MAHABARATA Widura
MAHABARATA Widura
Widura

Resi Mandawya adalah seorang resi yang telah memperoleh kekuatan
jiwa dan menguasai pengetahuan tentang kitab-kitab suci. Ia mengisi
hari-harinya dengan bertapa dan melaksanakan kebajikan-kebajikan sesuai ajaran
suci. Ia tinggal di sebuah pertapaan di tengah hutan.
Pada suatu hari, ketika ia sedang khusyuk bertapa menyatukan
jiwa dan pikirannya di bawah sebatang pohon rindang di luar pondoknya, datang
segerombolan penyamun ke pertapaannya. Mereka melarikan diri ke dalam hutan,
dikejar-kejar balatentara kerajaan. Mereka mengira akan aman di dalam pertapaan
itu. Para penyamun itu bersembunyi di sudut pertapaan dan menyembunyikan harta
mereka di sana. Sementara itu, balatentara kerajaan mengikuti jejak mereka
sampai ke pertapaan itu .
Pemimpin balatentara kerajaan melihat Resi Mandawya yang sedang
khusyuk bertapa, tetapi ia tidak menghormatinya. Dengan suara keras ia berkata
kepada pertapa itu, “He, pertapa, apakah kau melihat perampok lewat di sekitar
sini? Ke arah mana mereka pergi? Jawablah segera agar kami bisa menangkap
mereka.”
Resi Mandawya yang benar-benar sedang khusyuk beryoga, tidak
menjawab apa-apa. Pemimpin itu mengulangi pertanyaannya dengan kasar. Tetapi
resi itu tidak mendengar apa-apa karena khusyuk bertapa. Sementara itu,
beberapa prajurit memasuki pertapaan dan menggeledah pondok sang pertapa.
Mereka menemukan barang-barang rampokan di sana. Segera saja mereka melaporkan
penemuan itu kepada sang pemimpin.
Mendengar itu, sang pemimpin memerintahkan pasukannya untuk menyerbu
pertapaan itu. Memang benar, semua barang curian mereka temukan di sana. Bukan
hanya itu, mereka juga menemukan para perampok yang bersembunyi di situ.
Pemimpin balatentara kerajaan itu berpikir, “Sekarang aku tahu
mengapa brahmana ini pura-pura diam dan tenggelam dalam samadinya.
Sesungguhnya, dialah kepala para penyamun itu. Dialah yang merencanakan
perampokan ini.”
Kemudian ia memerintahkan anak buahnya mengurung pertapaan itu
sementara ia pergi melapor ke istana bahwa Resi Mandawya telah ditangkap dan
semua barang rampokan ditemukan di pertapaannya.
Raja sangat marah mendengar kelancangan kepala perampok yang
berani menyamar sebagai seorang resi yang disegani. Tanpa memeriksa laporan itu
dengan cermat, Raja langsung memerintahkan agar penjahat licik itu disiksa
dengan tombak. Pemimpin balatentara itu segera kembali ke pertapaan dan
memerintahkan prajurit-prajuritnya menusuki tubuh resi itu dengan tombak.
Setelah puas menusuk-nusuk tubuh resi itu, mereka memancangnya dengan tombak.
Mereka meninggalkan sang resi dalam keadaan terpancang di ujung
tombak yang ditegakkan. Kemudian mereka kembali ke istana untuk mempersembahkan
semua barang rampokan.
Sebagai orang suci, meskipun tubuhnya hancur ditusuk-tusuk
tombak, Resi Mandawya tidak mati. Ia tetap hidup karena kekuatan yoganya. Kabar
tentang apa yang menimpa Resi Mandawya tersebar ke seluruh hutan. Para resi
yang tinggal di bagian lain hutan itu berdatangan ke pertapaan Resi Mandawya
dan menanyakan apa yang menyebabkan sang resi menderita seperti itu.
Resi Mandawya menjawab, “Siapa yang bisa disalahkan? Balatentara
raja hanya melaksanakan tugas mereka, yaitu melindungi rakyat dari para
penjahat. Dan para penjahat memang harus dihukum.”
Raja terkejut dan cemas ketika mendengar bahwa resi yang telah
ditusuk-tusuk dan dipancangkan dengan tombak ternyata masih hidup dan sedang
dikerumuni resi-resi yang bertapa di hutan. Segera ia memerintahkan
balatentaranya mengawalnya pergi ke hutan. Sesampainya di sana, Raja
memerintahkan agar resi itu diturunkan dari tombak. Kemudian ia berlutut sambil
menyembah dan meminta ampun atas perbuatan keji yang ia perintahkan.
Resi Mandawya sama sekali tidak marah kepada Raja. Setelah
memaafkan Raja, ia segera menghadap Bagawan Dharma, pewarta keadilan suci yang
sedang duduk di singgasananya. Sampai di sana, ia bertanya kepada Bagawan
Dharma, “Kejahatan apakah yang telah kulakukan hingga aku menerima hukuman
seperti ini?”
Bagawan Dharma, yang mengetahui kesaktian Resi Mandawya,
menjawab dengan hati-hati,
“Wahai, Resi Mandawya, tanpa kausadari engkau sering menyiksa
burung dan kumbang. Kebaikan dan kejahatan sekecil apa pun pasti akan mendapat
ganjaran yang setimpal.”
Resi Mandawya terkejut mendengar jawaban Bagawan Dharma. Ia
bertanya lagi, “Kapankah aku berbuat kesalahan itu?”
Bagawan Dharma menjawab, “Ketika engkau masih kanak-kanak.”
Resi Mandawya lalu mengucapkan kutuk-pastu pada Bagawan Dharma,
“Hukuman yang engkau putuskan sungguh keterlaluan, jauh melampaui batas
kesalahan yang diperbuat oleh kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Karena itu,
lahirlah engkau ke dunia sebagai manusia!”
Bagawan Dharma yang di-kutuk-pastu oleh Resi Mandawya menitis,
berinkarnasi dan terlahir ke dunia sebagai Widura, yaitu pelayan Ratu Ambalika,
istri Maharaja Wichitrawirya. ( Widura adalah saudara Dritarastra/Destarastra
dan Pandu Dewanata lain ibu )
Kelak Widura, yang sesungguhnya adalah inkarnasi Bagawan Dharma,
disegani orang-orang sebagai seorang mahatma yang sakti dan mumpuni dalam ilmu
pengetahuan tentang dharma, peradilan, sastra, dan ketatanegaraan. Widura tidak
pernah mempunyai ambisi apa pun dan sama sekali tidak pernah marah. Kemudian
Bhisma mengangkatnya sebagai penasihat utama Raja Dritarastra ketika Widura
baru berumur belasan tahun. Menurut Bagawan Wyasa, tak ada orang yang bisa
menandingi Widura di ketiga dunia ini, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam
kebajikan.
Suatu ketika Dritarastra mengijinkan anak-anaknya berjudi dadu.
Widura segera menyembah di kakinya sambil berkata, “O, Tuanku Raja, hamba tak
dapat menyetujui perbuatan itu. Putra-putra Tuanku akan berselisih dan
berseteru karena berjudi. Mohon Paduka renungkan kata-kata hamba dan jangan
ijinkan mereka berjudi.”
Sayang sekali, Maharaja Dritarastra berwatak lemah. Cintanya
yang sangat mendalam kepada putra-putranya membuatnya tak kuasa menolak
permintaan mereka. Ia bahkan meminta Yudhistira agar mau menerima undangan
Kaurawa untuk berjudi dadu.
Posting Komentar