MAHABARATA Jarasanda
MAHABARATA Jarasanda
Syahdan di Kerajaan Magadha saat itu memerintah Brihadratha yang
termashyur. Raja itu mempunyai tiga pasukan perang yang terkenal gagah berani.
Raja Brihadratha menikah dengan putri kembar Raja Kasi dan bersumpah akan
selalu bersikap adil kepada kedua istrinya. Sayang, walaupun sudah lama
menikah, mereka belum dikaruniai anak. Ketika merasa sudah tua, ia menyerahkan
tampuk pemerintahan kepada para menterinya lalu pergi ke hutan bersama kedua
istrinya untuk bertapa.
Sebelum mulai bertapa, ia pergi ke pertapaan Resi Kausika,
keturunan Gautama, untuk mengadukan kesedihannya karena tidak dikaruniai anak.
“Wahai Resi yang mulia, aku tidak punya anak seorang pun. Aku
telah menyerahkan pemerintahan kerajaanku kepada orang lain untuk pergi
bertapa. Tolonglah aku, berilah aku anak.”
Resi Kausika merasa iba dan menjawab, “Ambillah ini dan berikan
kepada istrimu. Permohonanmu akan dikabulkan.”
Sambil berkata demikian, ia menyerahkan sebutir mangga yang
kebetulan jatuh di pangkuannya.
Brihadratha membelah mangga pemberian resi itu menjadi dua lalu
memberikannya kepada kedua istrinya dengan adil. Beberapa waktu kemudian kedua
istrinya mengandung dan pada waktunya keduanya melahirkan. Tetapi alangkah
sedihnya Brihadratha karena mereka melahirkan bayi ajaib yang menyeramkan
karena berkaki, bermata, dan bertelinga satu, sementara badan, muka dan
kepalanya hanya setengah. Dengan perasaan sedih bercampur ngeri, Brihadratha
menyuruh kedua istrinya membungkus bayi-bayi itu dengan kain dan membuangnya
jauh-jauh. Kedua bayi dibuang ke gundukan sampah di pinggir kota.
Menjelang senja, pada saat sandyakala, ada raksasa perempuan
lewat di situ. Ia mencium bau daging manusia dalam onggokan sampah.
Diaduk-aduknya gundukan itu dan ia menemukan bungkusan kain berisi dua potong
badan bayi. Dia mengamati dan menyambung-nyambung potongan-potongan badan itu
hingga menjadi satu tubuh bayi manusia yang utuh. Raksasa perempuan itu senang
sekali melihat tubuh itu mulai berdenyut dan bergerak. Ia tidak berniat
membunuh makhluk mungil itu.
Ia menyamar sebagai seorang perempuan tua lalu pergi menghadap
Brihadratha untuk mempersembahkan bayi itu. “Bayi ini putra Tuanku. Ambillah
dan rawatlah dia,” katanya.
Brihadratha dan kedua istrinya menerima bayi itu dengan senang
hati. Bayi yang diberi nama Jarasandha itu dirawat dan diasuh dengan penuh
kasih sayang hingga tumbuh besar dan menjadi pemuda perkasa lagi sakti
mandraguna.
Sementara itu Pandawa memerintah di Indraprastha dengan segala
kebesaran dan penuh kebahagiaan. Para penasihat kerajaan menyarankan agar
Yudhistira melaksanakan upacara rajasuya lalu menggunakan gelar Maharajadiraja
Sesembahan Agung. Mendengar saran-saran itu, Yudhistira ingin bertemu dengan
Krishna untuk meminta nasihat. Krishna, yang mendengar bahwa Yudhistira ingin
menemuinya, segera menyiapkan keretanya dan berangkat ke Indraprastha.
Yudhistira berkata, “Saudara-saudaraku dan para penasihatku
menyarankan agar aku melaksanakan rajasuya, tetapi seperti engkau ketahui,
hanya raja yang dihormati dan dicintai rakyatnya yang dapat melakukan upacara
itu dan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku minta nasihatmu. Engkau raja yang
adil dan bijaksana. Engkau pasti takkan memberikan nasihat hanya untuk
menyenangkan hatiku. Aku percaya kepadamu, nasihatmu akan kuterima karena aku
yakin itu benar dan berguna.”
Krishna menjawab, “Itu benar. Karena itu, engkau tidak bisa
menjadi Maharajadiraja selama Jarasandha, pangeran Magadha yang perkasa, masih
hidup dan belum ditaklukkan. Jarasandha telah menundukkan banyak raja dan
menjajah mereka. Semua kesatria, termasuk Raja Sisupala yang disegani, takut
akan keperkasaannya dan menyerah kepadanya.
