MAHABARATA Kematian Bakasura
MAHABARATA Kematian Bakasura
Dengan menyamar sebagai brahmana, Pandawa tinggal di Ekacakra.
Mereka menyambung hidup dengan meminta-minta di jalan-jalan yang telah
ditetapkan untuk para brahmana. Setelah seharian meminta-minta, mereka pulang
sambil membawa makanan pemberian untuk ibu mereka. Jika mereka terlambat
pulang, Dewi Kunti menjadi cemas, takut kalau-kalau malapetaka menimpa mereka.
Semua makanan yang diperoleh dari hasil meminta-minta oleh Dewi
Kunti dibagi dua, satu bagian untuk Bhima dan satu bagian lainnya dibagi
berlima di antara keempat Pandawa lainnya dan sang ibu. Bhima, putra Dewa Bayu
atau Dewa Angin, mempunyai nafsu makan yang sangat besar, sesuai dengan
tubuhnya yang tinggi, gagah dan perkasa. Itu sebabnya kecuali disebut
Bhimasena, ia juga dijuluki Wrikodara, artinya “perut serigala”. Maksudnya,
berapa pun banyaknya makanan yang dimakannya, perutnya selalu merasa lapar.
Karena makanan yang mereka peroleh tak pernah cukup, badan Bhima menjadi kurus.
Melihat itu, ibu dan saudara-saudaranya menjadi cemas.
Suatu hari Bhima berkenalan dengan seorang pembuat kendi. Bhima
menyukai orang itu dan suka menolongnya menggali dan mengangkut tanah liat.
Sebagai ungkapan terima kasih, tukang kendi itu memberinya sebuah periuk besar
untuk meminta-minta. Gara-gara periuk itu, Bhima menjadi sasaran ejekan dan
cemoohan orang-orang.
Pada suatu hari, ketika saudara-saudaranya pergi meminta-minta,
Bhimasena tinggal di rumah bersama ibunya. Tiba-tiba mereka mendengar tangis
pilu dari kamar pemilik rumah. Sesuatu yang menyedihkan telah menimpa keluarga
itu, pikir Dewi Kunti. Ia lalu memberanikan diri menyelinap masuk, ingin
mengetahui apa yang terjadi dan jika perlu memberikan pertolongan. Di dalam ia
melihat brahmana pemilik rumah itu sedang berbicara dengan istrinya.
Brahmana itu berkata kepada istrinya, “Wahai perempuan malang
dan dungu, sudah berulang kali kukatakan bahwa kita harus pergi dari kota ini
selama-lamanya. Tetapi engkau tidak setuju. Engkau selalu berkata bahwa engkau
lahir dan dibesarkan di sini. Di sini pula orangtuamu hidup dan mati, dan di
sini pula engkau ingin tinggal. Aku tak sanggup berpisah darimu, wahai istriku,
teman hidupku dan ibu anak-anakku tercinta. Kau segalanya bagiku Aku tak
mungkin membiarkan engkau pergi menjemput maut, sementara aku hidup sendirian
di sini.
“Wahai, istriku, lihatlah anak perempuan kita. Pada waktunya dia
akan kita serahkan kepada lelaki yang pantas menerimanya. Jangan jadikan dia
sebagai korban, karena dia adalah pemberian Hyang Widhi untuk melanjutkan
keturunan kita. Kita juga tak mungkin mengorbankan anak laki-laki kita.
Bagaimana kita bisa hidup setelah mengorbankan anak-anak kita? Siapa yang kelak
akan melakukan upacara kematian bagi kita dan melanjutkan keturunan kita?
“Engkau tidak mau mendengarkan kata-kataku, dan inilah buah
perbuatanmu yang mengerikan. Kalau aku serahkan hidupku, anak-anak kita pasti
akan segera mau karena tak punya gantungan hidup. Apa yang bisa kita perbuat?
Satu-satunya jalan terbaik adalah kita mati bersama.”
Demikianlah kata brahmana itu sambil menangis.
