Kresna

Kresna
(Dewanagari: कृष्ण;
IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat
Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan
mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan
sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping.
Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah
putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan
mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi)
Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi
perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi
dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran
kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana,
ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana,
ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling,
sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang
bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang
memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab
yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Kisah-kisah
mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik
dalam tradisi filosofis maupun teologis. Berbagai tradisi menggambarkannya
dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan
sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa susastra
Hindu, yaitu Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana.
Pemujaan
terhadap dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa,
Balakresna atau Gopala—dapat ditelusuri sampai awal abad ke-4 SM. Pemujaan
Kresna sebagai Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai
Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti. Dari abad
ke-10 M, Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan
di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti
Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte
Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad
ke-16, dan sejak tahun 1960-an juga telah menyebar di Dunia Barat, sebagian
besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna
(International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).
Dalam aksara
Dewanagari, Kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca [ˈkr̩ʂɳə]), dengan bunyi konsonan silabis Ṛ, atau
disebut pula vokal Ṛ (dalam aksara Dewanagari disimbolkan dengan ृ, sedangkan dalam alfabet Fonetis
Internasional disimbolkan dengan huruf [r̩ ]*dengarkan contoh bunyi). Dalam
aksara Jawa, huruf vokal ृ tersebut dialihaksarakan sebagai huruf Pa cerek (huruf Ra repa dalam
aksara Bali) yang melambangkan bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf
Latin "Re"), karena bunyi konsonan silabis Ṛ seperti dalam bahasa
Sanskerta tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu kata कृष्ण dialihaksarakan menjadi
"Kresna" (dibaca [ˈkrəsna]).
Arca Kresna di Mayapur, India. Pada arca ini, Kresna digambarkan berkulit
hitam.
Kata kṛṣṇa
dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti
"hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut
berhubungan dengan kata čьrnъ (crn, 'hitam') dalam rumpun bahasa Slavia.
Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam,
hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa
kegelapan dalam mandala (bab) IV Regweda. Untuk nama diri, kata Kṛṣṇa muncul
dalam mandala VIII sebagai nama seorang penyair. Sebagai salah satu nama Wisnu,
kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu
Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna seringkali
digambarkan dalam arca dengan kulit hitam maupun biru.
Kresna juga
dikenal dengan berbagai macam nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai
atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan
Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya.
Beberapa nama tersebut diantaranya: Acyuta (yang kekal; teguh); Arisudana
(penghancur musuh); Bagawan (Yang Mahakuasa); Gopala (pelindung sapi); Gowinda
(penggembala sapi); Hresikesa (penguasa indria); Janardana (juru selamat umat
manusia); Kesawa (yang berambut indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi);
Madawa (suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh raksasa Madhu);
Mahabahu (yang berlengan perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama
(manusia utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni);
Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara (penguasa segala kekuatan
batin).
Di antara
berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala sapi",
atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa
kecil Kresna di Braj. Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah
tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di Puri, India
Timur.
Kresna dapat
dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud arca,
Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya
pewayangan Jawa, Kresna digambarkan berkulit hitam, sedangkan di Bali, ia
digambarkan berkulit hijau. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan modern,
Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna hitam merupakan
warna Dewa Wisnu menurut konsep Nawa Dewata, sedangkan biru melambangkan
keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi
sulit, serta kesadaran yang sempurna. Warna biru juga melambangkan langit dan
laut, masing-masing bermakna luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan,
sama halnya seperti Wisnu.
Dia
seringkali tampil dengan dhoti (semacam kemben) berbahan sutra berwarna kuning,
melambangkan cahaya yang melenyapkan kegelapan. Kepalanya dihiasi mahkota
dengan bulu merak, melambangkan galaksi berwarna-warni dalam kegelapan, atau
pusat energi di atas indria. Penggambaran umum biasanya menampilkannya sebagai
anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan seruling. Dalam
wujud ini, ia biasanya ditampilkan berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping.
Kadangkala ditemani para sapi, menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi
(Govinda). Dalam agama Hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan Ibu Pertiwi.
Patung Kresna di Singapura yang menggambarkan adegan dalam Mahabharata, ketika
ia menunjukkan wujud aslinya kepada Arjuna, sesaat sebelum perang di
Kurukshetra dimulai.
Peran Kresna
sebagai kusir kereta Arjuna di medan perang Kurukshetra, seperti yang tergambar
dalam wiracarita Mahabharata, adalah subjek umum lain dalam penggambaran
Kresna. Dalam hal ini, ia ditampilkan sebagai sosok pria, seringkali dengan
karakteristik dewa-dewi dalam kesenian Hindu, misalnya banyak lengan maupun
kepala, dan dengan atribut Wisnu, misalnya cakra. Sebagai seorang kusir biasa,
ia ditampilkan dengan dua lengan. Lukisan gua dari masa 800 SM di Mirzapur,
Uttar Pradesh, India Utara, yang menampilkan pertempuran kusir-kusir kereta
kuda, salah satu di antaranya tampak akan melemparkan cakram yang kemungkinan
besar dapat dikenali sebagai Kresna.
Penggambaran
dalam kuil seringkali menampilkan Kresna sebagai seorang pria yang berdiri
tegak, dalam gaya formal. Dapat ditampilkan sendirian, dapat pula dengan figur
terkait dengannya: Balarama (Baladewa — kakaknya) dan Subadra (saudari tirinya),
atau istrinya yang utama yaitu Rukmini dan Satyabama.
Seringkali
Kresna digambarkan bersama dengan kekasihnya dari kaum gopi (wanita pemerah
susu), Radha. Sekte Waisnawa di Manipur tidak memuja Kresna saja, tetapi juga aspeknya
sebagai Radha Krishna, kombinasi antara Kresna dan Radha. Hal ini juga
merupakan karakteristik dari aliran Rudra Sampradaya dan Nimbarka sampradaya,demikian
pula aliran kepercayaan Swaminarayan. Tradisi tersebut memuliakan Radha Ramana,
yang dipandang oleh pengikut Gaudiya sebagai wujud Radha Krishna.
Kresna juga
digambarkan dan dipuja sebagai anak kecil (Balakresna), dengan posisi merangkak
atau menari, biasanya dengan mentega di tangannya. Perbedaan di masing-masing
daerah tentang penggambaran Kresna dapat teramati dalam wujudnya yang
bermacam-macam, misalnya Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan
Shrinathji di Rajasthan.
