana, Kresna lahir tanpa hubungan seksual, melainkan melalui "transmisi mental" dari pikiran Basudewa ke rahim Dewaki. Umat Hindu meyakini bahwa pada masa itu, jenis ikatan tersebut dapat dilakukan oleh makhluk-makhluk yang mencapainya. Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Masa kanak-kanak dan remaja
Kresna dibesarkan oleh Nanda dan Yasoda, anggota komunitas penggembala sapi yang ada di Vrindavana. Kisah masa kanak-kanak dan remaja Kresna menceritakan bagaimana ia menjadi seorang penggembala sapi, tingkah nakalnya sebagai makhan chor (pencuri mentega), kegagalan Kangsa dalam membunuhnya, dan perannya sebagai pelindung rakyat Vrindavana. Pada masa kecilnya, Kresna telah melakukan berbagai hal yang menakjubkan. Ia membunuh berbagai raksasa—di antaranya Putana (raksasa wanita), Kesi (raksasa kuda), Agasura (raksasa ular)—yang diutus oleh Kangsa untuk membunuh Kresna. Ia juga menjinakkan naga Kaliya, yang telah meracuni air sungai Yamuna dan menewaskan banyak penggembala. Dalam kesenian Hindu, seringkali Kresna digambarkan sedang menari di atas kepala naga Kaliya yang bertudung banyak. Jejak kaki Kresna memberi perlindungan kepada Kaliya sehingga Garuda—musuh para naga—tidak akan berani menganggunya.
Kresna dipercaya mampu mengangkat bukit Gowardhana untuk melindungi penduduk Vrindavana dari tindakan Indra, pemimpin para dewa yang semena-mena dan mencegah kerusakan lahan hijau Gowardhana. Indra dianggap sudah terlalu besar hati dan marah ketika Kresna menyarankan rakyat Vrindavana untuk merawat hewan dan lingkungan yang telah menyediakan semua kebutuhan mereka, daripada menyembah Indra setiap tahun dengan menghabiskan sumber daya mereka. Gerakan spiritual yang dimulai oleh Kresna memiliki sesuatu di dalamnya yang melawan bentuk ortodoks penyembahan dewa-dewa Weda seperti Indra. Kisah permainannya dengan para gopi (wanita pemerah susu) di Vrindavana, khususnya Radha (putri Wresabanu, salah seorang penduduk asli Vrindavana) dikenal sebagai Rasa lila dan diromantisir dalam puisi karya Jayadeva, penulis Gita Govinda. Hal ini menjadi bagian penting dalam perkembangan tradisi bhakti Kresna yang memuja Radha Krishna.
Sang Pangeran
Kresna beserta Baladewa yang masih muda diundang ke Mathura untuk mengikuti pertandingan gulat yang diselenggarakan Kangsa. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Kresna dengan dalih pertandingan gulat. Setelah mengalahkan para pegulat Kangsa, Kresna menggulingkan kekuasaan Kangsa sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kepada ayah Kangsa, Ugrasena, sebagai raja para Yadawa. Ia juga membebaskan ayah dan ibunya yang dikurung oleh Kangsa. Kemudian ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut.
Kunti—bibi Kresna—menikah dengan Pandu dari kerajaan Kuru dan memiliki tiga putra. Beserta dua putra dari Madri—istri kedua Pandu—kelima putra Pandu disebut Pandawa. Maka dari itu Kresna memiliki hubungan keluarga dengan para Pandawa, dan memiliki hubungan yang istimewa dengan Arjuna, salah satu Pandawa.
Sebelum berdirinya kerajaan Dwaraka, kota Mathura—kediaman keluarga Kresna (Yadawa)—diserbu oleh Jarasanda, Raja Magadha karena dendam pribadi. Penyerbuan tersebut berhasil diredam berkali-kali, namun Jarasanda tidak menyerah. Kemudian Jarasanda dibantu oleh Kalayawana, yang memiliki dendam pribadi terhadap klan Yadawa. Persekutuan tersebut memaksa Kresna mengungsikan para Yadawa ke suatu wilayah di India Barat yang menghadap Laut Arab (pada masa sekarang disebut Gujarat) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana, bernama kerajaan Dwaraka (secara harfiah berarti "kota banyak gerbang"). Setelah Dwaraka didirikan, Kresna mengalahkan Kalayawana dengan suatu jebakan.
Kresna menikahi Rukmini, putri dari kerajaan Widarbha, dengan cara kawin lari. Di tempat lain, Sisupala, sepupu Kresna yang berencana melamar Rukmini menjadi kecewa setelah mengetahui berita tersebut sehingga ia membenci Kresna. Dari pernikahannya dengan Rukmini, Kresna memiliki putra bernama Pradyumna.
Permata Syamantaka
Pada suatu ketika, Satrajit, kerabat jauh Kresna menerima permata Syamantaka dari Dewa Surya. Kresna menyarankan agar permata itu diserahkan kepada Ugrasena—raja kaum Yadawa—namun Satrajit menolaknya. Prasena, saudara Satrajit membawa permata itu saat berburu dan tidak pernah kembali lagi. Satrajit menuduh Kresna telah membunuh Prasena karena menginginkan permata itu. Untuk membersihkan nama baiknya, Kresna melacak jejak Prasena. Akhirnya ia mendapati bahwa Prasena telah dibunuh seekor hewan buas, dan permata Syamantaka tidak ditemukan pada jenazahnya. Ia mengikuti jejak hewan yang membunuh Prasena, hingga mendapati bangkai seekor singa. Ia tidak menemukan permata Syamantaka ada pada bangkai tersebut. Akhirnya ia mengikuti jejak pembunuh singa tersebut, dan sampai di kediaman seekor beruang bernama Jembawan. Di tempat tersebut ia mendapati bahwa permata Syamantaka tersimpan di sana.
Kresna meminta Jembawan menyerahkan permata Syamantaka, namun permintaannya ditolak sehingga mereka berkelahi. Setelah Jembawan menyadari siapa sesungguhnya Kresna, ia menyerah dan menjelaskan bahwa ia mendapatkan permata itu dari seekor singa. Ia pun menyerahkan permata Syamantaka beserta putrinya yang bernama Jambawati untuk dinikahi Kresna. Setelah Kresna kembali dari penyelidikannya, dan menyerahkan Syamantaka kepada Satrajit, maka Satrajit merasa malu karena sudah berprasangka buruk terhadap Kresna. Untuk memperbaiki hubungan di antara mereka, ia menikahkan putrinya yang bernama Satyabama kepada Kresna.
Para istri Kresna
Dalam kitab Bhagawatapurana diceritakan bahwa Narakasura dari kerajaan Pragjyotisha mengalahkan Indra, pemimpin para dewa. Indra mengadukan hal tersebut kepada Kresna sehingga Kresna menyerbu Pragjyotisha dengan angkatan perangnya. Kresna berhasil mengalahkan Narakasura dan membebaskan 16.100 putri yang ditawan oleh Narakasura. Menurut kitab Bhagawatapurana, Kresna menikahi 16.108 putri, dan delapan di antaranya adalah yang terkemuka dan disebut dengan istilah Ashta Bharya — yaitu Rukmini, Satyabama, Jambawati, Kalindi, Mitrawrinda, Nagnajiti, Badra dan Laksana. Kresna menikahi 16.100 putri lainnya, yang merupakan tawanan raksasa Narakasura, untuk mengembalikan kehormatan mereka. Kresna berjasa karena membunuh raksasa tersebut dan membebaskan mereka. Menurut adat sosial yang ketat pada masa itu, seluruh wanita tawanan memiliki martabat rendah, dan tidak memungkinkan untuk menikah, karena mereka di bawah kendali Narakasura. Akan tetapi Kresna menikahi mereka untuk mengembalikan status mereka di masyarakat. Pernikahan dengan 16.100 putri tawanan tersebut kurang lebih merupakan rehabilitasi wanita massal. Dalam tradisi Waisnawa, dipercaya bahwa para istri Kresna merupakan manifestasi Dewi Laksmi—pasangan Dewa Wisnu—atau merupakan jiwa istimewa yang melewati kualifikasi setelah menghabiskan banyak masa hidup dalam tapasya, sedangkan Satyabama, merupakan ekspansi dari Radha.
Upacara Rajasuya
Dalam kitab Mahabharata, Yudistira, sepupu Kresna dari kerajaan Kuru ingin mengadakan upacara Rajasuya. Atas saran Kresna, ia mengerahkan saudara-saudaranya (para Pandawa) untuk menaklukkan para raja di Bharatawarsha (India). Di antara para raja, yang sulit ditaklukkan adalah Jarasanda, raja Magadha. Bima—salah satu Pandawa—menantangnya untuk bertarung dengan gada. Mereka bertarung selama 27 hari. Setiap kali matahari terbenam, mereka beristirahat untuk melanjutkan pertarungan pada hari berikutnya. Jarasanda sulit dibunuh. Pada hari ke-28, atas petunjuk Kresna, Bima membelah tubuh Jarasanda menjadi dua bagian (kanan-kiri), dan melemparkannya ke arah berlawanan. Dengan demikian, Jarasanda dapat dibunuh.
Setelah Jarasanda dikalahkan, upacara Rajasuya diselenggarakan oleh Yudistira dan para raja yang ditaklukkannya diundang untuk menghadirinya. Untuk menghormati para undangannya, Yudistira memutuskan untuk memberi hadiah kepada orang-orang yang paling utama di antara mereka. Ia meminta saran Bisma, kakeknya untuk menentukan siapa yang berhak diberikan hadiah terlebih dahulu. Bisma menyarankan agar hadiah diberikan kepada Kresna, dan Yudistira pun menyetujuinya. Akan tetapi, keputusan tersebut ditolak oleh Sisupala. Sisupala menghina Kresna secara bertubi-tubi, namun Kresna tetap bersabar. Sesuai janji Kresna kepada ibu Sisupala, ia tidak akan membunuh Sisupala kecuali bila makian yang diterimanya dari Sisupala sudah lebih dari seratus kali. Setelah Sisupala menghina Kresna lebih dari seratus kali, Kresna mengeluarkan senjata cakranya kemudian memenggal kepala Sisupala. Menurut legenda, Sisupala—beserta Dantawaktra, rekannya—adalah reinkarnasi Jaya dan Wijaya, penjaga pintu gerbang Waikuntha, kediaman Wisnu. Karena melarang Catursana memasuki Waikuntha, mereka dihukum untuk turun ke bumi, dan atas keinginan mereka sendiri, mereka dilahirkan sebagai musuh Wisnu dan dibunuh oleh Wisnu sendiri. Tindakan Kresna (sebagai awatara Wisnu) membunuh Sisupala telah membebaskan jiwa Sisupala dari reinkarnasi yang harus dialaminya sehingga jiwanya kembali menuju Waikuntha.
