MAHABARATA Indraprasta
MAHABARATA Indraprasta
Ketika berita tentang kejadian di Kerajaan Panchala sampai ke
Hastinapura, Widura merasa gembira. Ia segera menemui Dritarastra dan berkata,
“Tuanku Raja, keluarga kita akan bertambah kuat sebab putri Raja Drupada telah
menjadi menantu kita. Sungguh kita ini dinaungi bintang keberuntungan.”
Dritarastra yang merasa amat gembira mengira bahwa Widura
mengabarkan kemenangan Duryodhana dalam sayembara itu dan keberhasilannya
menyunting Draupadi. Karena itu ia berkata, “Sungguh benar apa yang kaukatakan.
Saat ini adalah saat yang baik bagi kita. Pergilah segera dan bawa Draupadi
kemari. Kita akan mengadakan upacara penyambutan yang megah untuk putri
Kerajaan Panchala itu.”
Widura sadar, Dritarastra keliru mengartikan kata-katanya.
Segera ia berkata, “Paduka Raja, sesungguhnya Pandawa yang mendapat
perlindungan Yang Maha Kuasa masih hidup. Arjunalah yang memenangkan sayembara
itu dan berhak menyunting Draupadi. Kelima Pandawa menyunting putri itu
bersama-sama dan perkawinan mereka telah dianggap sah karena sesuai dengan yang
tertulis dalam kitab-kitab Sastra. Bersama ibu mereka, kini mereka hidup
bahagia di bawah lindungan Raja Drupada.”
Dritarastra sangat kecewa mendengar penjelasan Widura. Kebencian
menggelegak di dalam hatinya, tetapi ia berusaha menutupinya. Katanya,
“Wahai Widura, aku senang mendengar ceritamu. Jadi, Pandawa
sebetulnya masih hidup? Padahal kita telah mengadakan upacara berkabung untuk
mereka. Berita yang engkau sampaikan ibarat air yang menyejukkan hatiku. Jadi,
putri Raja Drupada sekarang menjadi menantu kita? Syukur, syukur.”
Sementara itu, Duryodhana pulang dari Panchala dengan hati penuh
dengki. Lebih-lebih setelah ia mendengar dari ayahnya bahwa sebenarnya Pandawa
masih hidup. Rupanya mereka lolos dari kebakaran yang memusnahkan istana kayu
di Waranawata dan sejak itu hidup menyamar sebagai brahmana. Kini mereka
semakin kuat karena berada dalam lindungan Raja Drupada.
Duryodhana mengajak Duhsasana, adiknya, untuk menemui Sakuni.
Dengan hati penuh dendam ia berkata kepada pamannya itu, “Paman, aku merasa
sangat dipermalukan. Aku sungguh kecewa karena mempercayakan pelaksanaan
rencana kita kepada Purochana. Pandawa, musuh kita, lebih cerdik dan
rupa-rupanya nasib baik memihak mereka. Kini Dristadyumna dan Srikandi juga
menjadi sekutu mereka. Apa yang dapat kita lakukan?”
Mendengar pengaduan itu, Sakuni menyarankan agar Duryodhana
mengajak Karna menghadap Dritarastra yang buta.
Di depan ayahnya, putra mahkota Hastina itu berkata, “Ayahanda,
engkau telah berkata kepada Paman Widura bahwa masa depan kita akan menjadi
lebih baik. Apakah masa depan yang baik bagi kita itu berarti bahwa musuh
bebuyutan kita, Pandawa, semakin kuat dan pada suatu waktu akan menghancurkan
kita? Rencana kita gagal karena ternyata sebelumnya mereka sudah tahu. Ini
lebih berbahaya bagi kita. Sekarang kita tak punya pilihan lagi. Kita hancurkan
mereka sekarang atau mereka yang akan menghancurkan kita lebih dulu. Kami mohon
petunjuk Ayahanda.”
Distarastra menjawab, “Anak-anakku, apa yang engkau katakan itu
benar. Seharusnya kita tidak mengungkapkan isi hati kita kepada Widura. Itu
sebabnya aku menahan diri di depan dia. Sekarang aku ingin mendengar rencana
kalian selanjutnya.”
Duryodhana berkata, “Aku sangat kecewa dan pikiranku sangat
kacau. Aku belum punya rencana apa-apa. Mungkin kita bisa mengadu domba mereka.
Bukankah mereka terlahir dari dua ibu? Kita buat anak-anak Madri membenci
anak-anak Kunti. Kita bujuk Drupada agar mau bergabung dengan kita. Walaupun ia
telah memberikan anaknya kepada Pandawa, hal itu tidak menghalangi niat kita
untuk mengajaknya bersekutu. Tanpa kekayaan dan harta benda, tak ada yang bisa
mereka lakukan.”
Karna tersenyum dan berkata, “Itu omong kosong!”