Kepustakaan tentang Kresna
Sastra
terawal yang secara eksplisit menyediakan deskripsi terperinci tentang Kresna
sebagai seorang tokoh adalah kitab Mahabharata. Pada kitab tersebut ia
digambarkan sebagai perwujudan Dewa Wisnu. Kresna adalah tokoh yang muncul di
berbagai cerita utama dalam wiracarita tersebut. Delapan belas bab dalam jilid
Mahabharata keenam (Bismaparwa) merupakan bagian istimewa yang menjadi kitab
tersendiri yang disebut Bhagawadgita, mengandung kotbah Kresna kepada Arjuna,
sepupunya sendiri, dengan latar belakang sesaat sebelum perang Kurukshetra
(Baratayuda) dimulai. Akan tetapi perincian kehidupan Kresna saat kanak-kanak
dan remaja tidak terdapat dalam wiracarita tersebut, melainkan dalam
Bhagawatapurana, Wisnupurana, Brahmawaiwartapurana, dan Hariwangsa. Kitab
Bhagawatapurana dan Wisnupurana diagungkan oleh pengikut Waisnawa, sedangkan
Hariwangsa adalah kitab pendukung yang menjelaskan hal yang belum dibahas dalam
wiracarita Mahabharata.
Yasoda memandikan Kresna. Ilustrasi dari naskah Bhagawatapurana, sekitar abad
ke-16.
Chandogya
Upanishad (3:17:6) yang ditulis sekitar masa 900 SM-700 SM menyebut Basudewa
Kresna sebagai putra Dewaki dan murid dari Ghora Angirasa, ahli nujum yang
mengajari muridnya filsafat Chandogya. Dengan pengaruh filsafat Chandogya,
Kresna memberi kotbah kepada Arjuna tentang pengorbanan, yang dapat
dibandingkan dengan purusha atau individu.
Nama Kṛṣṇa muncul dalam kitab Buddha
dengan ejaan "Kaṇha", secara fonetis sama dengan Kṛṣṇa.
Menurut
bukti dari Megasthenes (ahli etnografi Yunani, sekitar 350-290 SM) dan dalam
Arthasastra karya Kautilya (400-300 SM), Vāsudeva (Basudewa) dipuja sebagai
Tuhan Yang Mahakuasa dalam konsep monoteisme yang kuat.
Sekitar 150
SM, Patanjali dalam kitab Mahabhashya karyanya menulis sebuah sloka sebagai
berikut: "Semoga kejayaan Kresna dengan ditemani oleh Sangkarsana
meningkat!" Sloka-sloka lainnya disebutkan. Dalam salah satu sloka
disebutkan "Janardana bersama dirinya sebagai yang keempat" (Kresna
dengan tiga rekannya, ketiganya adalah Sangkarsana, Pradyumna, dan Aniruda).
Sloka lainnya menyebut tentang alat musik yang dimainkan saat pertemuan di kuil
Rama (Baladewa/Balarama) dan Kesawa (Kresna). Patanjali juga menjelaskan
pertunjukkan yang dramatis dan mimetis (Krishna-Kamsopacharam) yang
menggambarkan adegan terbunuhnya Kangsa oleh Basudewa (Kresna).
Pada abad
ke-1 SM, tampaknya ada bukti pemujaan lima pahlawan bangsa Wresni (Baladewa
[Balarama], Kresna, Pradyumna, Aniruda dan Samba) dari sebuah prasasti yang
ditemukan di Mora dekat Mathura, India, yang tampaknya menyebutkan tentang
putra satrap Rajuwula yang Agung, mungkin satrap Sodasa. Sebuah citra tentang
Wresni, mungkin Basudewa, dan "Lima Kesatria". Prasasti Mora
bertuliskan aksara Brahmi tersebut kini disimpan di Museum Mathura.
Banyak kitab
Purana menceritakan kehidupan Kresna atau beberapa hal penting darinya. Dua
Purana, yakni Bhagawatapurana (Srimadbhagawatam) dan Wisnupurana, yang
mengandung kisah kehidupan dan ajaran Kresna secara terperinci, adalah kitab
yang paling dimuliakan secara teologis oleh aliran Gaudiya Waisnawa. Sekitar
seperempat Bhagawatapurana dihabiskan untuk memuji kehidupan dan filsafatnya.
Kehidupan
Riwayat
Kresna dapat disimak dalam kitab Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana,
Brahmawaiwartapurana, dan Wisnupurana. Latar belakang kehidupan Kresna pada
masa kanak-kanak dan remaja adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan
wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, sementara lokasi
kehidupannya sebagai pangeran di Dwaraka sekarang dikenal sebagai negara bagian
Gujarat.
Kelahiran
Menurut
kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan
astronomi Hindu, hari kelahiran Kresna yang dikenal sebagai Janmashtami, jatuh
pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.
Menurut
Itihasa (wiracarita Hindu) dan Purana (mitologi Hindu), Kresna merupakan anggota
keluarga bangsawan di Mathura, ibukota kerajaan Surasena di India Utara (kini
kawasan Uttar Pradesh). Ia terlahir sebagai putra kedelapan Basudewa (putra
Raja Surasena) dan Dewaki (keponakan Raja Ugrasena). Orang tuanya termasuk kaum
Yadawa atau keturunan Yadu, putra raja legendaris Yayati. Raja Kangsa, kakak
sepupu Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya sendiri ke penjara,
yaitu Ugrasena. Pada suatu ketika, ia mendengar ramalan yang menyatakan bahwa
ia akan mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia
mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan bahwa
mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap putra mereka yang
baru lahir untuk dibunuh. Setelah enam putra pertamanya terbunuh, dan Dewaki
kehilangan putra ketujuhnya, maka lahirlah Kresna. Karena hidup Kresna terancam
bahaya, maka ia diselundupkan keluar penjara oleh Basudewa dan dititipkan pada
Nanda dan Yasoda, sahabat Basudewa di Vrindavan. Dua saudaranya yang lain juga
selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putra ketujuh Dewaki, dipindahkan
secara ajaib ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putra dari
Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Menurut
kitab Bhagawatapurana, Kresna lahir tanpa hubungan seksual, melainkan melalui
"transmisi mental" dari pikiran Basudewa ke rahim Dewaki. Umat Hindu
meyakini bahwa pada masa itu, jenis ikatan tersebut dapat dilakukan oleh
makhluk-makhluk yang mencapainya. Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya
untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai
Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan
kepadanya.
Masa kanak-kanak dan remaja
Kresna
dibesarkan oleh Nanda dan Yasoda, anggota komunitas penggembala sapi yang ada
di Vrindavana. Kisah masa kanak-kanak dan remaja Kresna menceritakan bagaimana
ia menjadi seorang penggembala sapi, tingkah nakalnya sebagai makhan chor
(pencuri mentega), kegagalan Kangsa dalam membunuhnya, dan perannya sebagai
pelindung rakyat Vrindavana. Pada masa kecilnya, Kresna telah melakukan
berbagai hal yang menakjubkan. Ia membunuh berbagai raksasa—di antaranya Putana
(raksasa wanita), Kesi (raksasa kuda), Agasura (raksasa ular)—yang diutus oleh
Kangsa untuk membunuh Kresna. Ia juga menjinakkan naga Kaliya, yang telah
meracuni air sungai Yamuna dan menewaskan banyak penggembala. Dalam kesenian
Hindu, seringkali Kresna digambarkan sedang menari di atas kepala naga Kaliya
yang bertudung banyak. Jejak kaki Kresna memberi perlindungan kepada Kaliya
sehingga Garuda—musuh para naga—tidak akan berani menganggunya.