“Apakah engkau belum mendengar tentang Kangsa, putra Raja
Ugrasena? Setelah ia menjadi menantu dan sekutu Jarasandha, aku dan rakyatku
menyerang dia. Setelah bertempur selama tiga tahun, aku terpaksa mengakui
kekalahanku. Aku tinggalkan Madhura, pindah ke Dwaraka. Di sana aku membangun
ibukota baru dan sekarang kami hidup damai dan sejahtera. Duryodhana, Karna,
dan raja-raja lain mungkin tidak keberatan akan upacara itu, tetapi Jarasandha
pasti akan menentangmu. Satu-satunya jalan adalah menaklukkan dia, sekaligus
membebaskan raja-raja yang ia tawan atau negeri-negeri yang ia rebut. Itu
artinya, kita harus mengajak mereka untuk bersatu dan bersekutu dengan kita.”
Yudhistira berkata, “Aku sependapat. Aku adalah salah seorang
dari raja-raja yang memerintah dengan baik, adil dan menempuh jalan hidup
bahagia tanpa mengumbar nafsu. Karena bangga akan hasil yang telah dicapainya,
seorang raja bernafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Mengapa seorang raja tak
bisa puas dan bahagia dengan kerajaannya? Sebaiknya aku lupakan saja nafsu
untuk menjadi Maharajadiraja. Gelar itu tidak menarik bagiku. Saudara-saudaraku
dan rakyatkulah yang menginginkannya. Engkau saja takut pada Jarasandha,
apalagi kami. Apa yang bisa kita lakukan?”
Bhima, yang membenci watak lemah dan cepat puas diri, berkata,
“Ambisi adalah kebajikan teragung seorang raja. Apa gunanya menjadi orang kuat
kalau tidak tahu kekuatan sendiri? Aku tak tahan hidup dengan membatasi diriku,
bermalas-malasan, dan cepat puas diri. Barangsiapa dapat menanggalkan
kelemahan, dan secara tepat mempergunakan siasat kekuasaan, pasti akan mampu
menaklukkan mereka yang lebih kuat sekalipun. Kekuatan yang disertai siasat
pasti berhasil. Apa yang tidak dapat dilakukan dengan gabungan kekuatan ragaku,
kebijaksanaan Krishna dan keterampilan Arjuna? Kita pasti dapat mengalahkan
Jarasandha jika kita bertiga bersatu dan mengatur siasat tanpa ragu-ragu dan
cemas.”
Kemudian Krishna bercerita, “Jarasandha harus dibasmi, karena ia
memang menghendaki demikian. Dengan sewenang-wenang ia menawan 86 raja. Ia
merencanakan mengorbankan 100 raja untuk upacara persembahyangan. Karena itu ia
menangkap 14 raja lagi. Jika Bhima dan Arjuna setuju, aku akan menyertai
mereka. Bersama-sama kita basmi Jarasandha dengan siasat, kemudian kita
lepaskan semua raja yang dia tawan.”
Yudhistira tidak senang mendengar nasihat itu. Ia berkata, “Itu
berarti mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku, hanya demi
kepuasan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku tidak mau mengirim mereka untuk
tugas berbahaya ini. Lebih baik kita lupakan saja rencana ini.”
Arjuna berkata, “Apa gunanya kita terlahir sebagai keturunan
kesatria perkasa jika tak pernah melakukan perbuatan jantan? Seorang kesatria
takkan masyhur jika tak pernah menunjukkan kesaktiannya. Semangat adalah induk
segala keberhasilan. Nasib baik akan berpihak pada kita jika kita lakukan tugas
dan kewajiban dengan sungguh-sungguh. Orang kuat bisa gagal jika segan
menggunakan kesaktian dan senjata yang dimilikinya. Sebagian besar kegagalan
terjadi karena seseorang mengabaikan kekuatannya sendiri. Kita tahu kekuatan
kita dan kita tidak takut untuk menggunakannya sebaik mungkin.
“Kenapa engkau merasa seolah-olah kita tidak mampu? Kelak jika
kita sudah tua, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengenakan jubah suci, masuk
ke hutan pergi bertapa dan berpuasa untuk tujuan keagamaan. Sekarang kita masih
muda. Kita harus mengisi hidup dengan tindakan-tindakan perwira sesuai dengan
tradisi keturunan kita.”
Krishna senang mendengar kata-kata Arjuna. Ia menanggapi, “Apa
lagi yang harus dikatakan Arjuna, putra Dewi Kunti dan keturunan wangsa
Bharata? Kematian akan tiba bagi setiap orang; tak peduli dia pahlawan atau
pengecut. Tetapi kewajiban agung para kesatria adalah mengabdi pada bangsa dan
keyakinannya serta menaklukkan musuh dalam perang demi memperjuangkan kebenaran.”
Akhirnya Yudhistira bisa menerima pendapat bahwa melenyapkan
Jarasandha merupakan kewajiban mereka sebagai kesatria. Setelah tercapai kata
sepakat, Krishna berkata, “Hidimba, Hamsa, Kangsa dan sekutu lain Jarasandha
sudah mati. Sekarang inilah saat terbaik untuk menggempur dia. Kita tak perlu
bertempur habis-habisan bersama para prajurit untuk menaklukkan dia. Kita
tantang dia untuk berperang tanding, dengan atau tanpa senjata.”