Istrinya menjawab, “Aku telah melakukan kewajibanku sebagai
istrimu dan ibu anak-anakmu Aku tidak bisa melindungi mereka, tetapi engkau
bisa. Ibarat sisa makanan yang dibuang dan disambar burung gagak rakus,
demikian pula nasib seorang janda; dengan mudah dia menjadi mangsa lelaki
hidung belang. Ibarat sepotong tulang yang diperebutkan anjing, demikian pula
nasib seorang janda, dia akan menjadi permainan lelaki-lelaki jahat,
diseret-seret dari satu tangan ke tangan yang lain. Aku tak sanggup melindungi
mereka tanpa ayah mereka. Mereka akan mati kelaparan seperti ikan di kolam
kering. Sebaiknya, kita serahkan saja anak-anak kita kepada raksasa itu.
“Bagi wanita yang suaminya masih hidup, mati lebih dulu akan
membuahkan keagungan. Begitu tertulis di dalam kitab-kitab suci. Ucapkan
selamat jalan kepadaku. Jagalah anak-anak kita. Aku bahagia hidup bersamamu dan
mengabdikan diriku kepadamu dengan setia. Aku yakin, aku pasti akan diterima di
surga. Bagi seorang wanita yang telah menjadi istri yang baik, kematian bukan sesuatu
yang mengerikan. Kalau aku mati, carilah istri lagi. Teguhkan hatiku dengan
senyum ikhlasmu. Restui aku dan kirim aku kepada raksasa itu.”
Mendengar kata-kata itu, sang brahmana memeluk istrinya dengan
penuh kasih. Ia terharu melihat keberanian istrinya. Ia menangis tersedu-sedu
seperti anak kecil dan dengan susah payah berkata,
“Wahai istriku tercinta dan teragung, aku tak sanggup hidup
tanpa engkau. Tugas pertama seorang laki-laki yang telah beristri adalah
melindungi istrinya. Aku akan dianggap lelaki durhaka yang paling hina kalau
menyerahkan engkau menjadi mangsa raksasa itu.”
Mendengar percakapan orangtuanya, sambil tersedu-sedu si anak
perempuan berkata perlahan,
“Wahai, Ibu dan Ayah, dengarkan kata-kataku walau aku ini hanya
anak kecil. Lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan. Hanya aku yang pantas
diberikan kepada raksasa itu. Dengan mengorbankan satu jiwa, jiwaku, Ayah dan
Ibu bisa menolong yang lain. Jadikan aku perahu untuk membawa Ayah dan Ibu
menyeberangi sungai malapetaka ini. Kalau Ayah dan Ibu meninggal, kami berdua
akan cepat mati karena hidup sebatang kara di dunia. Jika karena pengorbanan
jiwaku keluargaku dapat diselamatkan, aku pasti bahagia. Ayah dan Ibu, sekarang
juga, berikan aku kepada raksasa itu.”
Mendengar kata-kata itu, brahmana dan istrinya memeluk putri
mereka sambil menangis. Anak laki-lakinya yang masih bocah berkata kepada
orangtuanya dengan lidah petah, “Ayah jangan nangis. Ibu jangan nangis. Kakak
jangan nangis.”
Sambil berkata demikian ia bangkit lalu mengambil sepotong kayu
api kecil. Kayu itu diacung-acungkannya sambil berteriak-teriak dengan suara
bocahnya, “Akan kubunuh raksasa itu dengan tongkat ini.”
Kata-kata dan tingkah lakunya membuat ayah, ibu dan kakaknya
tersenyum sedih. Mata mereka berkaca-kaca.
Dewi Kunti, yang diam-diam menyimak percakapan itu, berpendapat
bahwa kinilah saat yang tepat untuk menyela pembicaraan mereka. Ia mengetuk
pintu, lalu masuk dan bertanya mengapa mereka bersedih dan apakah dia boleh
melakukan sesuatu untuk menolong mereka.
Brahmana itu berkata,
“Wahai, Ibu, kami tertimpa malapetaka besar. Tak mungkin Ibu
dapat membantu kami. Di luar kota ini ada sebuah gua. Di gua itu tinggal
raksasa buas bernama Bakasura. Sudah tiga belas tahun ia menguasai kota dan
kerajaan ini dan memperlakukan penduduk dengan kejam. Raja kami melarikan diri
ke Wetrakiya, karena tak dapat membela dan melindungi kami.