Kresna
dipercaya mampu mengangkat bukit Gowardhana untuk melindungi penduduk
Vrindavana dari tindakan Indra, pemimpin para dewa yang semena-mena dan
mencegah kerusakan lahan hijau Gowardhana. Indra dianggap sudah terlalu besar
hati dan marah ketika Kresna menyarankan rakyat Vrindavana untuk merawat hewan
dan lingkungan yang telah menyediakan semua kebutuhan mereka, daripada menyembah
Indra setiap tahun dengan menghabiskan sumber daya mereka. Gerakan spiritual
yang dimulai oleh Kresna memiliki sesuatu di dalamnya yang melawan bentuk
ortodoks penyembahan dewa-dewa Weda seperti Indra. Kisah permainannya dengan
para gopi (wanita pemerah susu) di Vrindavana, khususnya Radha (putri
Wresabanu, salah seorang penduduk asli Vrindavana) dikenal sebagai Rasa lila
dan diromantisir dalam puisi karya Jayadeva, penulis Gita Govinda. Hal ini
menjadi bagian penting dalam perkembangan tradisi bhakti Kresna yang memuja
Radha Krishna.
Sang Pangeran
Kresna
beserta Baladewa yang masih muda diundang ke Mathura untuk mengikuti
pertandingan gulat yang diselenggarakan Kangsa. Tujuan sebenarnya adalah
membunuh Kresna dengan dalih pertandingan gulat. Setelah mengalahkan para
pegulat Kangsa, Kresna menggulingkan kekuasaan Kangsa sekaligus membunuhnya.
Kresna menyerahkan tahta kepada ayah Kangsa, Ugrasena, sebagai raja para
Yadawa. Ia juga membebaskan ayah dan ibunya yang dikurung oleh Kangsa. Kemudian
ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut.
Kunti—bibi
Kresna—menikah dengan Pandu dari kerajaan Kuru dan memiliki tiga putra. Beserta
dua putra dari Madri—istri kedua Pandu—kelima putra Pandu disebut Pandawa. Maka
dari itu Kresna memiliki hubungan keluarga dengan para Pandawa, dan memiliki
hubungan yang istimewa dengan Arjuna, salah satu Pandawa.
Sebelum
berdirinya kerajaan Dwaraka, kota Mathura—kediaman keluarga Kresna
(Yadawa)—diserbu oleh Jarasanda, Raja Magadha karena dendam pribadi. Penyerbuan
tersebut berhasil diredam berkali-kali, namun Jarasanda tidak menyerah.
Kemudian Jarasanda dibantu oleh Kalayawana, yang memiliki dendam pribadi
terhadap klan Yadawa. Persekutuan tersebut memaksa Kresna mengungsikan para
Yadawa ke suatu wilayah di India Barat yang menghadap Laut Arab (pada masa
sekarang disebut Gujarat) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana, bernama
kerajaan Dwaraka (secara harfiah berarti "kota banyak gerbang").
Setelah Dwaraka didirikan, Kresna mengalahkan Kalayawana dengan suatu jebakan.
Kresna
menikahi Rukmini, putri dari kerajaan Widarbha, dengan cara kawin lari. Di
tempat lain, Sisupala, sepupu Kresna yang berencana melamar Rukmini menjadi
kecewa setelah mengetahui berita tersebut sehingga ia membenci Kresna. Dari
pernikahannya dengan Rukmini, Kresna memiliki putra bernama Pradyumna.
Permata Syamantaka
Pada suatu
ketika, Satrajit, kerabat jauh Kresna menerima permata Syamantaka dari Dewa
Surya. Kresna menyarankan agar permata itu diserahkan kepada Ugrasena—raja kaum
Yadawa—namun Satrajit menolaknya. Prasena, saudara Satrajit membawa permata itu
saat berburu dan tidak pernah kembali lagi. Satrajit menuduh Kresna telah
membunuh Prasena karena menginginkan permata itu. Untuk membersihkan nama
baiknya, Kresna melacak jejak Prasena. Akhirnya ia mendapati bahwa Prasena
telah dibunuh seekor hewan buas, dan permata Syamantaka tidak ditemukan pada
jenazahnya. Ia mengikuti jejak hewan yang membunuh Prasena, hingga mendapati
bangkai seekor singa. Ia tidak menemukan permata Syamantaka ada pada bangkai
tersebut. Akhirnya ia mengikuti jejak pembunuh singa tersebut, dan sampai di
kediaman seekor beruang bernama Jembawan. Di tempat tersebut ia mendapati bahwa
permata Syamantaka tersimpan di sana.
Kresna
meminta Jembawan menyerahkan permata Syamantaka, namun permintaannya ditolak
sehingga mereka berkelahi. Setelah Jembawan menyadari siapa sesungguhnya
Kresna, ia menyerah dan menjelaskan bahwa ia mendapatkan permata itu dari
seekor singa. Ia pun menyerahkan permata Syamantaka beserta putrinya yang
bernama Jambawati untuk dinikahi Kresna. Setelah Kresna kembali dari
penyelidikannya, dan menyerahkan Syamantaka kepada Satrajit, maka Satrajit
merasa malu karena sudah berprasangka buruk terhadap Kresna. Untuk memperbaiki
hubungan di antara mereka, ia menikahkan putrinya yang bernama Satyabama kepada
Kresna.
Para istri Kresna
Dalam kitab
Bhagawatapurana diceritakan bahwa Narakasura dari kerajaan Pragjyotisha
mengalahkan Indra, pemimpin para dewa. Indra mengadukan hal tersebut kepada
Kresna sehingga Kresna menyerbu Pragjyotisha dengan angkatan perangnya. Kresna
berhasil mengalahkan Narakasura dan membebaskan 16.100 putri yang ditawan oleh
Narakasura. Menurut kitab Bhagawatapurana, Kresna menikahi 16.108 putri, dan
delapan di antaranya adalah yang terkemuka dan disebut dengan istilah Ashta
Bharya — yaitu Rukmini, Satyabama, Jambawati, Kalindi, Mitrawrinda, Nagnajiti,
Badra dan Laksana. Kresna menikahi 16.100 putri lainnya, yang merupakan tawanan
raksasa Narakasura, untuk mengembalikan kehormatan mereka. Kresna berjasa
karena membunuh raksasa tersebut dan membebaskan mereka. Menurut adat sosial
yang ketat pada masa itu, seluruh wanita tawanan memiliki martabat rendah, dan
tidak memungkinkan untuk menikah, karena mereka di bawah kendali Narakasura.
Akan tetapi Kresna menikahi mereka untuk mengembalikan status mereka di
masyarakat. Pernikahan dengan 16.100 putri tawanan tersebut kurang lebih
merupakan rehabilitasi wanita massal. Dalam tradisi Waisnawa, dipercaya bahwa
para istri Kresna merupakan manifestasi Dewi Laksmi—pasangan Dewa Wisnu—atau
merupakan jiwa istimewa yang melewati kualifikasi setelah menghabiskan banyak
masa hidup dalam tapasya, sedangkan Satyabama, merupakan ekspansi dari Radha.
