MAHABARATA Undangan Bermain Dadu
MAHABARATA Undangan Bermain Dadu
Duryodana berpura-pura menyembah Yudistira
Upacara rajasuya selesai. Para raja, putra mahkota, pendita,
penasihat, guru dan para tamu agung lainnya meninggalkan Indraprastha.
Setelah para tamu pergi, Dharmaputra menyembah Bhagawan Wyasa
dan disuruh duduk di sampingnya. Mahaguru itu berkata kepadanya,
“Wahai, putra Dewi Kunti, engkau kini bergelar Maharajadiraja.
Sungguh gelar yang pantas sekali bagimu. Kudoakan, semoga bangsa Kuru yang
masyhur ini mencapai kemuliaannya melalui engkau. Sekarang, aku akan kembali ke
pertapaanku.”
Yudhistira menyembah kaki mahaguru itu sambil berkata,
“Wahai, Guru, hanya Gurulah yang dapat menghapus kecemasanku.
Banyak peristiwa penting baru saja terjadi. Hanya orang bijaksana yang dapat
meramalkan malapetaka apa yang akan terjadi karena peristiwa-peristiwa itu.
Apakah menurut ramalan Guru, hal itu tercermin dalam kematian Sisupala? Atau …
apakah ada kemungkinan yang lebih mengerikan di masa datang?”
Bhagawan Wyasa menjawab, “Anakku tercinta, engkau akan mengalami
banyak kesusahan dan penderitaan selama empat belas tahun mendatang. Peristiwa
teramat penting yang baru saja berlalu tadi meramalkan kehancuran kaum kesatria
dan itu tidak berhenti pada kematian Sisupala. Jauh lebih mengerikan daripada
itu! Ratusan raja akan tewas dalam perang besar. Alur kehidupan lama akan
hancur. Malapetaka akan timbul karena permusuhan antara kau dan adik-adikmu di
satu pihak dan sepupumu, putra-putra Dritarastra, di lain pihak. Permusuhan itu
akan memuncak dalam satu perang besar yang memusnahkan kaum kesatria. Tak
seorang pun bisa melawan atau menghindari suratan nasibnya. Teguhkan hatimu dan
tegakkan keluhuran budimu. Waspadalah dan perintahlah rakyatmu dengan
bijaksana. Selamat tinggal!”
Setelah memberikan restu kepada Yudhistira, Bhagawan Wyasa meninggalkan
Indraprastha.
Ramalan Bhagawan Wyasa membuat Yudhistira sedih dan merasa jijik
terhadap nafsu-nafsu duniawi. Ia menyampaikan ramalan itu kepada adik-adiknya.
Ia merasa hidupnya sia-sia karena kepunahan bangsanya sudah diramalkan.
Arjuna berkata, “Engkau seorang raja. Tak pantas kau mempercayai
hasutan dan ancaman seperti itu. Kita hadapi nasib kita dengan penuh keberanian
dan kita lakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
Yudhistira menjawab, “Saudara-saudaraku, semoga iman kita
diteguhkan oleh Yang Kuasa dan semoga Yang Kuasa selalu melindungi kita. Aku
bersumpah, aku tidak akan bicara lemah dan kasar kepada saudara-saudara dan
sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala hal yang
mungkin menimbulkan sengketa. Aku tidak akan pernah marah, sebab kemarahan
adalah pangkal permusuhan. Semoga kita diberi jalan terbaik setelah mengetahui
peringatan dari Bhagawan Wyasa.”
Semua saudaranya mendukung sumpahnya.
Menurut Bhagawan Wyasa, rangkaian malapetaka yang akan memuncak
dalam perang besar di padang Kurukshetra berawal dari perjudian yang
direncanakan Sakuni, penasihat Duryodhana. Sakuni menyarankan agar Duryodhana
mengundang Yudhistira bermain dadu. Di balik itu, ia sudah menyiapkan rencana
licik.
Sesuai adat di jaman itu, Yudhistira tidak mungkin menolak
undangan sepupunya. Ia menerima undangan itu dengan prihatin dan bersedia
memenuhinya demi kewajibannya untuk menghormati sepupunya dan memupuk rasa
persaudaraan dengannya. Ia mengira keputusannya benar, padahal yang akan
terjadi justru sebaliknya! Tanpa disadarinya, Yudhistira telah ikut menanam
benih kebencian dan kemusnahan.
Sementara Yudhistira berusaha keras menghindari perselisihan,
Duryodhana justru panas hati karena dengki dan iri melihat kemakmuran kerajaan
yang dipimpin Pandawa. Hal itu dilihatnya sewaktu ia menghadiri upacara
rajasuya. Istana Indraprastha dibangun megah dan dikelilingi taman yang luas
dan indah. Ukiran dan berbagai hiasan dari emas, perak dan permata membuat
istana itu semakin semarak. Semua itu menandakan bahwa Yudhistira benar-benar
memerintah dengan baik dan adil. Ia juga menyaksikan betapa gembiranya para
raja yang menjadi sekutu Yudhistira.
