MAHABARATA Dritarastra Selalu Cemas
MAHABARATA Dritarastra Selalu Cemas
Melihat Pandawa berangkat meninggalkan
kerajaan menuju hutan tempat mereka dibuang, rakyat merasa sedih. Mereka keluar
rumah berjajar di pinggir jalan, naik ke pohon-pohon dan atap rumah-rumah,
hendak mengucapkan selamat jalan kepada Pandawa. Para pedagang dan putra-putra
bangsawan yang sedang melintas dengan menunggang gajah atau kuda segera
berhenti dan menepi, memberi jalan kepada Pandawa. Mereka memberi salam hormat
dan simpati. Pandawa yang biasanya keluar istana menunggang kuda gagah atau
naik kereta megah, kini berjalan dengan kaki telanjang dan pakaian kumal menuju
hutan belantara.
Raja Dritarastra memanggil Widura dan
memintanya menceritakan suasana keberangkatan Pandawa ke tempat pengasingan
mereka.
Berkatalah Widura, “Yudhistira berjalan
dengan wajah ditutupi sehelai kain. Bhima berjalan di sebelahnya dengan wajah
tertunduk. Arjuna berjalan paling depan sambil menaburkan pasir sepanjang
jalan. Nakula dan Sahadewa berjalan di belakang Yudhistira. Badan mereka penuh
debu. Draupadi berjalan di samping Dharmaputra. Rambutnya yang indah panjang
terurai menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Resi Dhaumya mengiringkan
mereka sambil mengidungkan madah suci Sama yang ditujukan kepada Batara Yama,
Dewa Kematian.”
Mendengar cerita Widura, Dritarastra semakin
sedih dan cemas. Ia bertanya lagi, “Bagaimana reaksi rakyat?”
Widura menjawab, “Tuanku Raja, aku akan
ulangi kata-kata yang mereka ucapkan. Mereka berasal dari semua lapisan dan
golongan masyarakat: ‘Pemimpin kita telah meninggalkan kita. Celakalah bangsa
Kuru yang membiarkan ini terjadi! Anak-anak Dritarastra, terkutuklah kalian
karena telah mengusir putra-putra Pandu ke hutan.’
“Sementara rakyat menuduh dan
menyalahkan kita, dunia menjadi gelap, langit diliputi mendung tebal, guruh
menggelegar, halilintar menyambar-nyambar, dan bumi bergoncang. Semua itu
pertanda buruk yang mengusik ketenangan hati rakyat.”
Bhagawan Narada
Ketika Dritarastra dan Widura sedang
bercakap-cakap, tiba-tiba Bhagawan Narada muncul di hadapan mereka dan
bersabda, “Empat belas tahun yang akan datang, terhitung dari hari ini, Kaurawa
akan punah, terkikis habis dari dunia akibat perbuatan jahat Duryodhana.”
Setelah bersabda begitu, Bhagawan Narada
lenyap dari pandangan.
Duryodhana dan saudara-saudaranya
menjadi cemas. Mereka buru-buru menemui Drona, memohon padanya agar jangan
meninggalkan mereka apa pun yang akan terjadi.
Dengan sedih Drona menjawab, “Aku
percaya pada mereka yang bijaksana, yang mengatakan bahwa Pandawa berasal dari
keturunan suci dan tidak mungkin dikalahkan. Tetapi, kewajibanku adalah
bertempur di pihak putra-putra Dritarastra yang telah mengangkatku sebagai
mahaguru mereka. Jiwa dan ragaku kupersembahkan bagi tanah ini karena hasil
buminya telah menghidupiku selama ini. Aku akan berjuang untuk kalian, tapi ajalku
ada di tangan Yang Kuasa. Kelak, Pandawa pasti akan kembali dari pembuangan
dengan amarah dan dendam yang tak terlukiskan.
“Aku tahu apa artinya perasaan itu,
sebab aku telah menggulingkan dan menghina Raja Drupada karena kemarahan dan
dendamku kepadanya. Dengan dendam membara yang tak dapat diredakan lagi,
Drupada melakukan upacara korban agar dianugerahi anak laki-laki yang kelak
akan membunuhku. Kabarnya anak itu diberi nama Dristadyumna. Seperti telah
ditakdirkan, ia menjadi ipar Pandawa dan sekutu terpercaya mereka. Segala
sesuatu bergerak sesuai garis takdir. Demikianlah, semua perbuatanmu menuju ke
arah itu dan hari-harimu dapat dihitung. Sebab itu, jangan buang-buang waktu
untuk berbuat kebajikan karena engkau mampu melakukannya. Lakukan upacara-upacara
korban besar. Bersenang-senanglah kalian dengan segala macam kesenangan yang
tak tercela dan tak terkutuk. Berikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.
