MAHABARATA Durna
MAHABARATA Durna
Durna

Drona adalah putra seorang brahmana bernama Bharadwaja. Setelah
selesai mempelajari berbagai kitab Weda dan Wedangga, Drona memusatkan hati dan
pikirannya untuk mempelajari seni dan keahlian mempergunakan senjata dan
peralatan perang. Karena bakat dan ketekunannya, ia menjadi mahir dalam olah
senjata dan menguasai ilmu perang.
Brahmana Bharadwaja berkawan dengan Raja Panchala yang mempunyai
putra bernama Drupada. Pangeran ini adalah kawan Drona dalam belajar olah
senjata dan ilmu perang. Di antara mereka tumbuh rasa persahabatan yang erat
dan mereka saling mengasihi. Semasa masih sama-sama belajar itu, Drupada sering
berkata kepada Drona, kelak jika ia naik takhta menjadi raja, setengah
kerajaannya akan diberikannya kepada Drona.
Setelah tamat belajar, Drona menikah dengan adik Kripa dan
dikaruniai seorang putra yang diberi nama Aswatthama. Ia sangat mencintai istri
dan anaknya dan demi mereka ia berusaha keras untuk memperoleh kekayaan yang
sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa Parasurama sedang
membagi-bagikan kekayaannya kepada para brahmana. Ia lalu pergi menemui
Parasurama. Tetapi sayang, ia datang sangat terlambat. Parasurama telah
membagikan semua kekayaannya kepada para brahmana dan telah bersiap hendak
pergi ke hutan untuk bertapa. Karena ingin memberikan sesuatu kepada Drona,
Parasurama menawarkan untuk mengajarkan ilmu olah senjata berat kepada Drona
karena itulah keahliannya.
Drona menyambut tawaran itu dengan gembira, lebih-lebih karena
ia sendiri sudah mahir berolah senjata. Setelah menyerap ilmu yang diberikan
Parasurama, ia menjadi ahli dalam olah segala macam senjata dan ahli siasat
perang yang tiada tandingnya. Keahliannya itu membuatnya mampu menjadi guru di
istana raja mana pun.
Sementara itu, Raja Panchala wafat dan Drupada dinobatkan
sebagai raja menggantikan ayahnya. Ingat akan persahabatannya dan janji Drupada
untuk memberinya setengah dari kerajaannya setelah ia naik takhta, pergilah
Drona menemui sahabatnya itu. Ia yakin, Drupada pasti akan menyambutnya dengan
gembira dan memenuhi janjinya.
Tetapi, sampai di istana Panchala, Drona kecewa karena sambutan
Drupada sangat dingin. Raja baru itu tidak peduli padanya dan tampak tidak
senang melihatnya. Drupada bahkan berpura-pura tidak kenal, meskipun Drona
sudah memperkenalkan diri dan mengingatkannya akan persahabatan mereka.
Drupada yang haus kekayaan dan kekuasaan berkata, “Hai brahmana,
betapa lancangnya engkau, mengatakan aku ini temanmu. Persahabatan seperti
apakah yang ada antara seorang raja dan seorang pengemis pengembara? Kau pasti
gila, mengatakan ada persahabatan di masa lalu antara aku, raja kerajaan ini,
dengan kau, pengemis miskin. Tak mungkin aku yang kaya raya dan terpelajar
bersahabat dengan pengemis miskin yang tak jelas asal usulnya. Persahabatan
hanya bisa terjalin di antara mereka yang sederajat.”
Setelah berkata demikian, Drupada menyuruh hulubalangnya
mengusir Drona.
Dengan perasaan malu dan amarah yang terpendam, Drona
meninggalkan istana sahabatnya. Hatinya panas oleh kebencian dan dendam yang
membara. Ia bersumpah akan membalas dendam dan menghukum Drupada yang angkuh
dengan penghinaan seperti yang telah diterimanya. Dari Panchala, Drona pergi ke
Hastinapura untuk mencari pekerjaan sebagai guru. Di sana untuk sementara ia
tinggal di rumah kakak iparnya, yaitu Mahaguru Kripa.
Pada suatu hari, para putra raja bermain di luar gerbang istana.
Ketika sedang asyik bermain, bola dan cincin Yudhistira jatuh ke dalam sumur.
Mereka menghentikan permainan dan berdiri mengelilingi sumur itu. Mereka hanya
bisa memandangi bola dan cincin yang tampak berkilau di dasar sumur. Tak
seorang pun tahu bagaimana cara mengambilnya. Ketika itulah, tahu-tahu datang
seorang brahmana berkulit hitam. Brahmana itu memandang mereka sambil
tersenyum.
“Wahai, para Pangeran, Tuan-Tuan adalah keturunan wangsa Bharata
yang perkasa,” kata brahmana itu mengejutkan mereka. “Mengapa Tuan-Tuan tidak
bisa mengambil bola itu dari dalam sumur? Bukankah siapapun yang mahir berolah
senjata perang mengetahui cara mengambil bola itu? Atau … bolehkah aku menolong
kalian?”
Yudhistira berkata sambil tertawa,
“Wahai, Brahmana, kalau kau memang bisa mengambil bola itu, kami
akan menjamu engkau dengan makanan enak di rumah Mahaguru Kripa.”
