MAHABARATA Pernikahan Dewayani
MAHABARATA Pernikahan Dewayani
Pernikahan
Dewayani

Pada suatu sore setelah puas bermain di taman istana, Dewayani
dan putri-putri Wrishaparwa, raja para raksasa, pergi mandi ke telaga di tepi
hutan yang jernih dan sejuk airnya. Sebelum menceburkan diri ke dalam air yang
segar, mereka menanggalkan pakaian dan menyimpan pakaian itu di tepi telaga.
Tiba-tiba angin puting beliung berembus kencang, menerbangkan pakaian mereka
dan membuatnya menjadi satu tumpukan. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata
terjadi kekeliruan. Tanpa sengaja Sarmishta, putri Wrishaparwa, mengenakan
pakaian Dewayani. Melihat itu Dewayani berkata, “Alangkah tidak pantasnya putri
seorang murid mengenakan pakaian milik putri gurunya.”
Walaupun kata-kata itu diucapkan dengan lembut, Sarmishta merasa
disindir dan tersinggung. Ia marah dan dengan angkuh berkata, “Tidakkah engkau
sadar bahwa ayahmu setiap hari dengan hinanya berlutut menyembah ayahku?
Bukankah ayahmu menggantungkan hidupnya pada belas kasihan ayahku? Lupakah kau
bahwa aku ini anak raja yang dengan murah hati memberikan tumpangan hidup
bagimu dan bagi ayahmu? Hai, Dewayani, sesungguhnya kau hanya keturunan
peminta-minta! Lancang benar kata-katamu kepadaku.”
Memang benar apa yang dikatakan Sarmishta. Sebagai resi atau
pandeta, Mahaguru Sukra berkasta brahmana. Sesuai adat, ia hidup dari belas
kasihan orang lain. Jika memerlukan sarana hidup, seorang brahmana hanya boleh
meminta-minta. Meskipun demikian, sesungguhnya bagi kasta brahmana hal itu
dianggap perbuatan yang mulia.
Dewayani tidak menanggapi kata-kata Sarmishta. Sebaliknya, Sarmishta
yang terbakar oleh kata-katanya sendiri, menjadi semakin marah. Tak dapat
mengendalikan diri, tangannya terayun, menampar pipi Dewayani. Ia bahkan
mendorong putri resi itu sampai jatuh ke parit yang dalam. Sarmishta, yang
mengira Dewayani sudah mati, segera kembali ke istana.
Sementara itu, Dewayani merasa cemas dan sedih karena tidak bisa
keluar dari parit yang dalam itu. Kebetulan, Maharaja Yayati, seorang keturunan
Bharata, sedang berburu di tepi hutan dan melewati tempat itu. Karena haus, ia
mencari air. Dilihatnya ada parit berair jernih di dekat situ. Dia turun dari
kudanya, mendekati parit itu, lalu membungkuk hendak mengambil airnya. Ketika
itulah ia melihat sesuatu yang bercahaya di dasar parit. Yayati memperhatikan
dengan lebih saksama dan terkejut melihat seorang putri jelita terpuruk di
dalam parit.
Lalu ia bertanya, “Siapakah engkau ini, hai putri jelita dengan
anting-anting berkilau dan kuku bercat merah indah? Siapakah ayahmu? Keturunan
siapakah engkau? Bagaimana engkau bisa jatuh ke dalam parit ini?”
Dewayani menjawab sambil mengulurkan tangan kanannya, “Namaku
Dewayani. Aku putri Resi Sukra. Tolonglah aku keluar dari dalam parit ini.”
Yayati menyambut tangan yang halus itu lalu menolong Dewayani
keluar.
Dewayani tidak ingin kembali ke ibukota kerajaan raksasa. Ia
merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat
perbuatan Sarmishta. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang
tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam
segala hal kau pantas menjadi suamiku.”
Yayati menjawab,
“Wahai putri jelita, aku seorang kesatria dan engkau seorang
brahmana. *) Bagaimana aku bisa mengawini engkau? Apa mungkin putri Resi Sukra
yang disegani di seluruh dunia menjadi istri seorang kesatria seperti aku?
Putri yang agung, kembalilah pulang.”
Setelah berkata demikian, Yayati kembali ke ibukota kerajaannya.
Sepeninggal Yayati, Dewayani tetap bertekad untuk tidak pulang
ke istana. Ia memilih tinggal di hutan, di bawah sebatang pohon.
Sementara itu, Resi Sukra sia-sia menunggu putrinya pulang.
Beberapa hari berlalu, tetapi Dewayani tak kunjung pulang. Akhirnya Resi Sukra
menyuruh seseorang mencari putri kesayangannya.