“Setiap kali merasa lapar, raksasa itu keluar dari gua lalu
memangsa orang, tak peduli laki-laki atau perempuan, orang dewasa atau
anak-anak. Penduduk Ekacakra lalu mengajukan usul kepada raksasa itu, untuk
menghindari pembunuhan yang kejam.Kata mereka, ‘Janganlah engkau membunuh kami
dengan sewenang-wenang. Seminggu sekali kami akan serahkan makanan dan minuman cukup
untukmu. Makanan dan minuman itu akan kami kirim dalam sebuah kereta yang
ditarik dua ekor kerbau dan seorang manusia. Engkau boleh menyantap makanan,
kerbau, dan orang itu, tapi kau tak boleh lagi membunuh dengan
sewenang-wenang.’
“Raksasa itu setuju. Sejak itu, si raksasa menguasai kota ini.
Ia mengenyahkan semua musuh dari luar dan membunuh binatang-binatang liar yang
mengancam penduduk.
“Tidak seorang pun dapat membebaskan kota dan kerajaan kami dari
malapetaka besar ini. Dengan mudah raksasa itu bisa membunuh siapa saja yang
mencoba melawannya.
“Wahai, Ibu, raja kami saja tak sanggup melindungi kami. Rakyat
yang rajanya lemah lebih baik tidak kawin dan tidak punya anak. Kehidupan yang
baik dengan kebudayaan yang luhur hanya mungkin terjadi dalam kerajaan yang
diperintah oleh raja yang perkasa dan berwatak kuat. Istri, kekayaan, dan harta
benda apa pun tidak akan aman jika tak ada pemerintah kuat yang melindunginya.
Sekarang tiba giliran kami untuk mengirimkan salah seorang dari kami untuk
dijadikan mangsa raksasa itu.
“Kami tidak mampu membeli atau membayar pengganti diri kami.
Jika salah satu dari kami mati secara mengenaskan, kami tak bisa hidup dengan
hati didera rasa bersalah. Karena itu, kami putuskan untuk menyerahkan seluruh
keluarga kami, serentak. Biarlah raksasa itu kenyang dan puas atas pengorbanan
kami.
“Maaf, Ibu, kami telah membuat orang lain sedih dengan cerita
ini. Tetapi, karena Ibu ingin tahu, maka kami ceritakan pada Ibu apa adanya.
Hanya Hyang Widhi yang dapat menolong kami. Tetapi untuk itu pun kami sudah tak
punya harapan.”
Dewi Kunti lalu memanggil Bhimasena. Ia menceritakan apa yang
telah didengarnya. Setelah berunding dengan Bhima, Dewi Kunti menemui brahmana
itu lagi. Katanya,
“Wahai Brahmana budiman, janganlah putus asa. Dewata Maha Agung
dan Maha Besar. Aku punya lima anak laki-laki. Salah satu anakku akan
membawakan makanan untuk raksasa itu.”
Brahmana itu terkejut dan terlompat kegirangan, tetapi segera
duduk lagi sambil menahan diri. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata
bahwa hal itu tidak boleh terjadi. Tidak seharusnya seorang asing mengorbankan
diri dan menggantikannya menjadi mangsa raksasa itu.
Dewi Kunti melanjutkan,
“Wahai, Brahmana, janganlah engkau khawatir. Anakku ini manusia
sakti. Ia memiliki kekuatan melebihi manusia yang diperolehnya dengan
mengucapkan mantra-mantra. Yakinlah, dia pasti bisa membunuh raksasa itu.
Tetapi engkau harus merahasiakan hal ini. Ingat, jika kau membocorkan rahasia
ini, kekuatan anakku tidak akan muncul.”
Sesungguhnya Dewi Kunti takut kalau-kalau hal itu sampai
terdengar dan tersebar sampai keluar wilayah kerajaan itu. Siapa tahu, berita
itu tersebar sampai ke telinga kaki tangan Duryodhana, yang lalu menghubungkan
berita tentang lima brahmana asing dan seorang wanita tua yang datang ke
Ekacakra dengan Pandawa.
Bhima senang dan tak sabar ingin segera melaksanakan perintah
ibunya. Ketika saudara-saudaranya pulang dari meminta-minta, mereka heran
melihat wajah Bhima berseri-seri. Tidak seperti biasa. Yudhistira menemui
ibunya, menanyakan apa yang membuat Bhima tampak gembira dan bersemangat.