Baratayuda dan Bhagawadgita
Perselisihan antara para Pandawa dan Korawa—sepupu mereka—dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para Pandawa atas sikap para Korawa yang menghalalkan segala cara agar tahta kerajaan Kuru tidak jatuh ke tangan Yudistira—yang tersulung di antara Pandawa—sebagai putra mahkota tertua. Kresna bertindak sebagai juru damai, namun upaya perundingan gagal karena para Korawa—yang dipimpin Duryodana—tidak mau mengalah. Di samping itu, Duryodana senantiasa dihasut oleh pamannya, Sangkuni.
Saat keputusan perang tidak terelakkan lagi, hampir seluruh raja di Bharatawarsha (India) diminta untuk berpartisipasi, dan akhirnya semuanya menjadi dua pihak, yaitu pihak Pandawa dan Korawa. Kresna menawarkan kesempatan kepada dua pihak untuk memilih pasukannya atau dirinya sendiri, namun dengan kondisi tidak membawa senjata apapun. Arjuna yang mewakili Pandawa memilih agar Kresna berada di pihaknya, sedangkan Duryodana—pemimpin para Korawa—memilih pasukan Kresna. Saat tiba waktunya untuk berperang, Kresna bertindak sebagai kusir kereta perang Arjuna, karena sesuai dengan perjanjian bahwa ia tidak akan membawa senjata apapun.
Saat meninjau angkatan perang dan mengamati pihak yang akan berperang, Arjuna menjadi ragu setelah menyaksikan keluarga, sepupu, kerabat, serta kawan-kawan yang dicintainya bersiap-siap untuk membunuh satu sama lain. Kemudian Kresna menasihati Arjuna tentang perang yang akan dihadapinya. Percakapan tersebut meluas menjadi suatu wacana dan menjadi kitab tersendiri, dikenal sebagai Bhagawadgita 'Kidung Ilahi'. Dalam Bhagawadgita, Kresna menguraikan ajaran Iswara (ketuhanan), jiwa, dharma (kewajiban), prakerti (alam semesta), dan kala (waktu). Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang terkenal adalah:
“ Kapanpun dan dimanapun kebajikan merosot, dan kejahatan merajalela, pada saat itulah aku menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir dari zaman ke zaman. (Bhagawadgita, 4:7–8) ”
Saat Yudistira merasa tertekan atas kekalahan yang diterima pihaknya pada hari pertama, Kresna tetap optimis bahwa kemenangan sudah pasti akan diraih Yudistira karena ia bertindak di jalan yang benar dan telah mendapat restu dari Bisma—kakeknya sendiri, sekaligus kesatria tua yang harus dihadapinya dalam perang itu—sesaat sebelum perang dimulai. Seperti halnya Kresna, Bisma juga berkata bahwa kemenangan pasti akan diraih Yudistira dan ia mendoakan cucunya itu agar mencapai kejayaan, meskipun mereka harus saling menyerang dalam perang.
Seringkali Kresna meminta Arjuna agar segera mengalahkan Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Keraguan Arjuna membuat Kresna marah sehingga ia mencopot roda keretanya sebagai pengganti cakram untuk membunuh Bisma. Akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh Arjuna yang berjanji bahwa ia akan mengalahkan kesatria tua tersebut pada hari berikutnya. Setelah para Pandawa mengetahui kelemahan Bisma, pada hari berikutnya, Kresna menginstruksikan Srikandi, putra Raja Drupada agar menghadapi Bisma, dengan ditemani oleh Arjuna. Bisma, yang merasa bahwa Srikandi telah dilahirkan untuk membunuhnya, sulit menghindari serangan Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi. Akhirnya Bisma dikalahkan pada hari kesepuluh.
Kresna juga membantu Arjuna dalam membunuh Jayadrata, kesatria Korawa yang menahan para Pandawa dalam usaha menyelamatkan Abimanyu—putra Arjuna—yang terkurung dalam formasi Cakrabyuha dan terbunuh oleh serangan serentak yang dilancarkan delapan kesatria Korawa. Kresna juga meruntuhkan semangat Drona—komandan tentara Korawa, pengganti Bisma—setelah ia memberi isyarat pada Bima untuk membunuh seekor gajah perang bernama Aswatama, nama yang serupa dengan nama putra semata wayang Drona. Pandawa berteriak bahwa Aswatama mati, namun Drona enggan mempercayainya sebelum ia mendengar langsung dari Yudistira yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah berbohong. Kresna tahu bahwa Yudistira tidak akan berdusta, maka ia mengatur siasat agar Yudistira tidak berbohong namun Drona menganggap putranya telah gugur. Saat ditanya oleh Drona, Yudistira berkata, "Aswatama mati. Entah gajah, entah manusia." Tetapi setelah Yudistira mengucapkan kalimat pertama, tentara Pandawa yang telah diperintah oleh Kresna segera membuat kegaduhan dengan membunyikan genderang perang dan sangkakala, sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang diucapkan Yudistira dan percaya bahwa putranya telah gugur. Setelah dilanda dukacita, Drona meletakkan senjatanya, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Drestadyumna untuk memenggal kepalanya.
Saat Arjuna bertarung melawan Karna, roda kereta Karna terperosok ke dalam genangan lumpur. Saat Karna mencoba mengangkat keretanya dari lumpur, Kresna mengingatkan Arjuna tentang tindakan Karna dan Korawa lainnya yang telah melanggar peraturan dalam peperangan saat menyerang dan membunuh Abimanyu secara serentak, dan ia meyakinkan Arjuna untuk menempuh cara yang sama untuk membunuh Karna. Maka Arjuna memenggal kepala Karna saat kesatria itu sedang berusaha mengangkat keretanya dari lumpur.
Menjelang hari puncak peperangan, Duryodana menemui Gandari, ibunya untuk meminta anugerah agar seluruh tubuhnya kebal dari segala serangan. Untuk itu, ia harus datang dalam keadaan telanjang bulat. Kresna mengolok-oloknya sehingga ia menjadi malu. Ia memutuskan untuk menutupi selangkangannya dengan kulit pisang saat menemui ibunya. Setelah Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya dan mencurahkan kekuatan dari matanya ke tubuh Duryodana, tetapi ia kecewa setelah mengetahui bahwa Duryodana menutupi selangkangan dan paha sehingga daerah itu tidak akan kebal. Ketika Duryodana bertarung dengan Bima, serangan Bima tidak berpengaruh bagi Duryodana. Untuk menyelesaikannya, Kresna mengingatkan Bima akan janjinya untuk membunuh Duryodana dengan cara memukul pahanya. Bima pun melakukannya, meskipun melanggar peraturan (mengingat bahwa Duryodana sendiri telah melanggar dharma pada perbuatannya pada masa lalu). Dengan demikian, strategi Kresna telah membantu Pandawa memenangkan perang dengan menjatuhkan seluruh pemimpin tentara Korawa, tanpa perlu mengangkat senjatanya. Ia juga menghidupkan kembali Parikesit, cucu Arjuna yang diserang dengan senjata Brahmastra oleh Aswatama saat berada di dalam janin ibunya. Di kemudian hari, Parikesit menjadi penerus Pandawa.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah perang usai, Yudistira diangkat sebagai Raja Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia memerintah selama 36 tahun. Sementara itu Kresna tinggal bersama kaumnya di Dwaraka. Karena Samba—putra Kresna—dan beberapa pemuda Yadawa telah mengolok-olok para resi yang mengunjungi Dwaraka, maka kaum Yadawa dikutuk agar hancur dengan menggunakan senjata gada yang dikeluarkan dari perut Samba. Atas perintah Ugrasena, senjata tersebut dihancurkan hingga menjadi debu lalu dibuang ke laut. Debu tersebut hanyut ke tepi pantai Prabasha dan tumbuh menjadi semacam tanaman rumput, disebut eruka.
Pada suatu perayaan, kaum Yadawa mengunjungi Prabasha dan berpesta pora di sana. Karena pengaruh minuman keras, mereka mabuk dan saling hantam. Perkelahian pun berubah menjadi pembunuhan masal. Saat menyaksikan kaumnya saling bunuh, Kresna menggenggam rumput eruka dan melemparkannya ke tengah percekcokan tersebut yang mengakibatkan ledakan hebat sehingga membunuh hampir seluruh kaum Yadawa yang ada di sana. Setelah kehancuran kaumnya, Baladewa meninggalkan tubuhnya dengan cara melakukan Yoga. Sementara itu, Kresna memasuki hutan dan duduk di bawah pohon untuk bermeditasi. Mahabharata menyatakan bahwa seorang pemburu bernama Jara mengira sebagian kaki kiri Kresna yang tampak sebagai seekor rusa sehingga ia menembakkan panahnya, menyebabkan Kresna terluka secara fana, sampai berujung ke kematiannya. Saat jiwa Kresna mencapai surga, tubuhnya dikremasi oleh Arjuna.