Upacara Rajasuya
Dalam kitab
Mahabharata, Yudistira, sepupu Kresna dari kerajaan Kuru ingin mengadakan
upacara Rajasuya. Atas saran Kresna, ia mengerahkan saudara-saudaranya (para
Pandawa) untuk menaklukkan para raja di Bharatawarsha (India). Di antara para
raja, yang sulit ditaklukkan adalah Jarasanda, raja Magadha. Bima—salah satu
Pandawa—menantangnya untuk bertarung dengan gada. Mereka bertarung selama 27
hari. Setiap kali matahari terbenam, mereka beristirahat untuk melanjutkan
pertarungan pada hari berikutnya. Jarasanda sulit dibunuh. Pada hari ke-28,
atas petunjuk Kresna, Bima membelah tubuh Jarasanda menjadi dua bagian
(kanan-kiri), dan melemparkannya ke arah berlawanan. Dengan demikian, Jarasanda
dapat dibunuh.
Setelah
Jarasanda dikalahkan, upacara Rajasuya diselenggarakan oleh Yudistira dan para
raja yang ditaklukkannya diundang untuk menghadirinya. Untuk menghormati para
undangannya, Yudistira memutuskan untuk memberi hadiah kepada orang-orang yang
paling utama di antara mereka. Ia meminta saran Bisma, kakeknya untuk
menentukan siapa yang berhak diberikan hadiah terlebih dahulu. Bisma
menyarankan agar hadiah diberikan kepada Kresna, dan Yudistira pun
menyetujuinya. Akan tetapi, keputusan tersebut ditolak oleh Sisupala. Sisupala
menghina Kresna secara bertubi-tubi, namun Kresna tetap bersabar. Sesuai janji
Kresna kepada ibu Sisupala, ia tidak akan membunuh Sisupala kecuali bila makian
yang diterimanya dari Sisupala sudah lebih dari seratus kali. Setelah Sisupala
menghina Kresna lebih dari seratus kali, Kresna mengeluarkan senjata cakranya
kemudian memenggal kepala Sisupala. Menurut legenda, Sisupala—beserta
Dantawaktra, rekannya—adalah reinkarnasi Jaya dan Wijaya, penjaga pintu gerbang
Waikuntha, kediaman Wisnu. Karena melarang Catursana memasuki Waikuntha, mereka
dihukum untuk turun ke bumi, dan atas keinginan mereka sendiri, mereka
dilahirkan sebagai musuh Wisnu dan dibunuh oleh Wisnu sendiri. Tindakan Kresna
(sebagai awatara Wisnu) membunuh Sisupala telah membebaskan jiwa Sisupala dari
reinkarnasi yang harus dialaminya sehingga jiwanya kembali menuju Waikuntha.
Baratayuda dan Bhagawadgita
Perselisihan
antara para Pandawa dan Korawa—sepupu mereka—dilatarbelakangi oleh
ketidakpuasan para Pandawa atas sikap para Korawa yang menghalalkan segala cara
agar tahta kerajaan Kuru tidak jatuh ke tangan Yudistira—yang tersulung di
antara Pandawa—sebagai putra mahkota tertua. Kresna bertindak sebagai juru
damai, namun upaya perundingan gagal karena para Korawa—yang dipimpin
Duryodana—tidak mau mengalah. Di samping itu, Duryodana senantiasa dihasut oleh
pamannya, Sangkuni.
Saat
keputusan perang tidak terelakkan lagi, hampir seluruh raja di Bharatawarsha
(India) diminta untuk berpartisipasi, dan akhirnya semuanya menjadi dua pihak,
yaitu pihak Pandawa dan Korawa. Kresna menawarkan kesempatan kepada dua pihak
untuk memilih pasukannya atau dirinya sendiri, namun dengan kondisi tidak
membawa senjata apapun. Arjuna yang mewakili Pandawa memilih agar Kresna berada
di pihaknya, sedangkan Duryodana—pemimpin para Korawa—memilih pasukan Kresna.
Saat tiba waktunya untuk berperang, Kresna bertindak sebagai kusir kereta
perang Arjuna, karena sesuai dengan perjanjian bahwa ia tidak akan membawa
senjata apapun.
Saat
meninjau angkatan perang dan mengamati pihak yang akan berperang, Arjuna
menjadi ragu setelah menyaksikan keluarga, sepupu, kerabat, serta kawan-kawan
yang dicintainya bersiap-siap untuk membunuh satu sama lain. Kemudian Kresna
menasihati Arjuna tentang perang yang akan dihadapinya. Percakapan tersebut
meluas menjadi suatu wacana dan menjadi kitab tersendiri, dikenal sebagai Bhagawadgita
'Kidung Ilahi'. Dalam Bhagawadgita, Kresna menguraikan ajaran Iswara
(ketuhanan), jiwa, dharma (kewajiban), prakerti (alam semesta), dan kala
(waktu). Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk menyelamatkan
orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang terkenal adalah:
“ Kapanpun dan dimanapun kebajikan merosot, dan kejahatan merajalela, pada saat
itulah aku menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan
orang saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir
dari zaman ke zaman. (Bhagawadgita, 4:7–8) ”
Saat
Yudistira merasa tertekan atas kekalahan yang diterima pihaknya pada hari
pertama, Kresna tetap optimis bahwa kemenangan sudah pasti akan diraih Yudistira
karena ia bertindak di jalan yang benar dan telah mendapat restu dari
Bisma—kakeknya sendiri, sekaligus kesatria tua yang harus dihadapinya dalam
perang itu—sesaat sebelum perang dimulai. Seperti halnya Kresna, Bisma juga
berkata bahwa kemenangan pasti akan diraih Yudistira dan ia mendoakan cucunya
itu agar mencapai kejayaan, meskipun mereka harus saling menyerang dalam
perang.
Seringkali
Kresna meminta Arjuna agar segera mengalahkan Bisma, kakek para Pandawa dan
Korawa. Keraguan Arjuna membuat Kresna marah sehingga ia mencopot roda
keretanya sebagai pengganti cakram untuk membunuh Bisma. Akan tetapi
tindakannya segera dicegah oleh Arjuna yang berjanji bahwa ia akan mengalahkan
kesatria tua tersebut pada hari berikutnya. Setelah para Pandawa mengetahui
kelemahan Bisma, pada hari berikutnya, Kresna menginstruksikan Srikandi, putra
Raja Drupada agar menghadapi Bisma, dengan ditemani oleh Arjuna. Bisma, yang
merasa bahwa Srikandi telah dilahirkan untuk membunuhnya, sulit menghindari
serangan Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi. Akhirnya Bisma
dikalahkan pada hari kesepuluh.