Utusan itu mencari ke mana-mana. Setelah menempuh perjalanan
cukup jauh, akhirnya dia menemukan Dewayani yang duduk di bawah sebatang pohon
di tepi hutan. Putri itu tampak sangat sedih. Matanya merah karena lama
menangis. Wajahnya keruh karena marah. Utusan itu lalu bertanya, apa yang telah
terjadi.
Dewayani menjawab, “Kembalilah engkau dan sampaikan kepada
ayahku bahwa aku tak sudi lagi menginjakkan kakiku di ibukota kerajaan
Wrishaparwa.”
Setelah mohon pamit, utusan itu kembali ke istana untuk
melaporkan hal itu kepada Resi Sukra.
Mendengar laporan utusannya, Resi Sukra sangat sedih. Ia segera
menemui anaknya dan menghiburnya sambil berkata, “Anakku sayang, kebahagiaan
dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau
kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan mempengaruhi
kita.” Demikianlah Resi Sukra mencoba menghibur anaknya .
Tetapi Dewayani menjawab dengan sedih bercampur dengki, “Ayahku,
biarkanlah segala kebaikan dan keburukanku bersama diriku karena semua itu
urusanku sendiri. Tetapi jawablah pertanyaanku ini. Kata Sarmishta, anak
Wrishaparwa, ayahku seorang ‘budak penyanyi’ yang kerjanya hanya
menyanjung-nyanjung tuannya. Benarkah? Katanya, aku ini anak seorang
peminta-minta yang hidup dari belas kasihan orang. Benarkah? Sarmishta sungguh
kasar. Tidak puas mengata-ngatai aku, ia menampar dan mendorongku ke dalam
parit. Aku bersumpah, aku takkan sudi hidup di wilayah kekuasaan ayahnya.”
Dewayani menangis tersedu-sedu.
Dengan tenang dan penuh martabat, Mahaguru Sukra berkata,
“Wahai anakku Dewayani, engkau bukan anak ‘budak penyanyi’ raja.
Ayahmu tidak hidup dengan meminta-minta, mengemis belas kasihan orang. Engkau
putri seorang resi yang dihormati dan hidup dimanja di seluruh dunia. Batara
Indra, raja semua dewa, tahu akan hal ini. Wrishaparwa tidak membutakan mata
terhadap hutang budinya kepada ayahmu. Tetapi, orang yang bijaksana tidak
pernah mengagung-agungkan kebesarannya sendiri.
“Sudahlah, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang
jasa-jasa Ayah. Bangkitlah, wahai mutiara nan kemilau. Kaulah yang paling
jelita di antara semua wanita. Engkau akan membawa kebahagiaan bagi keluargamu.
Bersabarlah dan marilah kita pulang.”
Tetapi Dewayani tetap berkeras tidak mau pulang.
Resi Sukra menasihatinya lagi, “Sungguh mulia orang yang dengan
sabar menerima caci maki. Orang yang dapat menahan amarah ibarat kusir yang
mampu menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Orang yang dapat membuang amarah
jauh-jauh seperti ular yang mengelupas kulitnya. Orang yang tidak gentar
menerima siksaan akan berhasil mencapai cita-citanya. Seperti disebutkan dalam
kitab-kitab suci, orang yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang
taat melakukan upacara sembahyang selama seratus tahun. Pelayan, teman,
saudara, istri, anak-anak, kebajikan dan kebenaran akan meninggalkan orang yang
tak mampu mengendalikan amarahnya. Orang yang bijaksana tidak akan memasukkan
kata-kata anak muda ke dalam hatinya.”
Mendengar itu, Dewayani bersujud menyembah ayahnya, “Ayahanda,
aku masih muda. Nasihat-nasihat Ayahanda masih sulit kupahami. Tetapi, sungguh
tidak pantas bagiku untuk hidup bersama orang yang tidak mengenal sopan santun.
Orang yang bijaksana tidak akan bersahabat dengan orang yang selalu menjelek-jelekkan
keluarganya. Orang jahat, walaupun kaya raya, sesungguhnya adalah hina dan
tidak berkasta. Orang yang taat beribadah tidak pantas bergaul dengan mereka.
Hatiku sangat marah karena keangkuhan anak Wrishaparwa. Segores luka lambat
laun akan sembuh, tetapi luka hati karena kata-kata tajam akan meninggalkan
goresan pedih yang seumur hidup takkan hilang.”