Duryodhana melanjutkan, “Bagaimanapun juga kita harus mencegah
kembalinya Pandawa untuk menuntut hak mereka atas kerajaan yang sudah ada di
tangan kita. Kita harus menempatkan beberapa brahmana di Panchala untuk
menyebarkan berita bohong. Kita juga harus mengatakan kepada Pandawa, jika
berani kembali ke Hastinapura mereka akan menghadapi bahaya besar. Dengan
begitu Pandawa pasti tidak berani datang ke sini.”
Karna menyela, “Itu juga omong kosong. Engkau tidak dapat
menakut-nakuti mereka dengan cara itu.”
Duryodhana melanjutkan, “Apakah kita tidak bisa memisahkan
Pandawa melalui Draupadi? Bukankah mereka berlima mempunyai satu istri?
Perkawinan seperti itu baik untuk siasat kita. Kita akan membuat mereka ragu,
cemburu dan saling curiga dengan bantuan perempuan-perempuan penjaja asmara
yang cantik dan mempesona. Ya, dengan cara itu kita pasti berhasil. Kita suruh
perempuan-perempuan itu menggoda anak-anak Kunti dan membuat Draupadi cemburu.
Jika cemburu, Draupadi pasti akan mengadu pada ayahnya dan Drupada pasti akan
memarahi Pandawa. Setelah itu, kita undang Draupadi ke Hastinapura dan kita
buat dia tercemar.”
Karna tertawa mengejek dan berkata, “Semua rencanamu pasti
gagal. Engkau takkan bisa memecah belah Pandawa dengan siasat seperti itu. Dulu
ketika mereka masih muda, ibarat anak burung yang belum sempurna sayapnya, kita
bisa menipu mereka. Tetapi sekarang mereka sudah menjadi kesatria-kesatria
sakti. Mereka sudah kenyang hidup sengsara di hutan belantara. Mereka sekarang
dilindungi Drupada. Dengan mudah mereka bisa menebak rencanamu. Benih
perpecahan yang kausebar takkan tumbuh subur di antara mereka. Engkau juga
takkan bisa menyuap Drupada yang bijaksana. Ia takkan menyerahkan Pandawa
begitu saja. Tak mungkin pula membujuk Draupadi agar mau mengkhianati para
suaminya.
“Karena itu, hanya ada satu jalan bagi kita, yaitu menggempur
mereka dan para sekutu mereka sebelum semakin kuat. Kita harus menyerang mereka
dengan tiba-tiba sebelum Krishna menggabungkan diri bersama pasukan perang
Yadawa yang terkenal. Kita serang mereka dengan terang-terangan. Tipu muslihat
akan sia-sia.”
Seperti biasa, Dritarastra tak bisa mengambil keputusan. Ia
meminta pertimbangan Bhisma dan Drona.
Bhisma senang mendengar bahwa Pandawa masih hidup dan kini
menjadi menantu Raja Drupada serta tinggal di Panchala dalam lindungan raja
itu. Ketika ditanya langkah-langkah apa yang harus diambil Kaurawa untuk
melenyapkan Pandawa, Bhisma yang bijaksana, berpandangan luas, dan ahli tata
negara, berkata dengan sabar, “Penyelesaian yang paling tepat adalah
mempersilakan mereka kembali dan membagi kerajaan ini menjadi dua. Rakyat juga
menghendaki itu. Itulah satu-satunya jalan untuk menjaga martabat dan kebesaran
keluarga kita. Tidak ada gunanya membicarakan kesalahan masa lalu. Tak ada
gunanya menyimpan dendam dan dengki. Kita semua bisa hidup damai berdampingan
jika Pandawa dipersilakan pulang dan setengah Kerajaan Hastina diberikan kepada
mereka. Itulah nasihatku.”
Drona memberikan nasihat yang sama. Ia mengusulkan agar Kaurawa
mengirim utusan untuk menyampaikan pesan tentang penyelesaian masalah itu
secara damai.
Mendengar itu, Karna naik pitam. Sepenuhnya ia memihak
Duryodhana dan tidak sanggup membayangkan bagaimana jadinya jika kerajaan
dibagi menjadi dua. Katanya kepada Dritarastra, “Aku heran mendengar usul
Drona. Pendita itu telah Paduka angkat derajatnya dan Paduka anugerahi
kehormatan dan harta berlimpah. Seharusnya seorang raja mendengarkan nasihat
para menterinya dengan cermat, mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya
memutuskan untuk menerima atau menolaknya.”
Panas telinga Drona mendengar kata-kata Karna. Dengan lantang ia
berkata, “Dasar manusia celaka! Kamu telah memberikan nasihat yang keliru
kepada rajamu. Ingat, jika Dritarastra tidak mengikuti nasihat Bhisma dan
nasihatku, dalam waktu dekat Kaurawa akan mengalami kehancuran.”
