MAHABARATA Sayembara Memperebutkan Drupadi
MAHABARATA Sayembara Memperebutkan Drupadi
Draupadi

Sementara Pandawa dan Dewi Kunti masih tinggal di Ekacakra dan
masih menyamar sebagai brahmana, mereka mendengar berita tentang sayembara
memperebutkan Draupadi, putri mahkota Kerajaan Panchala.
Menurut tradisi agung pada jaman itu, seorang raja yang
mempunyai putri yang sudah dewasa wajib menyelenggarakan sayembara untuk
mencari calon mempelai yang pantas bagi putrinya. Demikianlah, Raja Drupada
dari Kerajaan Panchala yang makmur mengumumkan sayembara untuk memperebutkan
Draupadi, putrinya yang terkenal cantik, anggun, dan berbudi halus. Para putra
mahkota dan pangeran dari berbagai kerajaan diundang untuk mengikuti sayembara
itu. Pemenangnya berhak menyunting Dewi Draupadi sebagai istrinya.
Sebagai ibu yang bijaksana, Dewi Kunti tahu bahwa anak-anaknya
ingin pergi ke Panchala untuk mengikuti sayembara itu. Agar putra-putranya
tidak malu mengutarakan isi hati, dengan halus ia berkata kepada Dharmaputra,
“Sudah lama kita tinggal di negeri ini. Sudah waktunya kita pergi dan
melihat-lihat negeri lain. Ibu sudah bosan melihat gunung, lembah, sungai dan
alam sekitar sini. Sedekah yang kita peroleh semakin lama semakin sedikit.
Jadi, tak ada gunanya kita tinggal lebih lama di sini. Marilah kita pergi ke Kerajaan
Panchala yang subur dan makmur.”
Maka berangkatlah Pandawa bersama para brahmana lainnya,
meninggalkan Ekacakra menuju Panchala. Setelah menempuh perjalanan
berhari-hari, akhirnya mereka tiba di ibukota Kerajaan Panchala yang indah.
Pandawa menumpang di rumah seorang tukang kendi dan tetap menyamar sebagai
brahmana agar tidak menarik perhatian.
Tibalah hari sayembara. Rakyat berduyun-duyun memadati arena
sayembara di Panchala untuk menyaksikan para kesatria yang ingin menyunting
Draupadi mengadu nasib dan mempertaruhkan nama mereka. Di tengah arena, di atas
panggung yang kokoh, diletakkan sebuah busur raksasa yang sangat berat, lengkap
dengan anak panahnya.
Barangsiapa mampu mengangkat busur itu, merentangnya, memasang
anak panah, lalu mengenai sasaran yang telah ditentukan dengan anak panah itu,
dialah yang berhak menyunting Draupadi. Sasaran itu digantungkan di belakang
roda cakra yang terus diputar tanpa henti. Tepat di tengah cakra itu ada satu
lubang sempit yang hanya cukup untuk satu anak panah. Hanya kesatria yang mampu
memusatkan pikiran dan memiliki kecakapan memanah melebihi kemampuan manusia
biasa yang bisa memenangkan sayembara itu.
Di sisi lain arena didirikan panggung yang lebih luas dan megah
untuk upacara perkawinan agung. Panggung itu dihias sangat indah, dikelilingi
bangunan-bangunan peristirahatan untuk para tamu. Berbagai hiburan dan pesta
meriah sudah disiapkan untuk merayakan pernikahan Draupadi. Menurut rencana,
keramaian itu akan dilangsungkan selama empat belas hari.
Para pangeran yang tampan dan sakti berdatangan dari mana-mana.
Anak-anak Dritarastra juga hadir, begitu pula Krishna, Sisupala, Jarasandha,
dan Salya. Semua berniat mengikuti sayembara itu. Gamelan ditabuh bertalu-talu,
rakyat berdiri berjejal-jejal sambil bersorak-sorai.
Tiba-tiba bunyi gamelan menjadi lirih, dari arah gerbang istana
muncul arak-arakan megah. Paling depan tampak Dristadyumna menunggang kuda
gagah, disusul Draupadi yang duduk di singgasana di punggung gajah yang tak
kalah gagahnya. Gajah itu diberi pakaian dari sutera warna-warni bertatahkan
emas dan permata. Dengan wajah segar setelah dibasuh air kembang dan mengenakan
pakaian putri mahkota dari sutera berjulai-julai, Draupadi tersenyum
tersipu-sipu memandang rakyat yang berjejal-jejal di sepanjang jalan dari
gerbang istana ke arena. Dengan sikap halus nan anggun, Draupadi turun dari
punggung gajah lalu naik ke panggung upacara. Dengan kalung bunga di tangan,
sesaat sebelum duduk di atas panggung, Draupadi sempat melempar pandang ke arah
para pangeran peserta sayembara yang membalasnya dengan pandang takjub
terpesona.
Gong ditabuh keras menggelegar, tanda sayembara akan segera
dimulai. Para brahmana maju ke depan, mengucapkan mantra-mantra upacara dan
kidung-kidung suci. Suasana terasa damai. Gamelan ditabuh lirih dan khusyuk.