Menurut sumber-sumber dari Purana, kepergian Kresna menandai akhir zaman Dwaparayuga dan dimulainya Kaliyuga, yang dihitung jatuh pada tanggal 17/18 Februari 3102 SM.Para guru aliran Waisnawa, misalnya Ramanuja dan aliran Gaudiya Waishnawa memandang bahwa tubuh Kresna seutuhnya merupakan tubuh spiritual sehingga tidak akan pernah membusuk karena hal ini tampaknya merupakan perspektif dalam Bhagawatapurana. Kresna tidak pernah disebut menua atau menjadi uzur dalam penggambaran secara historis dalam berbagai Purana, meskipun telah melewati beberapa dasawarsa, tetapi ada alasan untuk sebuah perdebatan apakah ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki tubuh material, karena pertempuran dan deskripsi lain dari wiracarita Mahabharata jelas menunjukkan indikasi bahwa ia tampaknya tunduk pada keterbatasan alam. Sementara kisah pertempuran tampaknya menunjukkan keterbatasan, Mahabharatha juga menceritakan berbagai kisah saat Kresna tidak tunduk pada keterbatasan, seperti cerita ketika Duryodana mencoba untuk menangkap Kresna namun tubuhnya memancarkan api yang menunjukkan semua ciptaan ada dalam dirinya.
Pemujaan
Aliran Waisnawa
Pemujaan terhadap Kresna merupakan suatu bagian dari aliran Waisnawa (Waisnawisme), aliran agama Hindu yang menganggap Wisnu sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dan memuliakan berbagai awatara (penjelmaan) yang terkait dengannya, termasuk pasangan (sakti/dewi) dewa itu sendiri, serta orang suci maupun guru yang menyebarkan ajarannya. Secara istimewa Kresna dipandang sebagai penjelmaan Wisnu seutuhnya, atau sebagai wujud Wisnu itu sendiri. Bagaimanapun juga, hubungan yang pasti antara Kresna dan Wisnu terasa kompleks dan bermacam-macam. Kadangkala Kresna dianggap sebagai dewa tersendiri, yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ketergantungan. Di antara berbagai macam dewa, Kresna sangat penting, dan tradisi dalam garis perguruan Waisnawa biasanya terpusat kepada Wisnu maupun Kresna, sebagai dewa yang dipuja. Istilah Kresnaisme digunakan untuk meyebut sekte pemuja Kresna, sementara istilah Waisnawisme untuk sekte yang terpusat kepada Wisnu dan Kresna dianggap sebagai awatara, daripada Tuhan Yang Mahakuasa.
Seluruh tradisi Waisnawa menganggap Kresna merupakan awatara Wisnu; kadangkala Kresna disamakan dengan Wisnu; sementara beberapa tradisi lainnya, misalnya Gaudiya Waisnawa, Wallabha Sampradaya dan Nimbarka Sampradaya, menganggap Kresna sebagai Swayam Bhagawan, wujud asli Tuhan, atau Tuhan itu sendiri. Swaminarayan, pendiri aliran Swaminarayana Sampradaya juga memuja Kresna sebagai Tuhan. "Kresnaisme Raya" (Greater Krishnaism) merupakan bentuk Waisnawa yang kedua atau dominan, berkisar antara penyembahan Basudewa, Kresna, dan Gopala pada Zaman Weda Akhir. Di masa sekarang kepercayaan tersebut memiliki pengikut yang cukup banyak, termasuk di luar India.
Tradisi awal
Secara historis, Dewa Kresna Basudewa (kṛṣṇa vāsudeva "Kresna, putra Basudewa") merupakan salah satu bentuk pemujaan tertua dalam aliran Kresnaisme dan Waisnawa. Dipercaya bahwa pemujaan tersebut merupakan tradisi penting pada sejarah awal pemujaan Kresna di zaman kuno. Tradisi ini dianggap sebagai yang terawal di antara tradisi lainnya yang kemudian bergabung pada tahap selanjutnya dalam perkembangan sejarah. Tradisi lainnya meliputi Bhagawatisme dan penyembahan Gopala, yang bersama penyembahan Balakresna (Bala-Krishna) membentuk dasar tradisi pemujaan yang terpusat pada Kresna pada masa sekarang. Beberapa ahli kuno akan menyamakannya dengan Bhagawatisme, dan dipercaya bahwa pendiri tradisi religius ini adalah Kresna, yang merupakan putra Basudewa, sehingga namanya adalah Bāsudewa (Vāsudeva), termasuk ke dalam anggota suku Satvata, dan pegikutnya menyebut diri mereka sendiri sebagai "Kaum Bhagawata" dan agama ini terbentuk pada abad ke-2 SM (zaman Resi Patanjali), atau sekurang-kurangnya pada abad ke-4 SM menurut bukti-bukti Megasthenes dan dalam kitab Arthasastra karya Kautilya, ketika Bāsudewa dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara monoteistik yang kuat, dimana Yang Mahakuasa adalah sempurna, kekal, dan penuh karunia. Dalam berbagai sumber di luar pemujaan, pemuja atau bhakta dianggap sebagai Basudewaka (Vāsudevaka).Kitab Hariwangsa menggambarkan hubungan yang rumit antara Kresna Basudewa, Sangkarsana, Pradyumna dan Aniruda yang kemudian akan membentuk konsep Waisnawa tentang empat manifestasi yang utama, atau awatara.
Tradisi Dewi Nurmayasari BhaktiBhakti berarti ketaatan, yang tidak terbatas pada satu dewa saja. Akan tetapi Kresna merupakan dewa yang penting dan populer dalam aspek kebaktian dan sukacita dalam agama Hindu, khususnya di antara sekte-sekte Waisnawa. Penyembah Kresna menganut konsep lila, yang berarti 'sandiwara ilahi', sebagai prinsip pokok di Alam Semesta. Para lila Kresna, dengan ungkapan kasih sayang mereka yang melampaui batas-batas cara penghormatan secara resmi, berfungsi sebagai pengiring aksi-kasi yang dilakukan awatara Wisnu lainnya: Rama.
Gerakan Bhakti yang menyembah Kresna menjadi terkemuka di India Selatan selama abad ke-7 sampai ke-9 Masehi. Karya-karya tertua meliputi syair-syair yang ditulis para Alvar (orang suci) di negara-negara berbahasa Tamil. Kumpulan utama dari karya-karya mereka adalah Divya Prabandham. Kumpulan lagu terkenal karya Alvar Andal yaitu Tiruppavai, saat ia membayangkan dirinya sebagai seorang gopi (wanita pemerah susu), adalah karya terkenal di antara karya-karya tertua dalam genre ini.Mukundamala karya Kulasekaraazhvaar adalah karya terkenal lainnya pada masanya.
Penyebaran Gerakan Bhakti Kresna
Gerakan Bhakti menyebar secara cepat dari India Utara ke Selatan, dengan syair berbahasa Sanskerta Gita Govinda karya Jayadeva (abad ke-12 M) sebagai pertanda karya sastra dalam pemujaan Kresna. Syair tersebut menguraikan legenda Kresna tentang gopi istimewa yang menjadi kekasihnya, yakni Radha, yang kurang dibahas dalam kitab Bhagawatapurana, namun dibahas sebagai tokoh penting dalam kitab lainnya, misalnya Brahmawaiwartapurana. Dengan pengaruh Gita Govinda, Radha menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam pemujaan Kresna.
Saat sebagian masyarakat terpelajar yang fasih dalam bahasa Sanskerta bisa menikmati karya-karya seperti Gita Govinda atau Krishna-Karnamritam karya Bilwanggala, massa juga menyanyikan lagu-lagu lain karya penyair pemuja Kresna, yang terdiri dalam berbagai bahasa daerah di India. Lagu-lagu ini mencerminkan pengabdian pribadi yang kuat yang ditulis oleh pemuja Kresna dari seluruh lapisan masyarakat. Lagu-lagu karya Meera dan Surdas menjadi pertanda dari penyembahan Kresna di India Utara.
Pada abad ke-11 Masehi, aliran Waisnawa Bhakti dengan kerangka teologi yang rumit tentang penyembahan Kresna didirikan di India Utara. Nimbarka (abad ke-11 M), Wallabhacharya (abad ke-15 M) dan Caitanya Mahaprabhu (abad ke-16 M) adalah pendiri aliran yang paling berpengaruh. Aliran-aliran ini, yaitu Nimbarka Sampradaya, Wallabha Sampradaya dan Gaudiya Waisnawa, memandang Kresna sebagai dewa tertinggi, bukan awatara, seperti pada umumnya.
Di Deccan, khususnya di Maharashtra, penyair dari sekte Varkari seperti Dnyaneshwar, Namdev, Janabai, Eknath dan Tukaram mempromosikan pemujaan Witoba, wujud Kresna di daerah tertentu, dari awal abad ke-13 sampai akhir abad ke-18. Di India Selatan, Purandara Dasa dan Kanakadasa dari Karnataka menggubah lagu yang didedikasikan untuk citra Kresna di Udupi. Rupa Goswami dari aliran Gaudiya Waisnawa, telah menyusun ringkasan umum tentang bhakti yang disebut Bhakti-rasamrita-sindhu.
Di Dunia Barat
Sejak tahun 1966, Gerakan Bhakti Kresna telah menyebar keluar India. Penyebab utamanya adalah misi yang dilakukan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON), lebih dikenal sebagai Gerakan Hare Krishna. Gerakan tersebut didirikan oleh Bhaktivedanta Swami Prabhupada, yang diinstruksikan oleh guru Beliau, Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura, untuk menulis tentang Kresna dalam bahasa Inggris dan menyebarkan filsafat Gaudiya Waisnawa kepada masyarakat di Dunia Barat.
Dalam kesenian
Dalam mendiskusikan asal mula seni pertunjukkan India, Horwitz menyinggung adanya kisah tentang Kresna dalam Mahabhashya karya Patanjali (sekitar 150 SM), yaitu saat episode terbunuhnya Kangsa (Kamsa Vadha) dan "pengikatan raksasa penyerbu surga" (Bali Bandha) dijelaskan. Balacharitam dan Dutavakyam karya Bhasa (sekitar 400 SM) adalah lakon berbahasa Sanskerta yang terpusat pada Kresna. Mulanya hanya pembeberan masa kecilnya, dan kemudian lakon satu babak yang berdasarkan satu episode dalam Mahabharata, saat Kresna berusaha mendamaikan dua sepupu yang bertikai.
Sejak abad ke-10 M, dengan berkembangnya Gerakan Bhakti, Kresna menjadi subjek favorit dalam kesenian. Lagu-lagu Gita Govinda menjadi terkenal di antero India, dan terdapat banyak imitasi. Lagu tersebut disusun oleh penyair gerakan Bhakti, dimasukkan ke dalam kelompok lagu rakyat maupun klasik.