Segala kutuk dan laknat akan mengepung kalian di tahun keempat belas.
“Wahai Duryodhana, berdamailah engkau
dengan Yudhistira. Ingat baik-baik nasihatku ini. Tapi, sudah tentu engkau
dapat melakukan apa pun yang kauinginkan.”
Duryodhana sangat kecewa mendengar
kata-kata Drona.
Sementara itu, Sanjaya, sais kereta
pribadi Raja Dritarastra bertanya kepada tuannya, “Tuanku Raja, kenapa Tuanku
kelihataan bersusah hati?”
Dritarastra menjawab, “Bagaimana aku
tidak sedih mengetahui Pandawa dihina dan dilukai hatinya?”
Sanjaya bertanya, “Apa yang Tuanku
katakan itu benar. Orang yang menyimpang dari jalan kebenaran berarti lupa
daratan, tidak tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Waktu memusnahkan
segalanya, tanpa menggunakan gada atau menghantam kepala orang sampai pecah.
Tetapi, dengan menghancurkan pertimbangan baiknya, orang menjadi gila dan
mengundang kehancurannya sendiri. Secara keterlaluan putra-putra Tuanku telah
menghina Panchali, putri dari Kerajaaan Panchala, alias Draupadi. Mereka telah
menyediakan jalan mereka sendiri menuju kemusnahan.”
Dritarastra berkata, “Aku tidak
mengikuti jalan menuju kebajikan dharma dan pemerintahan yang baik, tetapi
membiarkan diriku dibawa ke jalan salah oleh anakku yang gila harta dan kuasa.
Seperti katamu, kita telah mempercayakan diri kita diseret waktu menuju jurang
keruntuhan.”
Biasanya Widura memberi nasihat kepada
Dritarastra secara jujur. Ia sering berkata bahwa Duryodhana telah melakukan
kesalahan-kesalahan besar dan baru-baru ini telah menipu Dharmaputra. Widura
juga berkata bahwa adalah kewajiban Drona untuk membawa Kaurawa ke jalan benar
dan menjauhkan mereka dari jalan kejahatan. Selanjutnya ia menyarankan agar
Yudhistira dan saudara-saudaranya dipanggil dari hutan pengasingan untuk
berdamai dengan dia. Tegasnya, harus ada yang menghentikan Duryodhana untuk
berbuat yang bukan-bukan dan, bila perlu, sekali-sekali dengan kekerasan.
Pada mulanya Dritarastra diam saja dan
menyimak kata-kata Widura. Meski demikian, dengan hati sedih ia mengakui bahwa
sesungguhnya Widura lebih bijaksana daripada dirinya. Widura selalu
mengharapkan hal-hal yang baik bagi Dritarastra. Ia senantiasa berdoa untuk
kesehatan dan keselamatan rajanya. Tetapi lama-lama kesabaran Dritarastra
hilang karena bosan mendengar khotbah-khotbah tentang pekerti luhur.
Pada suatu hari, ketika kesabarannya
sudah habis dan dia bosan mendengar nasihat-nasihat Widura, Dritarastra berkata
lantang, “Hai Widura, diamlah! Engkau selalu bicara dengan nada memihak Pandawa
dan menjelek-jelekkan anak-anakku. Engkau tidak pernah menghargai kebaikan
kami. Ketahuilah, Duryodhana terlahir dari darah dagingku. Bagaimana mungkin
aku mengenyahkan dia? Apa perlunya engkau menasihatiku tentang pekerti-pekerti
luhur? Aku tidak percaya lagi padamu dan aku tidak membutuhkan engkau lagi.
Kalau kau mau, kau bebas mengikuti Pandawa ke mana pun.”
Sambil berkata demikian ia bangkit
membelakangi Widura, lalu masuk ke balai peristirahatannya.
Widura, putra Bhagawan Wyasa, terkenal
sebagai orang paling bijaksana di antara kaum cendekiawan. Ia juga menjadi
penasihat Kaurawa dan Pandawa. Dengan sedih ia membayangkan kehancuran bangsa
Kuru yang tak terhindarkan. Mendengar kata-kata Dritarastra, ia bergegas keluar
istana, mengambil keretanya, lalu melecut kudanya agar berlari
sekencang-kencangnya. Demikianlah, ia melesat cepat bagaikan menunggang angin,
menyusupi hutan rimba untuk menemui Pandawa dalam pembuangan.