Setelah upacara persembahyangan untuk kemakmuran, ketenteraman
dan kedamaian selesai, Dristadyumna menuntun Draupadi ke tengah arena, ke dekat
tempat busur raksasa diletakkan. Kemudian, dengan suara lantang dan jernih
Dristadyumna mengumumkan, “Para putra mahkota yang kami muliakan, yang hadir di
sini dengan segala kebesaran, kami ucapkan selamat datang dan selamat mengikuti
sayembara ini.
“Kami mohon perhatian Yang Mulia semua. Di sini terletak busur,
di sana anak-anak panah, dan di seberang sana, di ketinggian itu terpasang
sasaran yang harus Tuan-Tuan kenai dengan anak panah. Barangsiapa mampu
mengenai sasaran itu, melewati lubang di pusat cakra itu sebanyak lima kali
berturut-turut, dan berasal dari kelahiran serta keluarga baik-baik, dialah
yang memenangkan sayembara ini. Dia berhak menyunting adikku, Draupadi.”
Kemudian Dristadyumna menoleh kepada adiknya lalu menyampaikan
nama dan riwayat masingmasing putra mahkota yang mengikuti sayembara itu.
Setelah Dristadyumna selesai menyampaikan peraturan sayembara,
satu per satu para putra mahkota maju ke depan. Mereka bergantian mencoba
mengangkat busur itu dan memasang sebatang anak panah. Tetapi busur itu terlalu
berat, begitu pula anak panahnya. Dengan perasaan malu dan menyesal mereka
kembali ke tempat duduk masing-masing. Di antara yang tidak berhasil adalah
Sisupala, Jarasandha, Salya, dan Duryodhana.
Ketika Karna tampil ke depan, para penonton bersorak-sorai.
Karna sangat terkenal akan kepandaiannya memanah. Mereka berharap, kali ini ada
yang berhasil memenangkan sayembara. Sayang, Karna gagal. Anak panahnya meleset
seujung rambut. Kecuali itu, busur mendesing terpelanting begitu anak panah
dilepaskan. Hadirin berteriak-teriak riuh. Ada yang berseru bahwa sayembara itu
terlalu berat dan tak mungkin ada yang bisa memenangkannya. Yang lain menuduh,
sayembara itu sengaja diadakan untuk menjatuhkan nama para putra mahkota yang
mengikutinya.
Demikianlah, keributan itu berlangsung beberapa lama.
Tiba-tiba orang-orang dikagetkan oleh seorang brahmana muda yang
bangkit berdiri, menguak kerumunan penonton, lalu maju ke tengah arena. Ketika
ia menghampiri busur itu, sorak-sorai penonton menggemuruh seakan hendak
merobohkan langit. Para brahmana saling berpandangan. Siapakah brahmana muda yang
berani tampil itu? Mereka berdebat. Ada yang berpendapat bahwa sungguh baik
jika golongan mereka ada yang mewakili. Yang lain berpendapat, seorang brahmana
tidak pantas mengikuti sayembara seperti itu dan bersaing dengan para pangeran.
Kesatria sakti seperti Karna dan Salya saja gagal, apalagi seorang brahmana
yang tak menguasai ilmu olah senjata.
Di antara hiruk-pikuk suara-suara orang berbantah, ada yang
berkata lantang setelah melihat sikap, bentuk badan dan raut wajah brahmana
muda itu, “Tunggu dan perhatikan dia. Melihat sikapnya yang mantap dan
keberaniannya maju ke arena, aku yakin dia tahu benar apa yang dilakukannya.
Siapa tahu, di dalam tubuhnya tersimpan segunung tenaga. Apalagi, sebagai
brahmana dia pasti sangat terlatih dalam samadi dan memusatkan pikiran. Beri
dia kesempatan!”
Orang itu lalu berteriak lantang, menyuruh penonton diam.
Dari tempat busur itu, brahmana itu mendekati Dristadyumna lalu
bertanya, “Bolehkah seorang brahmana mengangkat panah itu?”
Dristadyumna menjawab,
“Wahai brahmana muda, adikku bersedia dipersunting oleh pemenang
sayembara ini. Siapa pun dia, asalkan berasal dari kelahiran dan keluarga
baik-baik. Apa yang sudah terucap tak boleh ditarik lagi. Silakan mencoba, jika
kau mau.”
Brahmana muda yang sebenarnya adalah Arjuna itu diam sejenak,
mengheningkan cipta, memusatkan perhatian dan memohon restu para dewata,
terutama restu Narayana, Hyang Widhi. Kemudian dia mengangkat busur itu dan
menyiapkan lima anak panah pada talinya. Semua itu dilakukannya dengan gerakan
yang ringan, anggun dan tangkas. Orang-orang terpesona. Mereka diam, menahan
napas. Suasana hening.