Dalam legenda Hindu, tarian yang dilakukan Kresna bersama kekasihnya, Radha, dan para gadis pemerah susu dikenal sebagai "Rasa lila", atau "Tarian Kasih Sayang Ilahi". Rasa lila menjadi tema populer dalam tari Bharatanatyam, Odissi dan Kuchipudi. Rasa lila menjadi bentuk seni pertunjukkan rakyat populer di Mathura, Vrindavan di Uttar Pradesh, khususnya selama hari raya Krishna Janmashtami dan Holi, dan di antara berbagai pengikut Gaudiya Waisnawa di wilayah tersebut. Rasa lila juga dihormati sebagai salah satu Fetival Nasional di Assam. Dalam kitab Bhagawatapurana dinyatakan bahwa siapapun yang mendengarkan atau menggambarkan Rasa lila dengan penuh keyakinan maka akan mencapai "pengabdian atas rasa cinta sejati" dari Kresna (Suddha-bhakti).
Tarian Sattriya, yang diciptakan oleh tokoh suci Waisnawa dari Assam, Sankardeva, memuliakan kebajikan dari Kresna. Pada Abad Pertengahan, di Maharashtra tercipta suatu bentuk seni bercerita yang dikenal sebagai Hari-Katha, yang menceritakan kisah-kisah dan ajaran Waisnawa melalui musik, tarian, dan urutan narasi, dan kisah tentang Kresna adalah salah satu bagiannya. Tradisi ini berkembang hingga ke Tamil Nadu dan negara bagian India lainnya di sebelah selatan, dan kini populer di seluruh India.
Krishnalila Tarangini karya Narayana Tirtha (abad ke-17 M) yang menyediakan unsur-unsur dari lakon musikal Bhagavata-Mela menceritakan kisah Kresna semenjak lahir hingga pernikahannya dengan Rukmini. Tyagaraja (abad ke-18 M) menulis beberapa karya yang sama tentang Kresna, disebut Nauka-Charitam. Penuturan Kresna dari berbagai Purana dipentaskan dalam Yakshagana, seni pertunjukkan asli dari daerah Karnataka, India. Banyak film dalam berbagai bahasa di India telah dibuat berdasarkan cerita ini.
Adaptasi dalam budaya Indonesia
Wiracarita Mahabharata, yang memuat sebagian riwayat Kresna, terdiri dari delapan belas buku yang disebut Astadasaparwa (18 parwa). Wiracarita tersebut tidak hanya terkenal di Asia Selatan, namun juga menyebar ke Asia Tenggara, antara lain Indonesia. Di Indonesia, beberapa bagiannya, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kediri. Pada masa itu, dikenal pula proyek penerjemahan dengan istilah "mangjawakěn byāsamata", yang bermakna membuat latar dalam cerita tersebut seolah-olah di pulau Jawa.
Wayang Kresna dalam seni pewayangan Bali, yang digambarkan sebagai sosok raja berkulit hijau.
Di Indonesia, kisah Kresna yang bersumber dari Mahabharata, Hariwangsa, maupun Purana telah diadaptasi lalu digubah menjadi kakawin, antara lain Kakawin Kresnayana dan Kakawin Hariwangsa. Keduanya menceritakan kisah pernikahan Kresna dengan Rukmini, putri dari kerajaan Widarba. Selain itu, terdapat pula Kakawin Bhomantaka, yang menceritakan perang antara Kresna dengan raksasa Bhoma.
Di Indonesia, Mahabharata juga diangkat ke dalam pertunjukkan wayang, dengan adaptasi dan perubahan seperlunya. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati (Dwaraka), kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Raja Mandura (Mathura). Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara (dalam versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan). Kakaknya bernama Baladewa (Balarama, alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Sembadra (Subadra), yang dinikahi oleh Arjuna, sepupunya dari pihak ibu. Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Menurut pewayangan, anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.
Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, beliau berperan sebagai sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".
Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.
Dalam agama lain
Jainisme
Menurut ajaran Jainisme, terdapat tiga serangkai, yaitu seseorang yang bergelar Basudewa bersama kakaknya yang bergelar Baladewa, dan musuh mereka yang bergelar Pratibasudewa. Tiga serangkai tersebut lahir pada setiap zaman dan dengan nama yang berbeda-beda. Baladewa adalah penegak prinsip Jainisme tentang tindak tanpa kekerasan. Akan tetapi, Basudewa harus mengabaikan prinsip itu untuk membunuh Pratibasudewa demi menyelamatkan dunia. Kemudian Basudewa harus turun ke Naraka (dunia bawah) sebagai hukuman atas tindak kekerasan yang dilakukannya. Setelah menjalani hukuman, ia dilahirkan sebagai seorang Tirthankara.
Dalam daftar 63 Shalakapursha atau tokoh termasyhur Jainisme, termasuk di antaranya adalah 24 Tirthankara dan 9 tiga serangkai tersebut. Salah satu tiga serangkai tersebut adalah Kresna sebagai Basudewa, Balarama sebagai Baladewa, dan Jarasanda sebagai Pratibasudewa. Menurut Jainisme, ia merupakan sepupu Neminatha, Tirthankara ke-22. Kisah-kisah tiga serangkai tersebut dapat disimak dalam Hariwangsa karya Jinasena (bukan kitab Hariwangsa pendukung Mahabharata) dan Trishashti-shalakapurusha-charita karya Hemachandra.
Agama Buddha
Kisah Kresna muncul dalam cerita Jataka dalam agama Buddha, terutama dalam Ghatapandita Jataka, sebagai seorang pangeran dan penakluk legendaris dan Raja India. Dalam versi agama Buddha, Kresna disebut Basudewa, Kanha dan Kesawa, dan Balarama merupakan adiknya, disebut pula Baladewa. Detailnya menyerupai cerita yang dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Basudewa, beserta sembilan saudaranya yang lain (semuanya merupakan pegulat yang kuat) beserta kakak perempuannya (Anjana) merebut seluruh Jambudwipa (India) setelah memenggal paman mereka yang dianggap kejam, yakni Raja Kangsa, kemudian seluruh raja di Jambudwipa dengan menggunakan Cakra Sudarsana miliknya. Sebagian besar cerita yang memuat kekalahan Kangsa mengikuti cerita yang terkandung dalam Bhagawatapurana.
Seperti yang diceritakan dalam Mahabharata, semua saudaranya pada akhirnya tewas karena kutukan Resi Kanhadipayana (Byasa), juga dikenal sebagai Kresna Dwipayana). Kresna sendiri tertusuk oleh senjata pemburu karena suatu kesalahpahaman, meninggalkan Anjanadewi, satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Setelah itu, riwayatnya tidak disebutkan lagi.
Karena Jataka merupakan cerita yang diberikan menurut sudut pandang Buddha Gautama di kehidupan sebelumnya (serta kehidupan sebelumnya dari para pengikut Buddha), maka kisah Kresna pun dianggap sebagai salah satu kehidupan Sariputra, salah satu murid Buddha yang terkemuka, dan "Dhammasenapati" atau "Panglima Dharma" dan biasanya digambarkan sebagai "tangan kanan" Buddha dalam kesenian dan ikonografi Buddha. Sang Bodhisattva, yang lahir dalam cerita ini sebagai salah satu adiknya bernama Ghatapandita, menyelamatkan Kresna dari dukacita karena kehilangan putranya. Kresna sebagai manifestasi kebijaksanaan dan tukang kelakar yang disayangi juga disertakan dalam panteon agama Buddha di Jepang.
Agama Bahá'í
Umat Bahá'í meyakini bahwa Kresna adalah seorang "Manifestasi Tuhan", atau salah seorang dalam rangkaian para nabi yang telah mengungkapkan Firman Tuhan untuk umat manusia pada waktunya. Maka dari itu, Kresna berada pada posisi yang mulia bersama Nabi Ibrahim, Musa, Zarathustra, Buddha, Muhammad, Yesus Kristus, Sang Báb, dan pendiri agama Bahá'í, Bahá'u'lláh.
Ahmadiyyah
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyyah yang mengakui Kresna sebagai seorang Nabi.
Di Asia Selatan, anggota komunitas Ahmadiyyah meyakini Kresna sebagai utusan Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh pendiri aliran tersebut, Mirza Ghulam Ahmad. Ghulam Ahmad juga mengaku memiliki kesamaan dengan Kresna sebagai pembangkit agama dan moralitas di zaman modern yang misinya adalah mendamaikan umat manusia dengan Tuhan. Pengikut Ahmadiyyah mempertahankan istilah avatar (awatara) yang dianggap sama dengan istilah "nabi" dalam tradisi agama di Timur Tengah sebagai campur tangan Tuhan dengan manusia; seperti Tuhan yang menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam Kuliah Sialkot, Ghulam Ahmad menulis:
Jelaslah bahwa Raja Krishna, sesuai dengan apa yang telah diwahyukan kepadaku, adalah orang yang benar-benar agung yang sulit untuk menemukan orang sepertinya di antara para Resi dan Awatara dalam Hindu. Dia adalah seorang Awatara — yaitu, Nabi — besar pada masanya yang kepadanya Roh Kudus turun dari Tuhan. Dia berasal dari Tuhan, jaya dan sejahtera. Ia membersihkan tanah Arya dari dosa dan ternyata Nabi pada zamannya yang kemudian ajarannya diubah dalam berbagai cara. Dia penuh kasih kepada Tuhan, seorang teman kebajikan dan musuh kejahatan.
Lainnya
Pemujaan atau penghormatan kepada Kresna telah diangkat dalam berbagai gerakan keagamaan baru sejak abad ke-19, dan kadang-kadang diikutsertakan dalam panteon eklektik dalam kitab-kitab okultisme, bersama tokoh-tokoh dari mitologi Yunani, Buddha, Alkitab, dan bahkan tokoh sejarah.
Sebagai contoh, Édouard Schuré, tokoh berpengaruh dalam filsafat abadi dan gerakan okultisme, menganggap Kresna sebagai Inisiasi Agung; sementara itu para ahli teosofi menghormati Kresna sebagai inkarnasi Maitreya (salah satu dari para Ahli Kebijaksanaan Kuno), guru spiritual umat manusia yang terpenting setelah Buddha. Kresna dikanonisasi oleh Aleister Crowley dan dihormati sebagai orang suci dalam Misa Gnostik dari Ordo Kuil Timur.