Sakuni menyapa, “Mengapa engkau berdiam diri? Jangan biarkan
duka menyiksa dirimu.”
Duryodhana menjawab, “Yudhistira dilindungi para dewata. Di
depan semua raja, Sisupala dibunuh dan tak seorang pun berani membela dia.
Seperti pedagang yang hanya mementingkan keselamatan diri dan lakunya
dagangannya, para raja itu bersedia menjual kehormatan dan kekayaan mereka
asalkan bisa bergabung dengan Yudhistira. Bagaimana aku tidak sedih melihat
semua ini? Apa gunanya hidup seperti ini?”
Sakuni berkata,
“Wahai Duryodhana, Pandawa adalah sepupumu. Tidak pantas engkau
iri melihat kemakmuran mereka. Mereka memperoleh kerajaan dan kekayaan itu
dengan sah. Tetapi, kita dapat mengundang Yudhistira untuk bermain dadu dengan
dalih untuk bersenang-senang dan mempererat persaudaraan. Dia tak mungkin
menolak undangan seperti itu. Kelak, Bhisma, Mahaguru Kripa, Jayadratha,
Somadatta dan aku akan mendukungmu. Engkau pasti bisa menaklukkan dunia jika
kau mau. Jangan biarkan duka merongrong dirimu!”
Duryodhana menjawab, “Benar katamu, Paman Sakuni, aku punya
banyak pendukung. Jadi, mengapa tidak kita gempur saja Pandawa dan kita usir
mereka dari Indraprastha?”
Sakuni berkata, “Tidak. Itu tidak mudah. Tetapi, aku tahu cara
mengusir Pandawa dari Indraprastha, tanpa pertempuran dan pertumpahan darah.”
Duryodhana tertarik mendengar itu. Ia bertanya keheranan, “Hai,
Paman Sakuni, apakah mungkin mengalahkan Pandawa tanpa mengorbankan jiwa? Apa
rencanamu, Paman?”
Kata Sakuni, “Aku tahu Yudhistira gemar main dadu, tetapi tidak
pandai. Ia terlalu jujur dan sama sekali tak tahu akal dan siasat untuk
memenangkan permainan. Karena itu, ia tak pernah menang. Kita undang ia bermain
dadu, kita gunakan akal dan siasat. Kita akan pertaruhkan kekayaan dan kerajaan
Astina. Dia pasti akan mempertaruhkan kekayaan dan kerajaannya. Jika semua
terlaksana sesuai rencana, kita pasti bisa memenangkan kekayaannya dan kerajaannya
tanpa perlu menitikkan darah setetes pun.”
Duryodhana dan Sakuni lalu menghadap Raja Dritarastra. Sakuni
berkata, “Tuanku Raja, Duryodhana diliputi perasaan sedih dan cemas. Tetapi,
mengapa Tuanku tak hiraukan kesedihan dan kecemasannya? Apa sebabnya, wahai
Paduka Raja?”
Raja yang buta itu memeluk putranya tercinta sambil berkata,
“Aku tidak tahu mengapa engkau bersedih. Apa yang kaurisaukan? Seisi kerajaan
ini ada dalam kekuasaanmu. Bukankah selama ini kau dikelilingi berbagai hiburan
dan kesenangan? Mengapa kau sedih? Engkau telah mempelajari kitab-kitab Weda,
ilmu peperangan dan ilmu-ilmu lain dari para mahaguru terbaik. Sebagai putra
sulungku kau mewarisi mahkota. Apa lagi yang masih kau kehendaki?”
Duryodhana menjawab, “Ayahanda, meski hidupku dikelilingi
hiburan dan kesenangan, meski seisi kerajaan ini tunduk padaku, aku tetap
merasa hidupku tak berguna karena Pandawa memerintah kerajaannya dengan baik
dan rakyat mencintai mereka. Aku merasa mereka lebih berhasil daripada aku. Apa
gunanya hidup seperti ini?”
Melihat ayahnya diam mendengarkan, Duryodhana melanjutkan,
“Cepat puas diri bukanlah sifat seorang kesatria. Rasa takut dan mengasihani
diri sendiri adalah sifat-sifat yang merendahkan martabat raja-raja. Kekayaan
dan kesenanganku tidak membuatku puas setelah aku melihat —dengan mataku
sendiri— kemakmuran Yudhistira. Tidakkah Ayah sadari, Pandawa semakin kaya dan
perkasa sementara kita semakin lemah dan pudar.”
Dritarastra berkata, “Anakku tercinta, engkau adalah putra
sulung dari istriku tertua. Engkau mewarisi kemegahan dan kebesaran bangsa
kita. Jangan membenci Pandawa. Kebencian akan membuahkan kesedihan dan
kematian. Katakan terus terang, mengapa engkau membenci Yudhistira yang tidak
bersalah. Bukankah keberhasilannya juga berarti keberhasilan kita? Sahabatnya
adalah sahabat kita. Apalagi karena ia sama sekali tidak iri atau membenci
kita. Jangan kotori hatimu dengan iri dan dengki!”