Sebelum membidik, brahmana muda itu memandang sekeliling sambil
tersenyum. Kemudian ia kembali memusatkan perhatian, mengarahkan busur ke
sasaran. Lalu … secepat kilat dan nyaris tak tertangkap mata, lima anak panah
melesat lepas berurutan, menembus lubang cakra yang terus berputar. Anak panah
pertama tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua menembus anak panah pertama,
yang ketiga menembus yang kedua, dan seterusnya sampai lima anak panah. Cakra
itu belah, jatuh ke tanah.
Keheningan pecah. Sorak-sorai membahana. Gamelan ditabuh
bertalu-talu. Sasaran telah jatuh. Sayembara dinyatakan selesai. Seorang
brahmana muda keluar sebagai pemenangnya.
Para brahmana yang duduk di sekeliling arena bersorak-sorak
gembira sambil melambai-lambaikan selendang mereka yang terbuat dari kulit
menjangan. Mereka merasa, kemenangan brahmana muda itu juga merupakan
kemenangan golongan mereka.
Sorak-sorai semakin meriah ketika Draupadi, yang mengenakan
pakaian sutera kemilau bertatahkan emas permata, bangkit dari tempat duduknya.
Wajahnya bersinar- sinar bahagia. Dengan lembut ia memandang Arjuna, melangkah
anggun mendekatinya, lalu mengalungkan karangan bunga di lehernya. Yudhistira,
Nakula dan Sahadewa meloncat kegirangan lalu lari menemui ibu mereka. Hanya
Bhima yang tinggal, menunggu Arjuna kalau-kalau terjadi apa-apa. Siapa tahu
para pangeran menjadi marah karena merasa terhina.
Benarlah. Seperti dikhawatirkan Bhima, para putra raja menjadi
marah. Mereka berteriak, “Sayembara apa ini? Kemungkinan terpilih sebagai
pengantin laki-laki tidak berlaku bagi kaum brahmana. Jika tidak mau disunting
seorang putra raja, Draupadi harus tetap perawan sampai ia melakukan satya,
terjun ke dalam api pembakaran jenazah. Tak pantas brahmana menyunting putri
raja. Kami menentang perkawinan itu. Kami minta sayembara dibatalkan demi
mempertahankan aturan yang benar. Siapa tahu brahmana itu sesungguhnya berniat jahat!”
Rupa-rupanya keributan tidak bisa dihindarkan. Dengan tangkas
Bhima mencabut sebatang pohon untuk senjata. Lalu ia berdiri di samping Arjuna
dengan sikap siap sedia. Draupadi ketakutan. Ia tak kuasa berkata-kata, hanya
berdiri di samping Arjuna sambil memegangi jubahnya yang terbuat dari kulit
menjangan.
Krishna dan Balarama mencoba menyabarkan para putra raja yang
marah dan membuat keributan. Sementara itu, diam-diam Arjuna mengundurkan diri
keluar arena, diiringkan Draupadi dan dikawal oleh Bhima. Mereka pulang ke
penginapan Pandawa di rumah tukang kendi.
Tanpa mereka ketahui, Dristadyumna membuntuti mereka. Ia melihat
segala sesuatu yang terjadi di rumah tukang kendi itu. Setelah mengetahui siapa
sebenarnya para brahmana itu, ia merasa sangat lega dan gembira.
Diam-diam ia kembali ke istana untuk melapor kepada Raja
Drupada. Katanya, “Ayahanda, aku yakin, brahmana yang memenangkan sayembara itu
sebenarnya adalah Arjuna dan brahmana pengawalnya yang perkasa itu adalah
Bhima. Aku melihat sendiri, Draupadi sama sekali tidak merasa canggung berada
bersama mereka. Aku juga melihat seorang wanita yang berwibawa agung. Wanita
itu pasti Dewi Kunti. Ya, Ayahanda, para brahmana itu sebenarnya adalah
Pandawa.”
Mendengar laporan putranya, Raja Drupada segera mengutus
Dristadyumna dan beberapa punggawa untuk menjemput dan membawa Pandawa ke
istana Panchala.
Atas undangan Raja Drupada, Dewi Kunti dan kelima putranya
datang ke istana. Di hadapan raja itu, Dharmaputra mengaku bahwa mereka adalah
Pandawa. Ia juga menyampaikan keputusan Pandawa bahwa mereka berlima akan
menikah dengan Draupadi. Ketika tahu bahwa mereka Pandawa, Raja Drupada sangat
senang. Tetapi, ketika mendengar bahwa mereka berlima akan menikahi Draupadi,
ia sangat kaget dan kecewa.
Raja Drupada menentang perkawinan itu. Katanya, “Sungguh
perbuatan yang tidak patut? Sungguh tidak bermoral dan bertentangan dengan
tradisi serta kesusilaan? Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa merasuki
kalian?”
Yudhistira menjawab, “Daulat, Paduka Raja, maafkanlah kami.
Ketika hidup sengsara dan terlunta-lunta, kami bersumpah bahwa kami akan
membagi segala sesuatu yang kami miliki. Kami tidak bisa melanggar sumpah itu.
Ibu kami sudah memberikan restunya.”
Mendengar penjelasan itu, Raja Drupada akhirnya mengerti dan perkawinan
agung pun dilangsungkan.
Posting Komentar