Setelah gagal membujuk putrinya untuk pulang, Resi Sukra kembali
ke istana Wrishaparwa. Sampai di hadapan Raja, dengan mata tajam ia
memandangnya sambil berkata,
“Walaupun dosa seseorang tidak akan segera mendapat balasan,
lambat laun dosa itu pasti akan menghancurkan sumber kekayaannya. Kacha, anak
Wrihaspati dan seorang brahmacharin, telah menaklukkan pancaindranya dan tidak
pernah berbuat dosa. Ia telah melayani aku dengan penuh kepatuhan dan tidak
pernah melanggar sumpahnya. Para raksasa rakyatmu beberapa kali berusaha
membunuh dia, tetapi aku menghidupkannya lagi. Kini, anakku yang memegang teguh
susila dicaci-maki oleh anakmu, Sarmishta. Ia bahkan mendorong anakku sampai
jatuh ke parit yang dalam. Ia tidak tahan lagi tinggal dalam lingkungan
kerajaanmu. Dan karena aku tidak bisa hidup tanpa dia, aku akan pergi
meninggalkan kerajaanmu.”
Mendengar itu, Wrishaparwa merasa terancam malapetaka. Ia
berkata, “Aku tidak mengerti mengapa engkau melontarkan tuduhan itu. Tetapi,
kalau engkau pergi aku akan terjun ke dalam api.”
Resi Sukra menjawab, “Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan
anakku. Aku tidak peduli nasibmu dan nasib para raksasa rakyatmu. Dewayani
anakku satu-satunya, anak yang kukasihi melebihi hidupku sendiri. Engkau
kuijinkan mencoba menenangkan dia dan membujuknya agar mau tetap tinggal di
sini. Jika dia mau, aku tidak akan pergi.”
Maka pergilah Wrishaparwa diiringkan beberapa pengawal. Mereka
hendak menemui Dewayani di tepi hutan. Sesampainya di depan gadis itu,
Wrishaparwa menyembah dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan kerajaannya.
Tetapi Dewayani berkata acuh tak acuh, “Sarmishta, yang
mengata-ngatai aku anak pengemis harus menjadi dayang-dayang di rumahku dan
harus menjadi pengiringku waktu aku dinikahkan oleh ayahku.”
Wrishaparwa menerima tuntutan itu dan memerintahkan pengiringnya
menjemput Sarmishta. Putri raja itu mengakui kesalahannya, lalu menyembah
sambil berkata, “Baiklah aku akan menjadi dayang-dayang Dewayani seperti yang
dikehendakinya. Tidak seharusnya ayahku kehilangan mahagurunya dan menerima
balasan atas kesalahanku.”
Dewayani menerima permintaan maaf Sarmishta. Mereka berdamai dan
semua kembali ke istana Wrishaparwa.
Pada suatu hari Dewayani bertemu dengan Yayati. Ia mengulangi
permintaannya dan berkata bahwa Yayati harus mengawini dia karena pernah
memegang tangan kanannya erat-erat. Yayati menolak. Katanya, sebagai kesatria
ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang
kitab-kitab suci Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan
seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perkawinan itu sah.
Akhirnya, setelah mendapat restu dari Resi Sukra, Yayati
bersedia menikahi Dewayani. Mereka hidup berbahagia bertahun-tahun lamanya.
Sarmishta menepati janjinya. Ia setia melayani Dewayani sebagai
dayang-dayangnya, sampai pada suatu malam diam-diam ia menemui Yayati dan
meminta pria itu mengawininya. Yayati tak kuasa menolaknya. Diam-diam Sarmishta
dijadikan istrinya.
Ketika mengetahui hal itu, Dewayani marah sekali. Ia mengadu
kepada ayahnya. Resi Sukra berang, lalu mengutuk Yayati menjadi orang tua
ubanan sebelum waktunya dan pria itu akan kehilangan masa mudanya.
Mengetahui dirinya dikutuk mertuanya yang sangat sakti, Yayati
takut sekali. Ia pergi menghadap Resi Sukra, menyembah dan memohon ampun.
Tetapi, Mahaguru Sukra belum lupa akan penghinaan yang pernah diterima anaknya.
Resi Sukra berkata,
“Wahai, Tuanku Raja, engkau akan kehilangan masa mudamu dan
kemegahanmu. Kutukpastu yang telah kulontarkan tak dapat dibatalkan. Tetapi,
engkau bisa minta tolong seseorang yang bersedia menukar ketuaanmu dengan
kemudaannya. Hal ini bisa terjadi.”
Demikianlah, sejak menerima kutukan mertuanya, Yayati berubah
menjadi lelaki tua renta yang kehilangan keperkasaannya.
*) Menurut tradisi kuno yang disebut anuloma, perempuan dari
kasta kesatria boleh menikah dengan laki-laki dari kasta brahmana. Tetapi,
perempuan dari kasta brahmana tidak dibenarkan menikah dengan lakilaki dari
kasta kesatria. Tradisi kuno yang disebut pratilonia ini untuk menjaga agar
kaum wanita tidak direndahkan derajatnya ke status kasta yang lebih rendah. Hal
ini dinyatakan dalam kitab-kitab suci Sastra.
Posting Komentar