Kresna juga
membantu Arjuna dalam membunuh Jayadrata, kesatria Korawa yang menahan para
Pandawa dalam usaha menyelamatkan Abimanyu—putra Arjuna—yang terkurung dalam
formasi Cakrabyuha dan terbunuh oleh serangan serentak yang dilancarkan delapan
kesatria Korawa. Kresna juga meruntuhkan semangat Drona—komandan tentara
Korawa, pengganti Bisma—setelah ia memberi isyarat pada Bima untuk membunuh
seekor gajah perang bernama Aswatama, nama yang serupa dengan nama putra semata
wayang Drona. Pandawa berteriak bahwa Aswatama mati, namun Drona enggan
mempercayainya sebelum ia mendengar langsung dari Yudistira yang dikenal
sebagai orang yang tidak pernah berbohong. Kresna tahu bahwa Yudistira tidak
akan berdusta, maka ia mengatur siasat agar Yudistira tidak berbohong namun
Drona menganggap putranya telah gugur. Saat ditanya oleh Drona, Yudistira
berkata, "Aswatama mati. Entah gajah, entah manusia." Tetapi setelah
Yudistira mengucapkan kalimat pertama, tentara Pandawa yang telah diperintah
oleh Kresna segera membuat kegaduhan dengan membunyikan genderang perang dan
sangkakala, sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang diucapkan
Yudistira dan percaya bahwa putranya telah gugur. Setelah dilanda dukacita,
Drona meletakkan senjatanya, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Drestadyumna
untuk memenggal kepalanya.
Saat Arjuna
bertarung melawan Karna, roda kereta Karna terperosok ke dalam genangan lumpur.
Saat Karna mencoba mengangkat keretanya dari lumpur, Kresna mengingatkan Arjuna
tentang tindakan Karna dan Korawa lainnya yang telah melanggar peraturan dalam
peperangan saat menyerang dan membunuh Abimanyu secara serentak, dan ia
meyakinkan Arjuna untuk menempuh cara yang sama untuk membunuh Karna. Maka
Arjuna memenggal kepala Karna saat kesatria itu sedang berusaha mengangkat
keretanya dari lumpur.
Menjelang
hari puncak peperangan, Duryodana menemui Gandari, ibunya untuk meminta
anugerah agar seluruh tubuhnya kebal dari segala serangan. Untuk itu, ia harus
datang dalam keadaan telanjang bulat. Kresna mengolok-oloknya sehingga ia
menjadi malu. Ia memutuskan untuk menutupi selangkangannya dengan kulit pisang
saat menemui ibunya. Setelah Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya
dan mencurahkan kekuatan dari matanya ke tubuh Duryodana, tetapi ia kecewa
setelah mengetahui bahwa Duryodana menutupi selangkangan dan paha sehingga
daerah itu tidak akan kebal. Ketika Duryodana bertarung dengan Bima, serangan
Bima tidak berpengaruh bagi Duryodana. Untuk menyelesaikannya, Kresna
mengingatkan Bima akan janjinya untuk membunuh Duryodana dengan cara memukul
pahanya. Bima pun melakukannya, meskipun melanggar peraturan (mengingat bahwa
Duryodana sendiri telah melanggar dharma pada perbuatannya pada masa lalu).
Dengan demikian, strategi Kresna telah membantu Pandawa memenangkan perang
dengan menjatuhkan seluruh pemimpin tentara Korawa, tanpa perlu mengangkat
senjatanya. Ia juga menghidupkan kembali Parikesit, cucu Arjuna yang diserang
dengan senjata Brahmastra oleh Aswatama saat berada di dalam janin ibunya. Di
kemudian hari, Parikesit menjadi penerus Pandawa.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah
perang usai, Yudistira diangkat sebagai Raja Kuru, dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Ia memerintah selama 36 tahun. Sementara itu Kresna tinggal
bersama kaumnya di Dwaraka. Karena Samba—putra Kresna—dan beberapa pemuda
Yadawa telah mengolok-olok para resi yang mengunjungi Dwaraka, maka kaum Yadawa
dikutuk agar hancur dengan menggunakan senjata gada yang dikeluarkan dari perut
Samba. Atas perintah Ugrasena, senjata tersebut dihancurkan hingga menjadi debu
lalu dibuang ke laut. Debu tersebut hanyut ke tepi pantai Prabasha dan tumbuh
menjadi semacam tanaman rumput, disebut eruka.
Pada suatu
perayaan, kaum Yadawa mengunjungi Prabasha dan berpesta pora di sana. Karena
pengaruh minuman keras, mereka mabuk dan saling hantam. Perkelahian pun berubah
menjadi pembunuhan masal. Saat menyaksikan kaumnya saling bunuh, Kresna
menggenggam rumput eruka dan melemparkannya ke tengah percekcokan tersebut yang
mengakibatkan ledakan hebat sehingga membunuh hampir seluruh kaum Yadawa yang
ada di sana. Setelah kehancuran kaumnya, Baladewa meninggalkan tubuhnya dengan
cara melakukan Yoga. Sementara itu, Kresna memasuki hutan dan duduk di bawah
pohon untuk bermeditasi. Mahabharata menyatakan bahwa seorang pemburu bernama
Jara mengira sebagian kaki kiri Kresna yang tampak sebagai seekor rusa sehingga
ia menembakkan panahnya, menyebabkan Kresna terluka secara fana, sampai
berujung ke kematiannya. Saat jiwa Kresna mencapai surga, tubuhnya dikremasi
oleh Arjuna.
Menurut
sumber-sumber dari Purana, kepergian Kresna menandai akhir zaman Dwaparayuga
dan dimulainya Kaliyuga, yang dihitung jatuh pada tanggal 17/18 Februari 3102
SM.Para guru aliran Waisnawa, misalnya Ramanuja dan aliran Gaudiya Waishnawa
memandang bahwa tubuh Kresna seutuhnya merupakan tubuh spiritual sehingga tidak
akan pernah membusuk karena hal ini tampaknya merupakan perspektif dalam
Bhagawatapurana. Kresna tidak pernah disebut menua atau menjadi uzur dalam
penggambaran secara historis dalam berbagai Purana, meskipun telah melewati
beberapa dasawarsa, tetapi ada alasan untuk sebuah perdebatan apakah ini
menunjukkan bahwa ia tidak memiliki tubuh material, karena pertempuran dan
deskripsi lain dari wiracarita Mahabharata jelas menunjukkan indikasi bahwa ia
tampaknya tunduk pada keterbatasan alam. Sementara kisah pertempuran tampaknya
menunjukkan keterbatasan, Mahabharatha juga menceritakan berbagai kisah saat
Kresna tidak tunduk pada keterbatasan, seperti cerita ketika Duryodana mencoba
untuk menangkap Kresna namun tubuhnya memancarkan api yang menunjukkan semua
ciptaan ada dalam dirinya.
