MAHABARATA BALE SIGALA-GALA
MAHABARATA BALE SIGALA-GALA
Istana Kayu

Seiring dengan bertambahnya usia dan semakin dalamnya ilmu olah
senjata serta siasat perang yang dipelajari oleh Kaurawa dan Pandawa,
Duryodhana semakin iri melihat keperkasaan Bhima dan kesaktian Arjuna dalam
segala hal. Duryodhana kemudian mengangkat Karna dan Sakuni sebagai
penasihatnya dan menugaskan mereka untuk merencanakan siasat-siasat licik untuk
mengalahkan Pandawa.
Dritarastra, ayah Kaurawa, sebenarnya bijaksana dan sangat
mencintai Pandawa, putra-putra adiknya. Sayangnya, ia berwatak lemah. Dalam
menentukan segala sesuatu, ia terlalu memihak putra-putranya sendiri. Semua
keinginan putra-putranya, terutama keinginan Duryodhana, selalu dikabulkannya.
Tidak jarang, dengan sadar ia menuruti mereka meskipun tahu bahwa mereka salah.
Bagi Duryodhana, yang lebih menyakitkan hati adalah kenyataan
bahwa rakyat Hastina, terutama yang tinggal di ibukota Hastinapura, selalu
memuji-muji Pandawa secara terang-terangan. Mereka senantiasa menyerukan bahwa
Yudhistiralah yang paling tepat dinobatkan sebagai raja, menggantikan
Dritarastra. Rakyat bergerombol di jalan-jalan, memperdebatkan siapa yang
paling pantas menjadi raja mereka. Sering terdengar percakapan seperti ini.
“Dritarastra tidak pantas menjadi raja karena ia buta. Ia tidak
mampu memerintah kerajaan dengan baik karena kekurangannya itu. Bhisma juga
tidak mungkin menjadi raja, karena ia telah bersumpah akan mengabdikan seluruh
hidupnya pada kebenaran, keadilan dan kesucian. Kecuali itu, ia memang tidak
ingin menjadi raja dan sudah bersumpah takkan pernah menikah. Karena itu,
Yudhistiralah yang paling pantas dinobatkan menjadi raja. Hanya dialah yang
akan dapat memerintah wangsa Kuru dan kerajaan ini dengan adil.”
Demikianlah rakyat berbicara di mana-mana. Mendengar semua itu,
telinga Duryodhana terasa panas. Hatinya sakit didera rasa iri dan kebencian.
Ia menghadap ayahnya, mengadukan hal itu. Katanya, “Ayahanda, rakyat kerajaan
ini telah menghina kita. Mereka sama sekali tidak punya rasa hormat kepada
orang-orang yang patut dimuliakan seperti Bhisma dan Ayahanda sendiri. Menurut
mereka, kerajaan ini seharusnya diperintah oleh Yudhistira karena dialah yang
paling pantas menjadi raja.
“Mereka berkata bahwa karena buta, sebenarnya Ayahanda tidak
pantas menjadi raja. Jika mereka bersikeras meminta penobatan Yudhistira, itu
berarti kehancuran bagi kita. Ayahanda telah mengalah kepada Paman Pandu. Kalau
tidak karena Paman Pandu mengundurkan diri, Ayahanda takkan pernah menjadi
raja. Sekarang, jika Yudhistira menuntut haknya untuk menggantikan ayahnya, ke
manakah kita akan pergi? Tak ada lagi kesempatan bagi keturunan kita untuk
menjadi raja, karena hanya keturunan Yudhistira atau Pandawa yang berhak
menjadi raja. Keturunan kita akan menjadi orang-orang miskin yang
menggantungkan hidupnya pada belas kasihan keturunan Pandawa.”
Dritarastra merenung mendengar kata-kata anaknya. Beberapa lama
kemudian dia berkata, “Anakku, apa yang engkau katakan itu benar. Namun, Ayah
percaya, Yudhistira pasti takkan menyimpang dari jalan yang benar dan penuh
kebajikan. Ia mengasihi kita semua. Ia mewarisi semua sifat mulia ayahnya.
Rakyat mengagumi dia dan mereka pasti mendukung dia. Semua menteri dan senapati
juga mencintai Pandu dan mereka pasti akan mengabdi padanya dengan sepenuh
hati. Rakyat memang memuja Pandawa. Kita tak dapat menentang mereka atau
menunggu kesempatan baik untuk mengalahkan Pandawa. Seandainya kita berbuat
tidak adil dan tidak benar, rakyat akan berontak melawan kita. Mereka akan
mengusir kita dan kita akan terjerumus dalam kubangan kutuk dan cemooh.”
Duryodhana menjawab, “Rasa cemas Ayahanda tidak beralasan. Dalam
keadaan paling buruk pun Bhisma tetap tidak akan memihak, sedangkan Aswattama
pasti akan patuh padaku. Dan itu berarti bahwa ayahnya, Mahaguru Drona, dan
Mahaguru Kripa ada di pihak kita. Widura tak mungkin menentang kita secara
terang-terangan, kecuali jika dia punya alasan lain, sebab ia tidak punya
pengikut atau kekuatan apa pun. Kirimlah Pandawa ke Waranawata secepatnya.”
“Ayahanda, sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh dendam dan iri
hati. Aku tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak
enak makan dan tak enak tidur. Semua ini seakan-akan merobek-robek dadaku.
Hidupku terasa penuh siksa dan derita.”
