MAHABARATA Kematian Pandu
MAHABARATA Kematian Pandu
Kematian
Pandu

Pada suatu hari Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam
hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya dan
menyamar sebagai sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak
menyangka bahwa mereka adalah jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat
panahnya, membidik mereka. Dan… meluncurlah anak panah dari tangan Pandu,
melesat cepat, tepat menancap pada tubuh si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan
sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu
terhadap Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui
ajalmu sesaat setelah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.”
Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas
yang penghabisan.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan
putus asa ia memikirkan akibat kutukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada
Bhisma dan Widura. Pandu memutuskan untuk hidup mengembara di hutan bersama
kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk pastu. Ia tahu,
sebenarnya suaminya ingin sekali mempunyai keturunan tetapi tak kuasa
mewujudkannya karena kutukan itu. Sebagai istri yang mencintai dan setia kepada
suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan rahasia
mantra gaib yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk menggunakan mantra itu guna
memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi
permintaan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan mantra itu dan memohon
agar mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucapkan mantra
dan permohonan mereka dikabulkan. Lima dewa turun dari kahyangan menemui kedua
wanita itu. Kemudian, dengan cara gaib Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan
Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan
dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya
‘yang teguh hati dan teguh iman di medan perang’. Putra ini lahir sebagai
titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani karena
keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua
diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin.
Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada
manusia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar,
tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari
Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih
bersih bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, budi
yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran
dan kehormatan. Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan
terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra
kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang
kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi pengaruh
sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang
disebut Pandawa. Kelak, setelah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang
peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti
tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan bermacam-macam
binatang hidup damai bersama manusia yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan
satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah
seharusnya, karena Yang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta seisinya
dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di musim semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri
duduk termangu memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih
merasakan gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalurkan, padahal
alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga
bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan
aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara musim semi
yang segar.
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang
jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana musim semi yang penuh
gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan
mencumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera
tenggelam dalam olah asmara yang menggebu-gebu.
Tetapi… tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga
menghembuskan napas yang penghabisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang
menjelma dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, menunjukkan
kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih karena ia merasa berdosa
dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti,
memohon agar wanita itu bersedia mengasuh anak-anaknya sebab ia akan menyusul
suaminya dengan melakukan satya. Tak ada yang dapat mencegahnya. Dewi Madri
melakukan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar jenazah suaminya.
Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan
anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu
Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, baru berusia belasan tahun. Sampai
di Hastinapura, rombongan itu menghadap Bhisma. Para resi dan pertapa itu
mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra
Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kerajaan
berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara
persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal
abadi.
Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa
lampau telah berlalu bersama suka dukanya, tetapi masa depan akan datang
membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegairahan
orang muda yang terbuai mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang
penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang bisa
menghindarinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak
usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak
keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jika kau meninggalkan Hastinapura dan
melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati menerima nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika
dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu
melewatkan hari-hari mereka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa
agar anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka
lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai mereka mencapai moksha.
+ komentar + 1 komentar
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/01/wijen-bisa-cegah-uban-dan-penuaan-dini.html
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/01/rambut-sehat-dan-kuat-dengan.html
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!
Posting Komentar