Pemujaan
Aliran Waisnawa
Pemujaan
terhadap Kresna merupakan suatu bagian dari aliran Waisnawa (Waisnawisme),
aliran agama Hindu yang menganggap Wisnu sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dan
memuliakan berbagai awatara (penjelmaan) yang terkait dengannya, termasuk
pasangan (sakti/dewi) dewa itu sendiri, serta orang suci maupun guru yang
menyebarkan ajarannya. Secara istimewa Kresna dipandang sebagai penjelmaan
Wisnu seutuhnya, atau sebagai wujud Wisnu itu sendiri. Bagaimanapun juga,
hubungan yang pasti antara Kresna dan Wisnu terasa kompleks dan bermacam-macam.
Kadangkala Kresna dianggap sebagai dewa tersendiri, yang memiliki kekuasaan
penuh tanpa ketergantungan. Di antara berbagai macam dewa, Kresna sangat
penting, dan tradisi dalam garis perguruan Waisnawa biasanya terpusat kepada
Wisnu maupun Kresna, sebagai dewa yang dipuja. Istilah Kresnaisme digunakan
untuk meyebut sekte pemuja Kresna, sementara istilah Waisnawisme untuk sekte
yang terpusat kepada Wisnu dan Kresna dianggap sebagai awatara, daripada Tuhan
Yang Mahakuasa.
Seluruh
tradisi Waisnawa menganggap Kresna merupakan awatara Wisnu; kadangkala Kresna
disamakan dengan Wisnu; sementara beberapa tradisi lainnya, misalnya Gaudiya
Waisnawa, Wallabha Sampradaya dan Nimbarka Sampradaya, menganggap Kresna
sebagai Swayam Bhagawan, wujud asli Tuhan, atau Tuhan itu sendiri. Swaminarayan,
pendiri aliran Swaminarayana Sampradaya juga memuja Kresna sebagai Tuhan.
"Kresnaisme Raya" (Greater Krishnaism) merupakan bentuk Waisnawa yang
kedua atau dominan, berkisar antara penyembahan Basudewa, Kresna, dan Gopala
pada Zaman Weda Akhir. Di masa sekarang kepercayaan tersebut memiliki pengikut
yang cukup banyak, termasuk di luar India.
Tradisi awal
Secara
historis, Dewa Kresna Basudewa (kṛṣṇa vāsudeva "Kresna, putra
Basudewa") merupakan salah satu bentuk pemujaan tertua dalam aliran
Kresnaisme dan Waisnawa. Dipercaya bahwa pemujaan tersebut merupakan tradisi
penting pada sejarah awal pemujaan Kresna di zaman kuno. Tradisi ini dianggap
sebagai yang terawal di antara tradisi lainnya yang kemudian bergabung pada
tahap selanjutnya dalam perkembangan sejarah. Tradisi lainnya meliputi
Bhagawatisme dan penyembahan Gopala, yang bersama penyembahan Balakresna
(Bala-Krishna) membentuk dasar tradisi pemujaan yang terpusat pada Kresna pada masa
sekarang. Beberapa ahli kuno akan menyamakannya dengan Bhagawatisme, dan
dipercaya bahwa pendiri tradisi religius ini adalah Kresna, yang merupakan
putra Basudewa, sehingga namanya adalah Bāsudewa (Vāsudeva), termasuk ke dalam
anggota suku Satvata, dan pegikutnya menyebut diri mereka sendiri sebagai
"Kaum Bhagawata" dan agama ini terbentuk pada abad ke-2 SM (zaman Resi
Patanjali), atau sekurang-kurangnya pada abad ke-4 SM menurut bukti-bukti
Megasthenes dan dalam kitab Arthasastra karya Kautilya, ketika Bāsudewa dipuja
sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara monoteistik yang kuat, dimana Yang
Mahakuasa adalah sempurna, kekal, dan penuh karunia. Dalam berbagai sumber di
luar pemujaan, pemuja atau bhakta dianggap sebagai Basudewaka (Vāsudevaka).Kitab
Hariwangsa menggambarkan hubungan yang rumit antara Kresna Basudewa,
Sangkarsana, Pradyumna dan Aniruda yang kemudian akan membentuk konsep Waisnawa
tentang empat manifestasi yang utama, atau awatara.
Tradisi Dewi Nurmayasari BhaktiBhakti
berarti ketaatan, yang tidak terbatas pada satu dewa saja. Akan tetapi Kresna
merupakan dewa yang penting dan populer dalam aspek kebaktian dan sukacita
dalam agama Hindu, khususnya di antara sekte-sekte Waisnawa. Penyembah Kresna
menganut konsep lila, yang berarti 'sandiwara ilahi', sebagai prinsip pokok di
Alam Semesta. Para lila Kresna, dengan ungkapan kasih sayang mereka yang
melampaui batas-batas cara penghormatan secara resmi, berfungsi sebagai
pengiring aksi-kasi yang dilakukan awatara Wisnu lainnya: Rama.
Gerakan
Bhakti yang menyembah Kresna menjadi terkemuka di India Selatan selama abad
ke-7 sampai ke-9 Masehi. Karya-karya tertua meliputi syair-syair yang ditulis
para Alvar (orang suci) di negara-negara berbahasa Tamil. Kumpulan utama dari
karya-karya mereka adalah Divya Prabandham. Kumpulan lagu terkenal karya Alvar
Andal yaitu Tiruppavai, saat ia membayangkan dirinya sebagai seorang gopi
(wanita pemerah susu), adalah karya terkenal di antara karya-karya tertua dalam
genre ini.Mukundamala karya Kulasekaraazhvaar adalah karya terkenal lainnya
pada masanya.
Penyebaran Gerakan Bhakti Kresna
Gerakan
Bhakti menyebar secara cepat dari India Utara ke Selatan, dengan syair
berbahasa Sanskerta Gita Govinda karya Jayadeva (abad ke-12 M) sebagai pertanda
karya sastra dalam pemujaan Kresna. Syair tersebut menguraikan legenda Kresna
tentang gopi istimewa yang menjadi kekasihnya, yakni Radha, yang kurang dibahas
dalam kitab Bhagawatapurana, namun dibahas sebagai tokoh penting dalam kitab
lainnya, misalnya Brahmawaiwartapurana. Dengan pengaruh Gita Govinda, Radha
menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam pemujaan Kresna.
Saat
sebagian masyarakat terpelajar yang fasih dalam bahasa Sanskerta bisa menikmati
karya-karya seperti Gita Govinda atau Krishna-Karnamritam karya Bilwanggala,
massa juga menyanyikan lagu-lagu lain karya penyair pemuja Kresna, yang terdiri
dalam berbagai bahasa daerah di India. Lagu-lagu ini mencerminkan pengabdian
pribadi yang kuat yang ditulis oleh pemuja Kresna dari seluruh lapisan
masyarakat. Lagu-lagu karya Meera dan Surdas menjadi pertanda dari penyembahan
Kresna di India Utara.
Pada abad
ke-11 Masehi, aliran Waisnawa Bhakti dengan kerangka teologi yang rumit tentang
penyembahan Kresna didirikan di India Utara. Nimbarka (abad ke-11 M),
Wallabhacharya (abad ke-15 M) dan Caitanya Mahaprabhu (abad ke-16 M) adalah
pendiri aliran yang paling berpengaruh. Aliran-aliran ini, yaitu Nimbarka
Sampradaya, Wallabha Sampradaya dan Gaudiya Waisnawa, memandang Kresna sebagai
dewa tertinggi, bukan awatara, seperti pada umumnya.