Yudhistira yang dijuluki Dharmaputra alias putra Batara Dharma
berkata, “Bagaimana ini? Janganlah gegabah dan tergesa-gesa. Apakah kekuatan
Bhima benar-benar dapat diandalkan? Apakah kita akan membiarkan dia bertarung
melawan raksasa itu, sementara kita tidur-tiduran dan melupakan bahaya dan
kesusahan? Bukankah kita berharap dapat merebut kembali Kerajaan Hastina dengan
kekuatan dan keberanian Bhima? Bukankah karena kekuatan Bhima kita dapat lolos dari
istana yang terbakar itu? Mengapa sekarang Ibu merelakan nyawanya demi
keselamatan orang lain? Jika Bhima mati, siapa yang akan melindungi kita? Aku
khawatir, jangan-jangan rasa iba membuat Ibu tak bisa berpikir jernih.”
Dewi Kunti menjawab, “Cukup lama kita hidup aman di rumah
brahmana ini. Kewajiban kita membalas kebajikannya dengan perbuatan baik. Ibu
tahu benar keperkasaan Bhima dan Ibu sama sekali tidak cemas. Ingatlah, dalam
perjalanan dari Waranawata di tengah hutan, sambil menggendong dan menggandeng
kita, adikmu mampu membunuh raksasa Hidimbi. Jangan engkau cemas, anakku. Kita
wajib berbuat kebajikan bagi keluarga brahmana ini. Adikmu pasti mampu membunuh
raksasa itu.”
Penduduk mengumpulkan makanan dan minuman yang kemudian dimuat
ke dalam kereta yang ditarik dua ekor kerbau. Setelah semuanya siap, Bhima
mengendarai kereta itu ke gua sang raksasa. Penduduk mengiringkannya sampai
batas kota.
Sampai di mulut gua, Bhima menghentikan keretanya. Dia melihat
sekelilingnya. Di depan mulut gua berserakan tulang belulang, tengkorak
manusia, dan sisa-sisa makanan yang sudah membusuk. Bermacam-macam serangga
mengerumuni sisa-sisa makanan, sementara burung-burung bangkai memperebutkan
sisa-sisa mayat yang sudah busuk.
Cepat-cepat Bhima membuka bungkusan makanan yang diperuntukkan
bagi raksasa itu sambil menggerutu, “Aku habiskan saja makanan ini. Jangan
sampai berceceran tak berguna. Kalau aku kalah dan mati, aku sudah kenyang
makan. Kalau dia kalah dan mati, makanan ini pasti kotor kena darahnya dan tak
bisa dimakan lagi.”
Mengendus bau makanan di luar gua, raksasa itu keluar. Melihat
Bhima sedang menghabiskan makanan, dia sangat berang lalu mengamuk. Bhima
pura-pura tidak melihatnya. Dia terus makan dengan lahap.
Dengan tubuh amat besar, kumis-jenggot-rambut merah awut-awutan,
mulut lebar menganga mengeluarkan bau busuk, dan taring tajam menonjol keluar,
raksasa itu mendekati Bhima yang sedang makan sambil membelakangi gua. Bhima
menoleh, tersenyum, lalu meneruskan makan. Berkali-kali raksasa itu meninju punggung
Bhima, tetapi putra Pandu itu terus makan tanpa menghiraukannya. Kemudian
raksasa itu mencabuti pohon-pohon besar dan melemparkan ke arah Bhima, tetapi
semua dapat ditangkis Bhima dengan mudah.
Setelah makanan itu habis, Bhima bangkit dan menyeka mulutnya.
Dengan perut kenyang, ia siap bertarung melawan raksasa itu. Maka terjadilah
pertarungan sengit antara dua makhluk perkasa. Bhima seperti bermain-main
menghadapi raksasa itu. Ia meninju, membanting dan melemparkan raksasa itu
jauh-jauh, kemudian menyeretnya mendekat. Berkali-kali begitu, sampai raksasa
itu babak belur dan tak mampu bangkit lagi. Akhirnya, Bhima mengerahkan
kesaktiannya lalu membanting raksasa itu keras-keras ke tanah. Tubuh raksasa
itu hancur, tulangnya remuk.
Raksasa itu meraung kesakitan, memuntahkan darah, lalu mati.
Bhima menyeret mayatnya sampai ke pintu gerbang kota. Ia kembali ke rumah
brahmana tempatnya menumpang, membersihkan diri, kemudian memberi tahu ibunya.
***
Posting Komentar