Kemudian Dritarastra meminta nasihat Widura dan dijawab,
“Nasihat Bhisma, pengayom bangsa kita, dan nasihat Drona, mahaguru kita,
sungguh adil dan bijaksana. Hendaknya jangan kau abaikan Pandawa adalah
kemenakanmu sendiri. Sadarlah. Mereka yang menasihatkan agar kita menghancurkan
Pandawa sesungguhnya ingin agar bangsa kita menemui kehancuran. Krishna dan
bangsa Yadawa, Drupada dan seisi kerajaannya sudah menjadi sekutu Pandawa. Kita
takkan bisa menaklukkan mereka dalam pertempuran. Usul Karna salah dan gegabah.
Di mana-mana orang sudah tahu bahwa kita pernah mencoba membunuh mereka dengan
membakar istana kayu. Pertama-tama kita harus membersihkan diri kita dan
kutukan karena perbuatan jahat yang kita lakukan.
“Seluruh rakyat Hastina gembira ketika mendengar bahwa Pandawa
masih hidup. Mereka ingin melihat Pandawa kembali Jangan hiraukan kata-kata
Duryodhana. Karna dan Sakuni masih hijau, belum memahami seluk beluk tata
negara. Mereka belum pantas memberi nasihat. Ikutilah nasihat Bhisma dan
Drona.”
Setelah mempertimbangkan semua nasihat itu, akhirnya Dritarastra
memutuskan untuk menempuh jalan damai dengan memberikan setengah Kerajaan
Hastina kepada anak-anak Pandu. Kemudian ia mengutus Widura ke Panchala untuk
menjemput Dewi Kunti, Pandawa dan Draupadi.
Sampai di Panchala, Widura mempersembahkan tanda mata berupa
emas permata dari Dritarastra kepada Raja Drupada. Selanjutnya dia mohon
diijinkan menemui Pandawa untuk menyerahkan surat Raja Hastina kepada mereka.
Dijelaskannya bahwa Dritarastra berniat menempuh jalan damai dan memberikan
setengah kerajaannya kepada Pandawa.
Drupada yang tidak percaya kepada Dritarastra menjawab ringkas,
“Aku tidak berkuasa atas Pandawa. Mereka bebas berbuat semau mereka.”
Widura lalu pergi menghadap Dewi Kunti. Ibu Pandawa itu
menyambutnya sambil berkata,
“Wahai Widura anak Wichitrawirya, engkau telah menyelamatkan
anak-anakku. Kau telah menganggap mereka anak-anakmu. Aku percayakan
keselamatan mereka kepadamu. Aku akan lakukan apa yang engkau nasihatkan,
walaupun aku tak bisa sepenuhnya mempercayai Dritarastra.”
Widura meyakinkan wanita itu, “Anak-anakmu tidak akan menemui
kemusnahan. Mereka akan mewarisi kerajaan dan akan memperoleh kebesaran dan
kemasyhuran. Marilah kita pergi.”
Akhirnya Raja Drupada memberikan persetujuannya dan Widura
kembali ke Hastinapura bersama Dewi Kunti, Pandawa, dan Draupadi.
Sambutan meriah telah menunggu putra-putra Pandu yang dicintai
rakyat. Jalan-jalan dihiasi kembang warnawarni dan diperciki air suci. Sesuai
rencana, Dritarastra membagi Kerajaan Hastina menjadi dua, setengahnya
diserahkan kepada Pandawa, dan Yudhistira dinobatkan menjadi raja setengah
kerajaan itu.
Dalam upacara penobatan Yudhistira, Dritarastra menyampaikan
amanat, “Pandu, adikku, telah menjadikan kerajaan ini makmur dan rakyatnya
sejahtera. Mudah mudahan engkau dapat membuktikan diri sebagai putranya yang
berguna. Dulu Pandu selalu mencintaiku dan senang menerima nasihat-nasihatku.
Anak-anakku sendiri berwatak sombong dan licik. Aku putuskan penyelesaian damai
ini agar tak ada lagi perselisihan dan kebencian di antara kalian semua. Pergilah
ke Kandawaprastha dan bangunlah ibukota kerajaanmu di sana. Dahulu, Pururawa,
Nahusha, dan Yayati, nenek moyang kita, memerintah kerajaan ini dari sana.
Kandawaprastha adalah ibukota kerajaan ini di jaman dulu. Bangunlah kembali.
Berilah nama baru. Kuberikan restuku, semoga engkau menjadi raja yang arif dan
kerajaanmu makmur sentosa.”
Setelah
mohon diri, Pandawa pergi ke Kandawaprastha. Di sanalah Pandawa tinggal bersama
Draupadi, istri mereka dan Dewi Kunti, ibu mereka. Mereka membangun ibukota dan
istana dari puing-puing yang masih ada. Nama ibukota itu diubah menjadi
Indraprastha sedang kerajaannya dinamakan Amarta. Pandawa memerintah kerajaan
itu dengan mematuhi ajaran dharma. Kerajaan Amarta segera terkenal ke seluruh
dunia, rakyatnya hidup damai dan sejahtera
Posting Komentar