Sepeninggal Widura, hati Dritarastra
semakin gundah. Ia sangat menyesal karena tidak menghalang-halangi putranya.
Dengan penyesalan yang amat dalam, ia berkata pada dirinya sendiri, “Apa yang
telah aku perbuat? Aku malah menambah kekuatan Pandawa dengan mengusir Widura
yang bijaksana dan membuatnya memihak mereka.”
Pikirannya semakin kalut dan sedih
hatinya tak tertahankan lagi. Akhirnya ia mengutus Sanjaya, menteri
kepercayaannya, untuk menemui Widura dan menyampaikan penyesalannya. Sanjaya
juga harus berkata bahwa Dritarastra mengharapkan mereka kembali ke
Hastinapura.
Sanjaya, utusan istimewa itu, segera
berangkat ke hutan. Di dalam hutan, di sebuah pertapaan, ia bertemu dengan
Pandawa. Saat itu Pandawa mengenakan pakaian dari kulit kijang dan dikelilingi
banyak resi dan pendita. Ia juga bertemu Widura di sana. Setelah dipersilakan
duduk, Sanjaya menyampaikan pesan Dritarastra dan menambahkan bahwa raja buta
itu akan mangkat dengan perasaan putus asa jika Widura tidak bersedia kembali
ke Hastinapura.
Widura yang berhati seputih kapas dan
selalu memegang teguh dharma, merasa terharu. Ia menyatakan bersedia kembali ke
Hastinapura.
Demikianlah, Widura kembali ke
Hastinapura bersama Sanjaya. Sampai di istana, ia langsung dipeluk oleh
Dritarastra dengan air mata berlinang-linang. Mereka berjanji untuk melupakan
perseteruan mereka dan menghapus semua kenangan buruk dari ingatan masing-masing.
***
Pada suatu hari Resi Maitreya datang ke
istana Raja Dritarastra dan diterima dengan penuh kehormatan. Dritarastra
sangat mengharapkan restu resi itu. Katanya,
“Wahai Resi yang kuhormati, aku yakin,
Resi pasti bersua dengan anak-anak Pandawa yang kucintai di rimba Kurujanggala.
Apakah mereka sehat-sehat? Apakah rasa saling mengasihi dalam keluarga kami
takkan pernah berkurang sedikit pun?”
Resi Maitreya menjawab, “Kebetulan aku
bertemu dengan Yudhistira di hutan Kamyaka. Para resi di hutan itu berdatangan
menemui dia. Dari sana aku tahu apa yang telah terjadi di Hastinapura. Aku
sangat terkejut karena peristiwa itu bisa terjadi dan dibiarkan terjadi ketika
Tuanku Raja dan Bhisma masih ada.”
Kemudian Resi Maitreya menemui
Duryodhana. Ia menasihati Duryodhana demi kebaikan pangeran itu sendiri.
Dinasihatinya Duryodhana untuk tidak bermusuhan dengan Pandawa karena kecuali
sakti dan perkasa, Pandawa juga bersekutu dengan Drupada dan Krishna. Tetapi
Duryodhana yang keras kepala, gila harta dan gila kuasa itu hanya tertawa,
menepuk-nepuk pahanya dan meludah dengan congkak. Ia tidak menyahut apa-apa dan
pergi begitu saja.
Resi Maitreya menjadi berang. Sambil
memandang Duryodhana, ia berkata, “Dasar sombong! Kau menyombongkan diri,
menepuk pahamu dan meludah sembarangan untuk menghina orang yang mendoakan
segala kebaikan dan keselamatan untukmu. Ingatlah, pahamu yang engkau tepuk itu
akan belah menjadi dua ditusuk tombak Bhimasena dan engkau sendiri akan mati
dalam pertempuran.”
Mendengar kutuk-pastu Resi Maitreya itu,
Dritarastra melompat berdiri lalu menyembah Resi itu, memintakan maaf untuk
anaknya. Tetapi Resi Maitreya yang sakti itu berkata, “Kutuk pastu-ku tidak
akan mempan jika putramu mau berdamai dengan Pandawa. Tetapi kalau tidak,
beranikah engkau menghadapi akibatnya?!”
Setelah berkata demikian, Resi Maitreya
meninggalkan istana dengan perasaan kecewa.
Posting Komentar