Terowongan Rahasia

Terowongan Rahasia


Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan aneka perkakas yang sudah kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman. Bersamaan dengan itu, datanglah rombongan petapa yang sengaja mampir untuk meminta makanan. Jumlahnya enam orang lima orang putra dan satu orang putri. Kedatangannya disambut hangat oleh para Pandawa, mereka dipersilakan menikmati makanan yang masih terhidang dengan leluasa.
Sementara itu Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa telah gagal melaksanakan tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut berpesta tersebut hanya untuk membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-pura ikut makan dan minum sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing untuk ikut makan dan minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga dengan mudah Sengkuni dapat melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale Sigala-gala beserta Kunthi dan para Pandhawa
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak dapat menahan diri. Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi mabuk Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak sadar telah menghambat rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang diprakarsai oleh Patih Sengkuni. Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu mereka yang mabuk sadar kembali. Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai fajar mulai merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih utuh berdiri.
Maka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi dan anak-anaknya, Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar yang lain, memapah keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua warga Kurawa dan beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh dari Bale Sigala-gala, Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk beristirahat dan tidur di ruang yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang pesta, menyusul Bimasena, Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali di lantai, tidak seberapa jauh dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat kecapaian. Dewi Kunthi menyapa lembut, dengan tanpa mengharap balasan. “Selamat malam sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Yang mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekatnya Yamawidura yang ahli membuat terowongan, bernama Kanana. Ada apa dengan Kanana?
Dengan wajah serius Kanana memohon agar diberi kesempatan menjelaskan hal rahasia dengan tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan sekali, mereka memusatkan perhatian dan pandangannya pada Kanana yang akan membeberkan hal penting penuh rahasia.
“Mohon maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, sewaktu bencana yang di kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu terowongan itu.
Kunthi dan para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah dibuka oleh Kanana ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke pintu terowongan. “Jika terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas dengan cepat merambat ke seluruh tubuh mereka.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!
Kunthi teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu ruangan ini. Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah dikancing dari luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa” Kunthi berusaha untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut oleh Bimasena dan bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya dipastikan telah masuk terowongan