Kemudian mereka menyusun siasat. Mereka menyamar sebagai pertapa
pengembara yang mengenakan jubah dari kulit kayu. Tangan mereka memegang rumput
darbha suci sesuai tradisi jaman dahulu. Sampai di Magadha, mereka langsung
menuju istana Jarasandha.
Waktu itu Jarasandha mendapat firasat buruk. Ia gelisah.
Pikirannya tidak tenang. Karena itu ia meminta agar para pendita mendoakan
keselamatannya. Sementara itu, ia sendiri tekun berpuasa dan bersamadi.
Krishna, Bhima dan Arjuna yang menyamar sebagai pendita memasuki istana tanpa
bersenjata. Jarasandha menerima mereka dengan baik, lebih-lebih setelah melihat
sikap dan perbawa mereka yang menunjukkan bahwa mereka berasal dari keturunan
terhormat. Bhima dan Arjuna tidak menanggapi tegur sapa Jarasandha agar mereka
tidak terpaksa berbohong.
Krishnalah yang berbicara atas nama mereka bertiga, “Mereka
berdua sedang ber-tapa brata dan tapa bisu adalah laku semadi mereka. Lewat
tengah malam barulah mereka diperkenankan bicara.”
Setelah menjamu tamunya di balairung, Jarasandha kembali ke
istananya.
Lewat tengah malam Jarasandha datang ke balai peristirahatan
ketiga tamunya untuk bercakap-cakap dengan mereka. Ia curiga ketika melihat
lecet-lecet bekas tali busur di tangan ketiga pendita itu, lebih-lebih ketika
memperhatikan wajah mereka yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah
kesatria.
Memang Jarasandha terkenal karena kekuatan raganya yang luar
biasa. Tetapi, ia dilahirkan dengan dua bagian badan terpisah. Barangsiapa bisa
menghantam dan membelah badannya menjadi dua, dia akan mampu melenyapkan
kekuatan Jarasandha. Ibarat sapu lidi yang lepas ikatannya, lidi-lidinya akan
tercerai berai dan sapu itu menjadi tidak berguna. Atau ibarat sebuah negeri
yang rakyatnya bertikai, negeri itu akan runtuh terpecah belah.
Tiba-tiba Jarasandha menegur ketiga pendita itu, meminta mereka
berterus terang. Mau tak mau Krishna menjawab terus terang, “Kami adalah
musuhmu. Kami datang kemari untuk menantangmu bertanding sekarang juga. Silakan
pilih salah satu di antara kami.”
Kemudian mereka memperkenalkan diri masing-masing.
Jarasandha berkata lantang, “Krishna, engkau pengecut! Arjuna
masih bocah, tapi Bhima terkenal akan keperkasaannya. Aku pilih dia. Aku akan
bertarung melawan dia.”
Karena Bhima tidak bersenjata, Jarasandha setuju untuk bertarung
tanpa senjata. Mereka sama-sama kuat. Tiga belas hari lamanya mereka bertarung
tanpa henti, tanpa beristirahat sama sekali. Pada hari keempat belas,
Jarasandha mulai menunjukkan tanda-tanda kecapaian.
Krishna memberi isyarat kepada Bhima bahwa sekaranglah saat yang
tepat untuk membanting Jarasandha ke tanah. Bhima lalu memusatkan tenaganya,
menyambar satu kaki Jarasandha, mengangkat musuhnya tinggi-tinggi,
memutar-mutar tubuhnya dengan kencang, lalu dengan sekuat tenaga
menghempaskannya ke tanah hingga badannya terbelah menjadi dua. Matilah
Jarasandha yang perkasa.
Bhima menarik napas lega, kemudian berteriak lantang menyerukan
kemenangannya.
Tapi … tiba-tiba kedua belahan badan Jarasandha bersambung lagi,
utuh dan lebih kuat. Seketika itu juga Jarasandha bangkit dan menyerang Bhima
dengan cepat. Bhima terpana, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Krishna
memberi isyarat lagi. Kali ini ia mengacungkan sebatang jerami. Jerami itu
dibelahnya menjadi dua lalu masing-masing belahan dibuang ke arah berlawanan.
Bhima mengerti.
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga. Menyambar kedua kaki
musuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutarnya bagai baling-baling, lalu
membantingnya dengan keras. Sekali lagi tubuh Jarasandha terbelah dua. Dengan
tangkas, sebelum kedua belahan itu sempat bertaut lagi, Bhima mengambilnya
dengan kedua tangannya lalu melemparkannya jauh-jauh ke arah berlawanan.
Sekarang Jarasandha benar-benar menemui ajalnya.
Usai bertarung, Krishna, Arjuna, dan Bhima membebaskan semua
tawanan Jarasandha. Para raja itu kembali ke kerajaan masing-masing. Sebelum
kembali ke Indraprastha, ketiga kesatria itu menobatkan putra Jarasandha
sebagai Raja Magadh
Posting Komentar