Di Deccan,
khususnya di Maharashtra, penyair dari sekte Varkari seperti Dnyaneshwar,
Namdev, Janabai, Eknath dan Tukaram mempromosikan pemujaan Witoba, wujud Kresna
di daerah tertentu, dari awal abad ke-13 sampai akhir abad ke-18. Di India
Selatan, Purandara Dasa dan Kanakadasa dari Karnataka menggubah lagu yang
didedikasikan untuk citra Kresna di Udupi. Rupa Goswami dari aliran Gaudiya
Waisnawa, telah menyusun ringkasan umum tentang bhakti yang disebut
Bhakti-rasamrita-sindhu.
Di Dunia Barat
Sejak tahun
1966, Gerakan Bhakti Kresna telah menyebar keluar India. Penyebab utamanya
adalah misi yang dilakukan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran
Krishna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON), lebih
dikenal sebagai Gerakan Hare Krishna. Gerakan tersebut didirikan oleh
Bhaktivedanta Swami Prabhupada, yang diinstruksikan oleh guru Beliau,
Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura, untuk menulis tentang Kresna dalam bahasa
Inggris dan menyebarkan filsafat Gaudiya Waisnawa kepada masyarakat di Dunia
Barat.
Dalam kesenian
Dalam
mendiskusikan asal mula seni pertunjukkan India, Horwitz menyinggung adanya
kisah tentang Kresna dalam Mahabhashya karya Patanjali (sekitar 150 SM), yaitu
saat episode terbunuhnya Kangsa (Kamsa Vadha) dan "pengikatan raksasa
penyerbu surga" (Bali Bandha) dijelaskan. Balacharitam dan Dutavakyam
karya Bhasa (sekitar 400 SM) adalah lakon berbahasa Sanskerta yang terpusat
pada Kresna. Mulanya hanya pembeberan masa kecilnya, dan kemudian lakon satu
babak yang berdasarkan satu episode dalam Mahabharata, saat Kresna berusaha
mendamaikan dua sepupu yang bertikai.
Sejak abad
ke-10 M, dengan berkembangnya Gerakan Bhakti, Kresna menjadi subjek favorit dalam
kesenian. Lagu-lagu Gita Govinda menjadi terkenal di antero India, dan terdapat
banyak imitasi. Lagu tersebut disusun oleh penyair gerakan Bhakti, dimasukkan
ke dalam kelompok lagu rakyat maupun klasik.
Dalam
legenda Hindu, tarian yang dilakukan Kresna bersama kekasihnya, Radha, dan para
gadis pemerah susu dikenal sebagai "Rasa lila", atau "Tarian
Kasih Sayang Ilahi". Rasa lila menjadi tema populer dalam tari
Bharatanatyam, Odissi dan Kuchipudi. Rasa lila menjadi bentuk seni pertunjukkan
rakyat populer di Mathura, Vrindavan di Uttar Pradesh, khususnya selama hari
raya Krishna Janmashtami dan Holi, dan di antara berbagai pengikut Gaudiya
Waisnawa di wilayah tersebut. Rasa lila juga dihormati sebagai salah satu
Fetival Nasional di Assam. Dalam kitab Bhagawatapurana dinyatakan bahwa
siapapun yang mendengarkan atau menggambarkan Rasa lila dengan penuh keyakinan
maka akan mencapai "pengabdian atas rasa cinta sejati" dari Kresna
(Suddha-bhakti).
Tarian
Sattriya, yang diciptakan oleh tokoh suci Waisnawa dari Assam, Sankardeva,
memuliakan kebajikan dari Kresna. Pada Abad Pertengahan, di Maharashtra
tercipta suatu bentuk seni bercerita yang dikenal sebagai Hari-Katha, yang
menceritakan kisah-kisah dan ajaran Waisnawa melalui musik, tarian, dan urutan
narasi, dan kisah tentang Kresna adalah salah satu bagiannya. Tradisi ini
berkembang hingga ke Tamil Nadu dan negara bagian India lainnya di sebelah
selatan, dan kini populer di seluruh India.
Krishnalila
Tarangini karya Narayana Tirtha (abad ke-17 M) yang menyediakan unsur-unsur
dari lakon musikal Bhagavata-Mela menceritakan kisah Kresna semenjak lahir
hingga pernikahannya dengan Rukmini. Tyagaraja (abad ke-18 M) menulis beberapa
karya yang sama tentang Kresna, disebut Nauka-Charitam. Penuturan Kresna dari berbagai
Purana dipentaskan dalam Yakshagana, seni pertunjukkan asli dari daerah
Karnataka, India. Banyak film dalam berbagai bahasa di India telah dibuat
berdasarkan cerita ini.
Adaptasi dalam budaya Indonesia
Wiracarita
Mahabharata, yang memuat sebagian riwayat Kresna, terdiri dari delapan belas
buku yang disebut Astadasaparwa (18 parwa). Wiracarita tersebut tidak hanya
terkenal di Asia Selatan, namun juga menyebar ke Asia Tenggara, antara lain
Indonesia. Di Indonesia, beberapa bagiannya, seperti Adiparwa, Wirataparwa,
Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah
dalam bentuk prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi,
pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kediri. Pada
masa itu, dikenal pula proyek penerjemahan dengan istilah "mangjawakěn
byāsamata", yang bermakna membuat latar dalam cerita tersebut seolah-olah
di pulau Jawa.
Wayang Kresna dalam seni pewayangan Bali, yang digambarkan sebagai sosok raja
berkulit hijau.
Di Indonesia,
kisah Kresna yang bersumber dari Mahabharata, Hariwangsa, maupun Purana telah
diadaptasi lalu digubah menjadi kakawin, antara lain Kakawin Kresnayana dan
Kakawin Hariwangsa. Keduanya menceritakan kisah pernikahan Kresna dengan
Rukmini, putri dari kerajaan Widarba. Selain itu, terdapat pula Kakawin
Bhomantaka, yang menceritakan perang antara Kresna dengan raksasa Bhoma.
Di
Indonesia, Mahabharata juga diangkat ke dalam pertunjukkan wayang, dengan
adaptasi dan perubahan seperlunya. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna
dikenal sebagai raja Dwarawati (Dwaraka), kerajaan para keturunan Yadu dan
merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Raja Mandura
(Mathura). Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara (dalam versi
Mahabharata ia merupakan putra kedelapan). Kakaknya bernama Baladewa (Balarama,
alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Sembadra (Subadra), yang dinikahi
oleh Arjuna, sepupunya dari pihak ibu. Kresna memiliki tiga orang istri dan
tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi
Satyabama. Menurut pewayangan, anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden
Samba, dan Siti Sundari.
Pada lakon
Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, beliau berperan sebagai
sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat
utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang
dinamakan Karna Tanding, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada
Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung
Ilahi".