MAHABARATA Detik-Detik menjelang Tragedi

MAHABARATA Detik-Detik menjelang Tragedi


Dalam rencana Bale Sigala-gala ini Drona yang menjadi guru besar warga Kurawa dan Pandawa tidak dilibatkan oleh Patih Sengkuni
Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian, kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini, para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale Sigala-gala nanti sore. bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.
Lain yang dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu, Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”
Dihantar oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan Panggombakan.
Sejak pagi Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum. Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.
Namun tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!! Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh orang yang tak berdosa.”
Puruncona merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di Hastinapura.
Ketika sayup terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi, karena takut diketahui oleh Patih Sengkuna dan warga Kurawa.
Sejak Kanana menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh menyambut mereka.
Keramahtamahan Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.
Pesta itu sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta, menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili, mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti penuh variasi.
Suasana gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak mendapat perhatian.
Keadaan menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.
Jika semula pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.

Sengkuni menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk, ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.
MAHABARATA Bale Sigala-gala

MAHABARATA Bale Sigala-gala


Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak ada dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan Bimasena telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai telah menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta Rasakundha kepada dirinya.
Prabu Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang disembunyikan Bimasena, maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada kesempatan tersebut, Sang Prabu Destarastra melampiaskan amarahnya kepada Sengkuni.
“Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah raja Hastinapura.”
“Ampun Sang Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking banyaknya minum tuak, Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para perajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai dengan hari ke tiga, anak ke dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Salahkah jika kemudian aku menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
“Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!
Bentakan Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut tertunduk diam. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata. Destarastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia memberi isyarat kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan pisowanan terbatas.
Sengkuni semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api kebencian yang menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh diwujudkan untuk membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima anaknya.
Untuk sebuah rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia memerintahkan Purucona, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di luar kotaraja Hastinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus. Tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu dan minyak yang mudah terbakar.
Kunti dan Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepada siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah menganiaya dirinya. Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam yang menggerogoti dan meracuni hidupnya.
Oleh karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil mengajak Ibu Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di Bale Sigalgala. Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana abdinya, yang ahli membuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai kelebihan dan tak tertanding di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Raja Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat disayanginya itu. Maka Kanana meyakini bahwa bakal terjadi huru-hara besar, dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura, benar-benar akan menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang dari dua pekan Terowongan yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah selesai. Kanana benar-benar menunjukan kualitasnya.
Pada malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke sebelas Yama Widura mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk memohon keselamatan, jauh dari segala yang jahat.
Kunti dan Bima belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang dikidungkan Yamawidura. Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui Kidung malam tersebut Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-anaknya yang besok sore akan memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-gala jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari segala mara bahaya.
Lewat tengah malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra yang di kidungkan. Hampir bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur, menyusul Puntadewa, Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri Yamawidura dan kedua anaknya Sanjaya dan Yuyutsuh.
Malam merambat pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui pagi. Mungkin karena ia tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan terjadi di rumah indah dan asri yang bernama Bale Sigala-gala
MAHABARATA Rencana Baru

MAHABARATA Rencana Baru


Bima berjalan menyusuri Alas Pramanakoti setelah selamat
dari ancaman pembunuhan .
Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada Bima berujud minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, Bima tidak merasakan bahwa dirinya berada di dalam air di dasar Bengawan Gangga. Tidak ada bedanya dengan di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah. Naga Aryaka menghendaki agar beberapa hari Bima berada di dasar Bengawan Gangga untuk memperoleh ilmu darinya.
Dengan senang hati Bima memenuhi permintaan Naga Aryaka yang telah berperan dalam menyelamatkan dirinya. Berbagai ilmu tentang hidup di wejangkan kepada Bima. Setelah dianggap cukup, Naga Aryaka berpesan.
”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, birlah Dia yang menghukumnya.” Bima berjanji akan mentaati nasihat Naga Aryaka, dan mohon diri meninggalkan Bengawan Gangga untuk kembali ke Panggombakan.
Sesampainya di Panggombakan, Bima disambut oleh paman Yamawidura, Ibunda Kunthi, Puntadewa serta adik-adiknya dengan sukacita. Karena beberapa pekan sejak diundang pesta di pesanggrahan alas Pramanakoti, Bima belum kembali. Kepada mereka diceritakannya apa yang dialami Bima dari awal sampai akhir. Sungguh mengharukan tetapi juga membahagiakan. Bima lolos dari maut, bahkan memperoleh ilmu dan Tirta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Kabar kepulangan Bima di Panggombakan dalam keadaan segar bugar membuat Sengkuni, Duryudana dan warga Korawa kelimpungan. Mereka sudah terlanjur mengabarkan kepada Raja Destrarasta bahwa Bima jatuh tenggelam di kedung Bengawan Gangga sewaktu berpesta pora di Pesanggrahan Alas Pramanakoti. Karena lama tidak muncul Bima dianggap telah mati disantap naga-naga ganas penghuni kedung bengawan Gangga. Tetapi ternyata, Bima belum mati, ia menjadi semakin perkasa. Dengan mendapat kesaktian baru yang memungkinkan ia dapat hidup di dalam air seperti layaknya berada di atas daratan
”Sengkuni! aku mendengar bahwa Bima kembali dalam keadaan selamat., benarkah itu?”
”Ampun Sang Prabu Destrarasta, apa yang paduka dengar benar adanya. Bima masih hidup. Untuk itu kami mohon ampun atas praduga hamba sebelumnya yang mengatakan bahwa Bima telah mati. Karena lebih dari sepekan warga Kurawa menunggu disekitar kedung bengawan Gangga, tempat Bima tenggelam, namun Bima tidak muncul. Kami beranggapan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat bertahan hidup di dalam air, selama berhari-hari. Jika ternyata ia masih hidup, hamba sendiri cukup heran, dengan ilmu sihir macam apa yang digunakan Bima.”
”Cukup Sengkuni! panggil Bima dan saudara-saudaranya, aku ingin mendengar kisahnya.”
”Baik Sang Prabu, perintah paduka segera aku laksanakan.”
Dengan terbata-bata Sengkuni segera undur diri. Prabu Destarastra menarik napas panjang. Ia dapat merasakan kepatuhan Sengkuni dan juga Gendari isterinya adalah kepatuhan semu. Walaupun telah dibungkus dengan kata-kata manis, suasana yang damai menentramkan, toh kebusukan hatinya tercium juga. Jika dapat memilih ia lebih senang tidak menjadi raja di Hastinapura. Percuma saja ia memerintah. karena aturan, wewenang, keputusan dan kebijakan raja selalu diselewengkan demi kepentingan Isteri dan Patihnya.
Sengkuni gelisah, apa jadinya jika Bima berkisah tentang penganiayaan yang dilakukan warga Kurawa. Walaupun Sengkuni dan Gendari menganggap remeh Destrarastra karena kebutaan matanya, mereka miris juga kepada aji Lebur Sakethi yang dimiliki Destarastra. Namun kegelisahan Sengkuni tak berkepanjangan. Ia segera mendapat akal, untuk menghadapi cerita Bima. Yang penting menjaga agar Destarastra tidak marah.
Usaha membunuh para Pandawa yang dilakukan oleh Sangkuni, Gendari dan para Kurawa berkali-kali gagal. Namun berkali pula ia lolos dari tuduhan Sang Raja. Dan itu tidak membuat jera. Bahkan semakin terbakar hati mereka untuk segera menyingkirkan Pandawa.
Diilhami oleh sebuah peristiwa kebakaran, Sengkuni mendapat gagasan baru untuk menyingkirkan Pandawa. Ya dengan cara dibakar akan sulit dilacak penyebabnya. Gagasan tersebut disetujui oleh Gendari, Duryudana dan para Kurawa. Kemudian diteruskan kepada Purucana, seorang ahli membuat bangunan yang cepat dan indah. Maka mulailah dibangun sebuah bale di Waranawata, yang letaknya jauh dari kotaraja Hastinapura
MAHABARATA Pesanggrahan Pramanakoti