Duryodhana kecewa mendengar jawaban ayahnya. Ia menyahut dengan
tidak sopan, “Orang yang tidak punya pengetahuan tentang hal-hal biasa tetapi
tenggelam dalam samudera ilmu ibarat sepotong sendok yang ditenggelamkan ke
dalam masakan yang enak. Ia berada di dalam masakan tetapi tak bisa menikmati
kelezatannya dan tak bisa memperoleh manfaatnya.
“Ayah banyak mempelajari ilmu ketatanegaraan, tetapi tidak bijak
dalam memerintah. Seperti selalu Ayah ajarkan padaku, keadaan dunia adalah
sesuatu, sedangkan urusan kerajaan adalah sesuatu yang lain. Seperti kata
Brihaspati, meneguhkan iman dan merasa puas akan keadaan itu adalah nasihat
yang cocok bagi orang biasa, bukan bagi raja. Kewajiban kesatria adalah selalu
mencari kemenangan, dengan segala cara. Jadi Raja, sebagai kesatria, harus
mencari kemenangan.”
Demikianlah Duryodhana bicara dengan mengutip ucapan para ahli
pemerintahan. Ia juga menghasut ayahnya agar mau memberinya ijin.
Sakuni menyela, menjelaskan rencananya untuk mengundang
Yudhistira bermain dadu. Dengan begitu, Pandawa pasti dapat ditaklukkan tanpa
pertumpahan darah. Sakuni meyakinkan sang Raja, “Cukup ijinkan kami mengirim
utusan untuk mengundang Pandawa bermain dadu. Selebihnya serahkan padaku.”
Duryodhana menambahkan, “Jika Ayah setuju, Paman Sakuni akan
memenangkan permainan ini atas namaku. Tak perlu ada pertarungan.”
Dritarastra berkata, “Usul Sakuni tidak pantas. Sebaiknya kita
tanyakan hal ini kepada Widura. Ia pasti memberi nasihat yang benar kepada
kita.”
Tetapi Duryodhana tidak mau mendengar pendapat Widura. Ia
berkata,
“Widura hanya bisa memberi nasihat yang membosankan tentang budi
pekerti, tapi ia tidak mampu menolong kita untuk mencapai maksud kita. Dalam
langkah pelaksanaan untuk memperoleh hasil terbaik, siasat kenegaraan para raja
tidak harus sama dengan isi kitab-kitab ilmu pemerintahan yang baik, yang
dilengkapi dengan cara-cara melaksanakannya. Kecuali itu, Widura tidak suka
padaku dan lebih memihak Pandawa. Ayah tentu lebih tahu tentang ini daripada
aku.”
Dritarastra berkata, “Pandawa itu kuat. Menurutku, memusuhi
mereka tidaklah bijaksana. Permainan dadu hanya akan menyeret kita dalam
permusuhan. Nafsu serakah yang timbul akibat permainan ini tidak mengenal
batas. Kita harus hindari hal ini.”
Tetapi Duryodhana terus mendesak, “Kepemimpinan negara yang
bijak terletak pada keberanian untuk membela diri dengan kekuatan sendiri dan
mengenyahkan segala ketakutan. Bukankah lebih baik jika kita laksanakan rencana
itu selagi kita masih lebih kuat daripada mereka? Ini keputusan yang paling
benar! Kesempatan tidak akan datang dua kali. Permainan dadu melawan Pandawa
bukanlah siasat buatan kita. Permainan ini sudah merupakan tradisi para
kestaria sejak jaman dahulu. Dan kalau kita yakin bisa menang tanpa pertumpahan
darah, mengapa tidak?”
Dritarastra menjawab, “Anakku tercinta, Ayah sudah tua.
Lakukanlah apa yang ingin kaulakukan. Tetapi aku tidak merestuimu. Ayah yakin,
kelak engkau pasti menyesal. Semua ini sebenarnya sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa.”
Demikianlah, setelah lelah berdebat Dritarastra membiarkan
putranya melakukan apa yang dimauinya. Kemudian ia menyuruh para budak
membangun balairung indah khusus untuk bermain dadu walaupun hati kecilnya
sedih dan cemas membayangkan akibatnya nanti. Diam-diam ia menghubungi Widura
dan meminta pendapatnya.
Widura berkata, “Tuanku Raja, permainan itu pasti akan
menghancurkan bangsa kita karena permainan itu memupuk dan mengobarkan
kebencian yang tak mungkin dibendung.”
Dritarastra yang tidak dapat menghalang-halangi kemauan anaknya
berkata, “Bila nasib kita baik, aku tidak khawatir. Tetapi jika nasib baik
tidak berpihak pada kita, apa yang bisa kita perbuat? Kodrat dan nasib telah
digariskan Yang Maha Kuasa. Pergilah engkau, Widura, untuk atas namaku
mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura.”
Posting Komentar