“Ayahanda, segera kirimlah Pandawa ke Waranawata. Setelah itu,
kita akan menghimpun kekuatan kita.”
Setelah Duryodhana berkata demikian, para penasihat raja datang
dan bergantian memberikan nasihat kepada Dritarastra. Mereka semua mendukung
rencana Duryodhana. Kanika, tangan kanan Sakuni dan pemimpin kelompok ini,
mengusulkan kepada Dritarastra, “Paduka, hamba mohon Paduka berhati-hati dan
waspada terhadap anak-anak Pandu, sebab kebaikan dan pengaruh mereka merupakan
ancaman bagi kewibawaan Paduka. Ketahuilah, semakin dekat hubungan keluarga,
semakin dekat dan semakin mengerikan pula bahaya itu. Mereka sangat kuat.”
Dritarastra diam, mendengarkannya sungguh-sungguh.
Kemudian Kanika melanjutkan, “Jangan Paduka gusar kepada hamba
jika hamba katakan bahwa seorang raja harus berkuasa dalam nama, di atas takhta
dan tindakannya, sebab tak seorang pun akan percaya pada kekuatan yang tidak
pernah diperlihatkan. Hal-hal yang berkaitan dengan tata kerajaan memang harus
dirahasiakan. Tetapi, bukti nyata suatu rencana bijak bagi rakyat adalah
pelaksanaannya. Bodoh sekali kalau menunjukkan kemesraan terhadap mereka.”
“Demikianlah, keburukan harus dilenyapkan sama sekali. Ibarat
duri dalam daging, jika dibiarkan akan menyebabkan luka membisul. Musuh yang
perkasa harus dihancurkan, namun musuh yang kecil dan lemah jangan dilalaikan.
Ibarat bara, jika tidak segera dipadamkan bisa berkobar menyala membakar hutan.
Jika tak bisa menghancurkan musuh perkasa dengan kekuatan senjata, kita gunakan
tipu muslihat.”
Duryodhana meyakinkan ayahnya bahwa ia telah berhasil menghimpun
sekutu dan pengikut yang setia. Katanya, “Ananda telah menghadiahkan harta
benda, pangkat dan kehormatan kepada semua pengawal kerajaan Hastina. Ananda
telah membuat mereka bersumpah untuk setia kepada kita. Begitu Ayahanda
mengirim Pandawa ke Waranawata, seisi ibukota dan kerajaan ini akan memihak
kita. Tak ada lagi sekutu Pandawa di kerajaan ini. Begitu kerajaan ini ada di
tangan kita, mereka akan kehilangan kekuasaan. Setelah itu, barulah kita
pikirkan bagaimana caranya melenyapkan mereka.”
Jika seseorang banyak mendengar tentang apa yang sebenarnya
ingin ia yakini, maka ia akan merasa bahwa keyakinannya itu benar. Demikianlah,
pikiran Dritarastra goyah oleh desakan anaknya dan anjuran para penasihatnya.
Tanpa mampu berpikir jernih, ia merestui rencana Duryodhana.
Sejak itu, para senapati Hastina sengaja memuji-muji keindahan
Waranawata di hadapan Pandawa. Mereka membisikkan, bahwa di sana akan diadakan
upacara pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran. Pandawa sama sekali tidak
curiga mendengar semua itu. Lebih-lebih setelah Dritarastra menyuruh mereka
mengikuti upacara itu. Dritarastra menambahkan, bahwa bukan saja upacara itu
sangat penting, tetapi rakyat di Waranawata sudah lama merindukan kunjungan
Pandawa. Demikianlah, Pandawa memutuskan untuk pergi ke Waranawata setelah
mendapat restu dari Bhisma dan para tetua lainnya.
Duryodhana senang karena rencana pertamanya berhasil. Bersama
Karna dan Sakuni, ia menyusun rencana untuk membunuh Dewi Kunti dan Pandawa di
Waranawata. Pertama-tama mereka mengirimkan Purochana dengan perintah rahasia
yang harus dilaksanakan dengan taat dan hati-hati.
Jauh sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata, Purochana sudah
mendahului pergi ke sana dengan tugas membangun istana peristirahatan untuk
Pandawa. Istana itu dibangun dari papan-papan kayu yang diukir indah. Di
sudut-sudut tersembunyi disisipkan bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti
lak, minyak kental, dan karung kering. Semua perabotannya juga terbuat dari
bahanbahan yang mudah terbakar.
Penjagaan diatur secara ketat dan rahasia agar Pandawa tidak
curiga. Sebelum upacara dilaksanakan, di Waranawata diadakan pesta meriah,
lengkap dengan bermacam-macam hiburan dan pertunjukan kesenian.
Rencananya, lewat tengah malam, ketika Pandawa tidur pulas
kecapekan setelah berpesta, istana itu akan dibakar. Kaurawa akan menyambut
Pandawa dengan ramah dan penuh hormat. Jika istana terbakar, rakyat tidak
curiga dan mereka menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi tanpa sengaja dan
tidak akan melemparkan tuduhan kepada mereka. Tak seorang pun akan menyalahkan
Kaurawa, sementara Duryodhana akan puas karena berhasil memusnahkan Pandawa.
Demikianlah
dengan berbagai cara Duryodhana berusaha memusnahkan Pandawa. Hanya Widura yang
ingin menyelamatkan wangsa Kuru dari malapetaka itu
Posting Komentar