Dalam budaya
pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki
kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga
Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki
senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan
dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet
kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji
Kawrastawan.
Dalam agama lain
Jainisme
Menurut
ajaran Jainisme, terdapat tiga serangkai, yaitu seseorang yang bergelar
Basudewa bersama kakaknya yang bergelar Baladewa, dan musuh mereka yang
bergelar Pratibasudewa. Tiga serangkai tersebut lahir pada setiap zaman dan
dengan nama yang berbeda-beda. Baladewa adalah penegak prinsip Jainisme tentang
tindak tanpa kekerasan. Akan tetapi, Basudewa harus mengabaikan prinsip itu
untuk membunuh Pratibasudewa demi menyelamatkan dunia. Kemudian Basudewa harus
turun ke Naraka (dunia bawah) sebagai hukuman atas tindak kekerasan yang
dilakukannya. Setelah menjalani hukuman, ia dilahirkan sebagai seorang
Tirthankara.
Dalam daftar
63 Shalakapursha atau tokoh termasyhur Jainisme, termasuk di antaranya adalah
24 Tirthankara dan 9 tiga serangkai tersebut. Salah satu tiga serangkai
tersebut adalah Kresna sebagai Basudewa, Balarama sebagai Baladewa, dan
Jarasanda sebagai Pratibasudewa. Menurut Jainisme, ia merupakan sepupu
Neminatha, Tirthankara ke-22. Kisah-kisah tiga serangkai tersebut dapat disimak
dalam Hariwangsa karya Jinasena (bukan kitab Hariwangsa pendukung Mahabharata)
dan Trishashti-shalakapurusha-charita karya Hemachandra.
Agama Buddha
Kisah Kresna
muncul dalam cerita Jataka dalam agama Buddha, terutama dalam Ghatapandita
Jataka, sebagai seorang pangeran dan penakluk legendaris dan Raja India. Dalam
versi agama Buddha, Kresna disebut Basudewa, Kanha dan Kesawa, dan Balarama
merupakan adiknya, disebut pula Baladewa. Detailnya menyerupai cerita yang
dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Basudewa, beserta sembilan saudaranya yang
lain (semuanya merupakan pegulat yang kuat) beserta kakak perempuannya (Anjana)
merebut seluruh Jambudwipa (India) setelah memenggal paman mereka yang dianggap
kejam, yakni Raja Kangsa, kemudian seluruh raja di Jambudwipa dengan
menggunakan Cakra Sudarsana miliknya. Sebagian besar cerita yang memuat
kekalahan Kangsa mengikuti cerita yang terkandung dalam Bhagawatapurana.
Seperti yang
diceritakan dalam Mahabharata, semua saudaranya pada akhirnya tewas karena
kutukan Resi Kanhadipayana (Byasa), juga dikenal sebagai Kresna Dwipayana).
Kresna sendiri tertusuk oleh senjata pemburu karena suatu kesalahpahaman,
meninggalkan Anjanadewi, satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup.
Setelah itu, riwayatnya tidak disebutkan lagi.
Karena
Jataka merupakan cerita yang diberikan menurut sudut pandang Buddha Gautama di
kehidupan sebelumnya (serta kehidupan sebelumnya dari para pengikut Buddha),
maka kisah Kresna pun dianggap sebagai salah satu kehidupan Sariputra, salah
satu murid Buddha yang terkemuka, dan "Dhammasenapati" atau
"Panglima Dharma" dan biasanya digambarkan sebagai "tangan kanan"
Buddha dalam kesenian dan ikonografi Buddha. Sang Bodhisattva, yang lahir dalam
cerita ini sebagai salah satu adiknya bernama Ghatapandita, menyelamatkan
Kresna dari dukacita karena kehilangan putranya. Kresna sebagai manifestasi
kebijaksanaan dan tukang kelakar yang disayangi juga disertakan dalam panteon
agama Buddha di Jepang.
Agama Bahá'í
Umat Bahá'í
meyakini bahwa Kresna adalah seorang "Manifestasi Tuhan", atau salah
seorang dalam rangkaian para nabi yang telah mengungkapkan Firman Tuhan untuk
umat manusia pada waktunya. Maka dari itu, Kresna berada pada posisi yang mulia
bersama Nabi Ibrahim, Musa, Zarathustra, Buddha, Muhammad, Yesus Kristus, Sang
Báb, dan pendiri agama Bahá'í, Bahá'u'lláh.
Ahmadiyyah
Mirza Ghulam
Ahmad, pendiri Ahmadiyyah yang mengakui Kresna sebagai seorang Nabi.
Di Asia
Selatan, anggota komunitas Ahmadiyyah meyakini Kresna sebagai utusan Tuhan,
seperti yang diungkapkan oleh pendiri aliran tersebut, Mirza Ghulam Ahmad.
Ghulam Ahmad juga mengaku memiliki kesamaan dengan Kresna sebagai pembangkit
agama dan moralitas di zaman modern yang misinya adalah mendamaikan umat
manusia dengan Tuhan. Pengikut Ahmadiyyah mempertahankan istilah avatar
(awatara) yang dianggap sama dengan istilah "nabi" dalam tradisi agama
di Timur Tengah sebagai campur tangan Tuhan dengan manusia; seperti Tuhan yang
menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam Kuliah Sialkot,
Ghulam Ahmad menulis:
Jelaslah
bahwa Raja Krishna, sesuai dengan apa yang telah diwahyukan kepadaku, adalah
orang yang benar-benar agung yang sulit untuk menemukan orang sepertinya di
antara para Resi dan Awatara dalam Hindu. Dia adalah seorang Awatara — yaitu,
Nabi — besar pada masanya yang kepadanya Roh Kudus turun dari Tuhan. Dia
berasal dari Tuhan, jaya dan sejahtera. Ia membersihkan tanah Arya dari dosa
dan ternyata Nabi pada zamannya yang kemudian ajarannya diubah dalam berbagai
cara. Dia penuh kasih kepada Tuhan, seorang teman kebajikan dan musuh kejahatan.
Lainnya
Pemujaan
atau penghormatan kepada Kresna telah diangkat dalam berbagai gerakan keagamaan
baru sejak abad ke-19, dan kadang-kadang diikutsertakan dalam panteon eklektik
dalam kitab-kitab okultisme, bersama tokoh-tokoh dari mitologi Yunani, Buddha,
Alkitab, dan bahkan tokoh sejarah.
Sebagai
contoh, Édouard Schuré, tokoh berpengaruh dalam filsafat abadi dan gerakan
okultisme, menganggap Kresna sebagai Inisiasi Agung; sementara itu para ahli
teosofi menghormati Kresna sebagai inkarnasi Maitreya (salah satu dari para
Ahli Kebijaksanaan Kuno), guru spiritual umat manusia yang terpenting setelah
Buddha. Kresna dikanonisasi oleh Aleister Crowley dan dihormati sebagai orang
suci dalam Misa Gnostik dari Ordo Kuil Timur.