Brahmana berkulit hitam itu mengambil sehelai rumput,
mengucapkan mantra, lalu membidikkan rumput itu ke arah bola di dalam sumur.
Seperti anak panah lepas dan busurnya, rumput itu melesat ke bawah lalu
menancap pada sasaran. Brahmana itu membidikkan beberapa helai rumput lagi.
Rumput-rumput itu menancap sambung-menyambung menjadi semacam tali panjang.
Setelah tali itu cukup panjang, brahmana itu menariknya dan bola itu berhasil
dikeluarkan dan dalam sumur.
Para pangeran takjub melihat kepandaian brahmana itu. Kemudian
mereka memintanya mengambilkan cincin Yudhistira. Brahmana itu menyanggupi. Ia
meminjam sebatang anak panah lalu membidikkan anak panah itu ke arah cincin di
dasar sumur. Sekali lagi ia berhasil mengenai sasaran. Kemudian ia menarik anak
panah itu dari dalam sumur, bersama cincin yang kemudian diserahkannya kepada
Yudhistira sambil tersenyum.
Menyaksikan semua itu, para putra raja itu semakin takjub. Salah
seorang dari mereka berkata sambil membungkuk memberi hormat, “Selamat untukmu,
wahai Brahmana. Siapakah sebenarnya engkau ini? Apa yang dapat kami perbuat
untukmu?”
Brahmana itu berkata, “Putra-putra raja yang belia, pergilah
bertanya kepada Bhisma. Dialah yang tahu, siapa sebenarnya aku ini.”
Dari gambaran yang dilukiskan oleh putra-putra raja itu, Bhisma
menyimpulkan bahwa brahmana itu tak lain dan tak bukan adalah Drona, kesatria
sakti yang termasyhur. Bhisma memutuskan bahwa Drona adalah orang yang paling
tepat untuk memberikan pendidikan lanjutan kepada Pandawa dan Kaurawa. Ia
menyuruh Yudhistira memanggil brahmana itu untuk menghadap di istana.
Demikianlah, Bhisma menerima Drona dengan penghormatan istimewa
dan mengangkatnya sebagai guru Pandawa dan Kaurawa dengan tugas mengajarkan
keterampilan olah senjata, berat maupun ringan, dan mengajarkan berbagai ilmu
perang.
Setelah Pandawa dan Kaurawa cukup menguasai olah senjata dan
siasat perang, Drona mengutus Karna dan Duryodhana menangkap Drupada
hidup-hidup. Dia berkata bahwa itu adalah tugas dan kewajiban yang harus
dijalani seorang siswa sebelum ia dinyatakan berhasil menamatkan pelajarannya.
Kedua orang itu pergi menjalankan perintah guru mereka. Sayang, mereka gagal
melaksanakannnya. Kemudian Drona mengutus Arjuna dengan tugas yang sama. Arjuna
berhasil mengalahkan Drupada dan menangkapnya hidup-hidup. Ia kembali ke
Hastinapura bersama tawanannya yang kemudian diserahkannya kepada Drona.
Sambil tersenyum Drona berkata kepada Drupada, “Paduka Tuanku
Raja Yang Agung, jangan khawatir akan keselamatan jiwamu. Di masa muda kita
pernah bersahabat. Tetapi, dengan sengaja engkau melupakan persahabatan kita.
Engkau bahkan menghina dan mengusir aku dari istanamu. Engkau pernah berkata,
bahwa seorang raja hanya bersahabat dengan sesama raja, bahwa persahabatan
hanya bisa terjalin di antara orang-orang yang sederajat. Sekarang aku telah
menjadi raja dan muridku telah menaklukkan kerajaanmu. Meskipun begitu, aku
ingin memulihkan persahabatan kita. Karena itu, kuberikan padamu setengah dari
kerajaanmu yang telah menjadi milikku.”
Setelah berkata begitu, Drona menyuruh Arjuna membebaskan
Drupada, mengawalnya kembali ke Kerajaan Panchala, dan memperlakukannya dengan
penuh penghormatan. Drupada yang menerima perlakuan itu justru merasa sangat
terhina. Seandainya Drona memperlakukannya dengan kasar dan kejam, dia lebih
bisa menerima. Tetapi … penghinaan halus yang dibungkus penghormatan justru
terasa lebih kejam dan lebih menyakitkan hati.
Drona puas, dendamnya telah terbalas. Sementara Drupada
merasakan akar-akar dendam dan kebencian kepada Drona mulai menancap
dalam-dalam di hatinya. Dalam hidup ini hanya sedikit sekali yang dapat
diderita oleh hati melebihi luka yang ditancapkan untuk merusak kehormatan
seseorang.
Dengan hati gelap penuh dendam, Drupada melaksanakan
upacara-upacara keagamaan untuk memohon kepada para dewata agar dianugerahi
seorang anak laki-laki yang kelak bisa membalaskan dendamnya dengan membunuh
Drona dan seorang anak perempuan yang kelak akan menikah dengan Arjuna. Usaha
Drupada berhasil. Istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Dristadyumna dan seorang anak perempuan yang diberi nama Draupadi. Kelak
Dristadyumna menjadi senapati agung yang memimpin balatentara Pandawa dalam
perang besar di padang Kurukshetra dan Draupadi menjadi istri Arjuna ( Pandawa
)
Posting Komentar