MAHABARATA Pesanggrahan Pramanakoti


Bukti nyata bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. Yang berhasil menundukkan mereka adalah keluarga Pandawa. Oleh karena alasan tersebut warga Kurawa merasa terancam atas keberadaan keluarga Pandawa yang lebih sakti dan lebih unggul. Maka disusunlah sebuah rencana untuk menyingkirkan warga Pandawa. Bima yang secara fisik mempunyai kekuatan yang luar biasa, tetapi lugu dan sederhana dalam pola pikir, dijadikan target utama dan pertama untuk disingkirkan. Patih Sengkuni dan Duryudana menyusun rencana untuk membunuh Bima. Maka dibuatlah sebuah pesanggrahan yang nyaman dan indah di hutan Pramanakoti, di pinggir Sungai Gangga.
Bimasena diundang pesta di pesanggrahan tersebut. Makanan dan minuman tersedia melimpah. Bimasena datang sendirian memenuhi undangan Duryudana yang dianggap sebagai saudara tua yang dihormati. Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan warga Kurawa lainnya menampakkan rasa persahabatan penuh keakraban dalam menjamu Bimasena. Tanpa perasaan curiga, Bimasena menikmati hidangan yang disajikan.
Berkali-kali Duryudana menambah tuak ke dalam bumbung minuman di tangan Bima. Entah mengapa, Bima tak kuasa menolak tawaran warga Kurawa. Apakah ia takut akan menyakiti hati para Kurawa jika menolak tawarannya. Walau sesungguhnya Bimasena telah merasakan kepalanya berat dan pusing karena kebanyakan minum tuak, toh ia selalu meneguknya tatkala minuman yang ada di bumbungnya ditambah Duryudana.
Sekuat apa pun Bima bertahan memaksakan diri untuk menuruti kehendak para Kurawa, akhirnya sampailah pada batas daya tahan Bimasena. Selanjutnya Bimasena tidak kuat lagi dan jatuh di lantai. Sebagian besar warga Kurawa terkejut melihat Bima jatuh begitu cepat. Namun tidak banyak yang tahu kecuali Sengkuni dan Duryudana, bahwasanya tuak yang khusus diminum Bimasena telah dicampuri dengan racun yang mematikan. Bima terkulai tak berdaya, dari mulutnya keluar busa berwarna putih. Sengkuni segera memerintahkan warga Kurawa segera mengikat badan Bimasena dengan akar-akar pohon. Setelah diikat kuat-kuat, lalu diberi bandul batu yang sangat besar, Bimasena dilemparkan ke sungai Gangga yang membentuk kedung dengan kedalaman lebih dari 12 meter. Warga Kurawa bersorak gembira, bak tumpukan batu bata yang roboh membarengi deburan air sungai Gangga yang memecah ditimpa Bimasena.
Sebentar kemudian permukaan air sungai Gangga menutup kembali untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri Bimasena. Puluhan pasang mata warga Kurawa tak kuasa menembus kedalaman sungai Gangga lebih dari satu meter. Namun semua yang ikut pesta mempunyai anggapan yang sama, bahwa Bimasena akan segera mati.
Kedung Sungai Gangga terkenal sangat gawat, karena dihuni oleh ribuan ular ganas yang dirajai oleh raja ular bernama Aryaka. Ular-ular ganas tersebut tidak membuang-mbuang waktu. Mereka bergerak amat cepat menyambut benda asing yang masuk ke dalam air. Beratnya tubuh Bima ditambah dengan beratnya batu mengakibatkan tubuh Bimasena tenggelam semakin cepat menuju ke dasar sungai. Ribuan ular beracun mematuki tubuh Bima.
Eloknya terjadi peristiwa yang tak terbayangkan manusia. Patukan ular-ular beracun tersebut tidak membuat Bimasena mati lebih cepat. Racun yang telah masuk di tubuh Bima lewat minuman yang disajikan, tidak mempunyai daya pembunuh lagi, bahkan telah menjadi tawar ketika bereaksi dengan racun akibat patukan ribuan ular. Dengan sangat cepat tubuh Bimasena berangsur-angsur pulih kekuatannya. Bimasena kemudian sadar, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya, karena sekujur badannya dipatuk oleh ribuan ular berbisa. Ia mengamuk membunuh ribuan ular yang menyerangnya. Raja ular Aryaka mendapat laporan bahwa ada orang mengamuk di dasar sungai, dan telah membunuh ribuan ular. Raja Aryaka mendekatinya, dan tahulah dia bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bima adalah anak Dewa Bayu, dewanya angin.

Dengan keramahan kebapakan. Naga Aryaka mendekati Bimasena. Dan redalah kemarahan Bimasena. Kemudian Bimasena melakukan penghormatan kepada Naga Aryaka dan meminta maaf atas kelakuannya karena telah membunuh ribuan rakyatnya. Setelah segalanya menjadi baik, termasuk ular-ular yang telah dibunuh dihidupkan kembali oleh Naga Aryaka, Bima ingat akan semua kejadian yang menimpanya sejak awal hingga akhir, dan menceritakannya kepada Naga Aryaka.
MAHABARATA Saat-Saat Sebelum Perang

MAHABARATA Saat-Saat Sebelum Perang



ampir semua orang sudah siap berperang. Kedua
belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing.
Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria,
mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan
perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap
lawan.
Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang
berbeda dengan aturan di jaman-jaman yang kemudian.
Menjelang matahari terbenam, perang harus dihentikan
dan masing-masing pihak kembali ke kubu pertahanan
untuk beristirahat. Sering terjadi, pihak-pihak yang bermusuhan
berkumpul dan bergaul bebas dalam suasana
persaudaraan selama matahari berada dalam peraduannya.
Mereka melupakan segala peristiwa yang terjadi siang
harinya. Tidak seorang pun dibenarkan mengangkat senjata
atau mengepalkan tinju di malam hari.
Pertarungan satu lawan satu hanya boleh dilakukan di
antara dua pihak yang setara. Tidak seorang pun boleh
berbuat sesuka hati di luar aturan-aturan dan normanorma
yang telah ditetapkan dalam dharma. Yang mundur
atau yang terjatuh, apalagi yang menyerah, tidak boleh
diserang atau dipukul lagi. Seorang prajurit berkuda hanya
boleh diserang oleh seorang prajurit berkuda; demikian
pula prajurit berkereta dan penunggang gajah. Prajurit
yang berjalan kaki hanya boleh diserang oleh lawan yang
seimbang.
Tidak seorang pun boleh membela kawan atau menyerang
lawan yang sedang bertarung satu lawan satu. Orang
yang tak bersenjata tidak boleh diserang dengan senjata.
Jadi, orang-orang dari kelompok bukan prajurit, misalnya
pemukul genderang, peniup trompet dan barisan penolong
korban perang, tidak boleh diserang. Mereka yang lari
menyerah ke pihak lawan tidak boleh dianiaya atau dibunuh.
Demikianlah beberapa aturan perang disepakati oleh
Kaurawa dan Pandawa dan diumumkan sebelum perang di
padang Kurukshetra dimulai.
Jauh di kemudian hari, tata krama perang tersebut
dilanggar sendiri oleh manusia. Begitu pula pengertian
tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk, tentang
kebajikan dan kebatilan, semua dilanggar sendiri oleh manusia
si pencipta aturan. Masing-masing merasa pihaknya
paling benar, paling kuat, dan paling berkuasa. Demikianlah,
jauh di kemudian hari, orang tidak lagi berperang
berhadap-hadapan dengan lawan, tetapi juga menyerang
sasaran-sasaran lain. Rakyat biasa, laki-perempuan, tuamuda,
tanpa pandang bulu, semua dihancurkan asalkan
memang dapat dihancurkan. Ringkasnya, segala upaya
dilakukan agar pihak musuh hancur!
Meskipun sudah ada aturan yang membatasi peperangan,
penyimpangan dan pelanggaran akan terjadi jika
manusia tidak dapat mengendalikan diri dan ingin saling
membunuh. Tetapi, betapapun pelanggaran terjadi, budi
pekerti luhur tetap mengatakan bahwa yang salah adalah
salah, yang jahat adalah jahat, yang batil adalah batil,
yang tercela harus dicela dan seterusnya.
“Wahai para kesatria! Sekarang inilah kesempatan gemilang
bagimu. Di hadapananmu kini terbuka pintu gerbang
surga selebar-lebarnya! Keabadian di hadapan Batara
Indra dan Batara Brahma menunggu dharma dan baktimu.
Ikutilah jejak nenek moyangmu dan melangkahlah di jalan
dharma kesatria. Bertempurlah dengan gembira untuk
mencapai kemuliaan dan kemasyhuran. Seorang kesatria
pasti tidak ingin mati di ranjang karena sakit atau usia
tua. Ia lebih memilih gugur di medan perang!” Demikian
kata-kata singkat Bhisma dalam peresmian pasukan
perang Kaurawa yang disambut dengan sorak sorai membahana.
Demikianlah persiapan-persiapan yang dilakukan kedua
pihak. Di pihak Kaurawa tampak panji-panji megah berkibar-
kibar di udara. Di kereta Bhisma, sang Senapati
Agung, berkibar panji-panji berlambang pohon kelapa dan
lima bintang emas. Di kereta Aswatthama tampak panjipanji
berlambang singa mengaum garang. Di kereta Drona
terpancang panji-panji berlambang mangkuk pendita dan
busur-panah warna kuning keemasan. Di kereta Duryodhana
berkibar panji-panji berlambang ular kobra. Duryodhana
mengenakan jubah longgar bertudung kepala, yang
hiasannya melambai-lambai ditiup angin ketika keretanya
bergerak maju. Mahaguru Kripa membawa panji-panji berlambang
banteng; sementara Jayadratha memilih lambang
babi hutan. Alangkah hebat dan megahnya panji-panji
pasukan Kaurawa yang berkibaran di udara. Hati siapa
yang tidak berdebar menyaksikan kehebatan pasukan
Kaurawa yang berderap menuju medan Kurukshetra?
Mengetahui bahwa balatentara Kaurawa jauh lebih
besar jumlahnya, Yudisthira menyampaikan pesan kepada
Arjuna agar menggunakan taktik-taktik pemusatan pasukan,
bukan penyebaran, dan serangan-serangan berformasi
jarum.
Tetapi, ketika Arjuna menyaksikan kedua pihak berhadapan
di medan Kurukshetra, siap untuk saling menyerang,
hatinya menjadi ragu dan sedih memikirkan akibat
peperangan. Krishna tidak membiarkan Arjuna dirundung
keraguan dan kesedihan. Ia segera memberikan petuahpetuah
mulia untuk menguatkan tekad Arjuna dalam
menghadapi Kaurawa, musuh sekaligus saudara-saudara
sepupunya.
Sesaat sebelum pertempuran dimulai, ketika segala senjata
siap digunakan untuk menyerang musuh, ketika ketegangan
jiwa memuncak, tiba-tiba Yudhistira yang gagah
berani meletakkan senjatanya, menanggalkan tudung
kebesaran dari kepalanya, lalu turun dari keretanya. Ia
melangkah mendekati Senapati Agung Kaurawa.
Semua orang yang melihat perbuatan Yudhistira tercengang,
bingung, dan bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan
yang hendak dilakukan Yudhistira sekarang. Arjuna
sangat terkejut dan segera turun dari keretanya lalu
mengejar Yudhistira. Krishna dan saudara-saudara Arjuna
yang lain mengikuti langkah Arjuna. Mereka cemas, kalaukalau
Yudhistira hendak menyerah tanpa perlawanan,
demi tercapainya perdamaian.
Sambil mengejar dari belakang, dengan suara keras
Arjuna berseru kepada Yudhistira, “Hai, Raja Yang Kami
Hormati, apa sebabnya engkau berbuat seaneh ini? Tanpa
memberitahu kami, kau pergi ke tempat musuh, tanpa
senjata, tanpa pengawal dan dengan berjalan kaki. Katakan,
apa maksudmu?!”
Tetapi Yudhistira tidak menjawab sepatah kata pun. Ia
tenggelam dalam renungan jiwanya dan terus berjalan ke
tempat musuh.
Setelah memandang wajah Yudhistira beberapa saat
lamanya, Krishna yang mengetahui jiwa dan perasaan
manusia, juga jiwa dan perasaan Dharmaputra saat itu,
berkata kepada Pandawa lainnya dengan tenang, “Ya, aku
tahu maksudnya. Ia hendak pergi menemui Bhisma, Mahaguru
Drona dan para tetua lainnya untuk memohon restu
sebelum peperangan dahsyat dimulai. Apa yang dilakukannya
memang sesuai dengan sopan santun dan adat
kesatria. Dengan restu para tetua, ia berharap kita akan
dapat melakukan kewajiban kita di medan perang dengan
sebaik-baiknya.”
Pasukan Duryodhana, yang melihat Yudhistira datang
tanpa senjata tanpa pengawal dan dengan kepala tunduk,
mengira kesatria itu datang untuk mencari penyelesaian
secara damai, karena gentar melihat kekuatan pasukan
Kaurawa. Mereka saling berbisik, mengatakan Dharmaputra
pengecut dan tindakannya membuat malu para
kesatria. Banyak yang mengutuknya. Kenapa orang seperti
Dharmaputra terlahir di lingkungan kesatria? Tetapi, ada
juga yang merasa lega karena mengira kemenangan akan
diperoleh dengan mudah, tanpa harus melancarkan satu
pukulan pun, karena Dharmaputra datang sendiri untuk
menyerah.
Yudhistira terus berjalan, menembus barisan pasukan
Kaurawa yang berderet tegap dan rapi, lengkap dengan
senjata perang mereka. Ia tenggelam dalam lautan pasukan
perang yang dipimpin Bhisma. Sampai di hadapan
senapati agung itu, Yudhistira sujud dan menyembah kaki
Bhisma yang ia muliakan sambil berkata, “Kakek yang
kumuliakan, ijinkan kami memulai peperangan ini. Kami
memberanikan diri untuk melawan Kakek, kesatria yang
tak tertandingi dan tak bisa ditaklukkan. Kami memohon
restumu.”
“Cucuku, engkau terlahir sebagai keturunan Bharata.
Engkau bertindak mulia, sesuai tata krama para kesatria.
Hatiku sangat bahagia menyaksikan semua ini. Aku bukan
prajurit yang bebas. Aku, karena terikat oleh kewajibanku
terhadap Dritarastra, harus bertempur di pihak Kaurawa.
Bertempurlah engkau. Kemenangan akan ada di pihakmu,”
kata Bhisma sambil memberikan restunya kepada Dharmaputra.
Setelah memperoleh restu dari Kakek Bhisma, Yudhistira
pergi menemui Mahaguru Drona. Sampai di hadapan
mahaguru itu, sesuai adat para kesatria, ia sujud, menyembah
dan memohon restunya.
Mahaguru Drona berkata, “Wahai Dharmaputra, aku
tak mungkin mengingkari kewajibanku. Kepentingan pribadi
telah memperbudak kita dan menjadi majikan kita.
Aku terikat oleh kepentingan itu dan harus bertempur di
pihak Kaurawa. Tapi, engkau pasti menang. Bertempurlah
kalian dengan sepantasnya.”
Setelah mohon pamit dari Mahaguru Drona, Yudhistira
pergi menghadap Mahaguru Kripa dan Raja Salya, pamannya,
untuk maksud yang sama. Setelah mendapat restu
dari kedua orang itu, ia kembali ke pasukan Pandawa.
Demikianlah, perang besar Bharatayudha dimulai.
Terjadi pertarungan satu lawan satu di antara para
kesatria perkasa dari kedua belah pihak: Bhisma lawan
Partha, Brihatbala lawan Abhimanyu, Kritawarma lawan
Satyaki, Salya lawan Yudhistira, Duryodhana lawan Bhima
dan Drona lawan Dristadyumna. Pasukan berkuda berhadapan
dengan pasukan berkuda, pasukan gajah menghadapi
pasukan gajah, semuanya berlangsung sesuai undang-
undang dan aturan perang di masa itu.
Di samping pertempuran-pertempuran yang sesuai
dengan aturan-aturan perang di masa itu, perang bebas
juga terjadi, yaitu antara pasukan berjalan kaki dari kedua
belah pihak. Pertempuran bebas seperti itu disebut sankula
yuddha.
Demikianlah padang Kurukshetra telah menyaksikan
sankula yuddha yang tidak ada batasnya, lebih-lebih
setelah peperangan berlangsung beberapa hari dan orangorang
yang berperang sudah tak dapat mengendalikan diri
lagi. Mereka saling membunuh dengan garang, benarbenar
haus darah, tidak peduli apa pun asal dapat memancung
leher lawan. Gemuruh kereta-kereta perang yang
dipacu, lengkingan gajah, bunyi tombak dan pedang beradu,
desing ribuan anak panah yang melesat ke arah
lawan... semua itu menjadi pemandangan sehari-hari selama
berhari-hari di padang Kurukshetra yang amat luas!
***
Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger