Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda ...

Shop now !

Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencic...

Shop now !

Dalam rencana Bale Sigala-gala ini Drona yang menjadi guru besar warga Kurawa dan Pandawa tidak dilibatkan oleh Patih Sengkuni Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang...

Shop now !

Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak ada dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal...

Shop now !

Bima berjalan menyusuri Alas Pramanakoti setelah selamat dari ancaman pembunuhan . Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada ...

Shop now !

Bukti nyata bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. ...

Shop now !

ampir semua orang sudah siap berperang. Kedua belah pihak telah berkumpul di kubu masing-masing. Demi kehormatan dan kemuliaan perang kaum kesatria, mereka bertekad untuk memegang teguh aturan-aturan perang dalam melancarkan serangan dan gempuran terhadap lawan. Perang di jaman itu dibatasi dengan aturan-aturan yang berbeda dengan aturan di ja...

Shop now !

ekembalinya Krishna alias Gowinda ke Upaplawya, ia segera menemui Pandawa dan menyampaikan laporan kepada Yudhistira. Ia laporkan pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di Hastinapura dan pertemuannya dengan Dewi Kunti, ibu Pandawa. “Kini tidak ada lagi harapan untuk berdamai. Duryodhana bersikeras, tetap ingin berperang melawan kita. Sekarang ...

Shop now !
MAHABARATA Arjuna dan Pasupata

MAHABARATA Arjuna dan Pasupata


Di tempat pengasingan di dalam hutan, Bhima dan Draupadi sering bercakap-cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata bahwa amarah yang didasari kebenaran adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima penghinaan dan pasrah menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria sejati. Mereka berdebat sengit sambil mengutip pendapat para arif bijaksana untuk membenarkan pendapat masing-masing. Tetapi, dengan mantap Yudhistira berkata bahwa seorang kesatria haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia dari segala sifat manusia.
Bhima sudah tidak sabar ingin segera menyerang Duryodhana dan merebut kembali kerajaan mereka. Baginya tidak ada gunanya menjadi kesatria perkasa jika harus hidup mengembara di hutan, tanpa berperang, hanya bertapa bersama para resi dan pendita.
Bhima berkata kepada Yudhistira, “Engkau seperti mereka yang berulang-ulang melantunkan kidung suci Weda dengan suara merdu dan puas mendengar suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya. Otakmu jadi kacau. Engkau dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir dan bertindak seperti kesatria. Tingkah lakumu seperti brahmana. Seharusnya kau tahu, dalam kitab-kitab suci tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet berusaha adalah ciri-ciri kaum kesatria. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak Dritarastra berbuat curang seenaknya. Sia-sialah kelahiran seseorang sebagai kesatria jika ia tak dapat menundukkan musuh yang licik. Inilah pendapatku.”
“Bagiku, masuk neraka karena memusnahkan musuh yang jahat dan licik sama artinya dengan masuk surga. Hatimu yang lemah membuat kami panas hati. Aku dan Arjuna tidak terima. Hati kami bergejolak. Siang dan malam kami tak bisa tidur.”
Ia berhenti sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan, “Mereka orang-orang laknat yang merampas kerajaan kita dengan licik. Kini mereka hidup bergelimang kekayaan dan pesta pora. Tapi… engkau? Lihatlah dirimu! Engkau tergolek pulas seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa bergerak. Katamu, kita harus setia pada janji kita. Bagaimana mungkin Arjuna yang masyhur bisa hidup dengan menyamar? Mungkinkah Gunung Himalaya disembunyikan dalam segenggam rumput? Bagaimana bisa Arjuna, Nakula dan Sahadewa yang berhati singa hidup dengan sembunyi-sembunyi? Apa mungkin Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali orang? Apa pun usaha kita untuk menyamar, Kaurawa pasti bisa menemukan kita melalui mata-mata mereka. Jadi, tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua ini hanya alasan untuk mengusir kita selama tiga belas tahun. Kitab suci Sastra membenarkan kata-kataku, yaitu: janji berdasarkan kecurangan bukanlah janji. Engkau harus putuskan untuk menggempur musuh-musuh kita sekarang juga! Bagi kesatria, tak ada kewajiban yang lebih mulia daripada itu.”
Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan pendapatnya. Draupadi juga sering mengingatkan Yudhistira betapa ia telah dijamah oleh tangan-tangan kotor Duryodhana, Karna dan Duhsasana. Ia juga sering mencoba memanas-manasi Yudhistira dengan mengutip nukilan-nukilan kitab-kitab suci.
Yudhistira menjawab dengan sabar bahwa ia harus memperhitungkan semua kekuatan lawan dengan cermat. Ia menambahkan, “Musuh-musuh kita mempunyai sekutu terpercaya seperti Bhurisrawa, Bhisma, Drona, Karna dan Aswatthama. Mereka semua ahli perang dan olah senjata. Banyak raja yang kuat, besar atau kecil, kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan Drona tidak senang pada watak Duryodhana, tetapi mereka tidak akan meninggalkan dia. Mereka bersedia mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kaurawa.
“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan tak dapat ditentukan. Tak ada gunanya tergesa-gesa!”
Demikianlah, Yudhistira terus-menerus berusaha menenangkan saudara-saudaranya yang lebih muda.
Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, memohon agar dikaruniai senjata-senjata baru oleh para dewata. Ia minta diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali.
Panchali berkata,
“Wahai Dananjaya, semoga engkau berhasil menjalankan tugasmu. Semoga Dewata memberimu semua yang diidam-idamkan ibumu, Dewi Kunti, sejak dulu. Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami semua tergantung padamu. Kembalilah engkau setelah memperoleh senjata-senjata baru.”
Setelah mendapat restu dari saudara-saudaranya, Arjuna memulai perjalanannya. Ia menuruni jurang yang dalam, menembus hutan belantara, mendaki tebing-tebing terjal, hingga sampai di puncak Gunung Indrakila.
Di sana ia bersua dengan seorang brahmana tua. Brahmana itu tersenyum dan berkata kepadanya,
“Wahai anakku, engkau mengenakan pakaian prajurit dan membawa senjata. Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah digunakan. Sebagai kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan orang-orang suci dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?” Sesungguhnya brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan ayah Arjuna sendiri, yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya dalam keadaan baik, ia melepaskan samarannya dan menjelma kembali menjadi Batara Indra.
Arjuna menjawab, “Aku datang dengan maksud mencari senjata. Berilah aku senjata.”
Batara Indra berkata, “Oh, Dananjaya, apa gunanya senjata? Mintalah kesenangan atau carilah tempat yang lebih tinggi di dunia ini untuk bersenang-senang.”
Arjuna menjawab,
“Wahai Raja segala dewata, aku tidak menginginkan kesenangan, atau dunia yang lebih tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan Panchali dan saudarasaudaraku di hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”
Kemudian Batara Indra menyarankan, “Pergilah bertapa, memohon karunia Batara Shiwa, sang Dewata Bermata Tiga. Semoga engkau dikaruniai senjata mahasakti.”
Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang dan Arjuna meneruskan perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa di punggung gunung itu, memohon anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa.
Ketika Arjuna sedang bertapa, datanglah Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-nya, ke dalam hutan itu dengan menyamar sebagai pemburu. Mereka berburu dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang kabut menuju tempat Arjuna bertapa. Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna mengangkat busurnya, membidikkan anak panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak panah dari busur Arjuna, meluncur pulalah panah Pinaka milik Batara Shiwa. Dua-duanya tepat mengenai sasaran.
Arjuna berteriak lantang, “Siapakah engkau? Mengapa engkau pergi berburu bersama istrimu? Kenapa engkau lancang memanah babi hutan yang kupanah?”
Pemburu itu menjawab dengan tenang, “Hutan ini kepunyaan kami yang hidup di sini dan sejak dulu ini memang hutan perburuan. Engkau kelihatan tak sesigap pemburu pada umumnya. Keseluruhan dirimu menunjukkan bahwa engkau biasa hidup nyaman di kota. Sesungguhnya, akulah yang lebih pantas bertanya, apa yang kaucari di sini. Lagi pula, akulah yang membunuh babi hutan itu.”
Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia menantang pemburu itu untuk bertarung. Si pemburu menerima tantangannya.
Dengan tangkas Arjuna melompat, mengangkat busur lalu melepaskan anak-anak panah dengan cepat, susul menyusul seperti ular menjulur mematuk pemburu itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna, pemburu itu bisa mengelak dengan mudah. Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua anak panahnya lenyap tak berbekas. Ketika anak panahnya habis, Arjuna menggunakan busurnya untuk menyerang, tetapi pemburu itu menepisnya sambil tertawa. Kini Arjuna tak punya panah dan busur lagi. Ia heran melihat pemburu sederhana yang sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus pedangnya lalu menikam pemburu itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka, malahan pedang Arjuna yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi. Tetapi ia terus melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-erat dan mengikatnya dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa berkutik lagi.
Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna mengheningkan cipta dan memohon kepada Batara Shiwa. Seketika itu, muncul seleret cahaya berkilat dalam jiwanya dan … tampak olehnya sosok Batara Shiwa. Arjuna tersadar, pemburu itu adalah Batara Shiwa yang menyamar. Maka ia segera bersimpuh dan menyembahnya, memohon ampun atas kesalahannya yang tak disengaja. Batara Shiwa mengampuninya dan mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna.
Dalam perkelahian dengan Batara Shiwa, badan Arjuna berulang-ulang bersentuhan dengan Batara mahasakti bermata tiga itu. Karena itu, tanpa setahunya, ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus kali lipat.
Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Shiwa menghadiahkan Pasupata, senjata yang sangat ampuh, sambil berkata, “Pergilah ke kahyangan dan temui ayahmu, Batara Indra, untuk menyampaikan hormat dan baktimu kepadanya.”

Setelah berkata demikian Batara Shiwa pun lenyap dari pandangan. Sesaat kemudian Matali, pengemudi kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk dibawa ke kerajaan para dewata.
MAHABARATA Sumpah Setia Krishna

MAHABARATA Sumpah Setia Krishna


Salwa sangat marah ketika mendengar berita terbunuhnya Sisupala oleh Krishna pada waktu upacara besar rajasuya yang diadakan Yudhistira di Indraprastha. Salwa, sahabat Sisupala, tahu benar bahwa Krishna dan Sisupala memang bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena Basudewa, ayah Krishna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal permusuhan itu adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan diperistri oleh Krishna.
Sebagai teman sejati yang ingin membalas dendam atas kematian Sisupala, Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota kerajaan Krishna. Ketika itu Krishna masih berada di Indraprastha dan semua urusan sehari-hari kerajaan dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun sudah lanjut usia, dengan sekuat tenaga Ugrasena mempertahankan ibukota Dwaraka dari serangan Salwa.
Ibukota Dwaraka dikelilingi benteng yang sangat kuat dan didirikan di sebuah pulau yang dilengkapi persenjataan luar biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-kemah untuk menyimpan persenjataan dan persediaan makanan dalam jumlah sangat besar. Balatentara Dwaraka yang sangat banyak jumlahnya dipimpin oleh perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan keadaan perang. Pada malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke tempat-tempat hiburan. Semua jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal dilarang berlabuh. Semua jalan keluar masuk ibukota dipasangi rintangan berupa batang-batang pohon berduri. Penjagaan diperketat. Setiap orang yang keluar atau masuk ibukota diperiksa, tanpa kecuali. Singkatnya, segala sesuatu diterapkan dengan keras dan tegas agar ibukota bisa dipertahankan. Balatentara Dwaraka diperbanyak dengan memanggil pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran dan ketangkasannya berolah senjata.
Tetapi… pertahanan sekokoh itu tak mampu menahan serangan balatentara Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap. Serangan mereka begitu hebat sehingga ibukota Dwaraka rusak berat. Ketika kembali, Krishna sangat kaget dan marah melihat ibukota Dwaraka telah dihancurkan balatentara Salwa. Ia lalu mengerahkan kekuatan yang ada untuk membalas serangan Salwa.
Setelah bertempur dengan sengit, balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan balatentara Salwa. Ketika itulah Krishna mendengar berita tentang kekalahan Pandawa dalam permainan dadu di Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui Pandawa di hutan tempat pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya, antara lain orang-orang terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan Kekaya, dan Raja Dristaketu dari Kerajaan Chedi. Dristaketu adalah anak Sisupala, tetapi ia sangat kecewa mendengar tentang kebusukan hati Duryodhana. Ia meramalkan bahwa bumi ini akan menghisap darah manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu.
Draupadi mendekati Krishna dan menceritakan penghinaan yang dialaminya dengan suara terputus-putus dan air mata berlinang-linang. “Aku diseret ke depan persidangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sangat keji. Mereka menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka. Mereka perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di Hastinapura. Lebih menyakitkan hati adalah sikap Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa akan asal kelahiranku dan hubunganku dengan mereka.
“Wahai, Janardana*, suami-suamiku pun tidak melindungi aku dari penghinaan manusia-manusia bejat itu. Kekuatan raga Bhima yang perkasa dan senjata Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang yang paling lemah sekali pun, jika mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit melawan. Tetapi … Pandawa yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan masyhur malah tidak melakukan apa-apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu, diseret ke depan persidangan dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-hinanya. Wahai Madhusudana*, engkau pun telah meninggalkan aku.”
Sambil berkata-kata demikian, sekujur tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati yang tak tertanggungkan.
Krishna sangat terharu dan mencoba menghibur Draupadi yang menangis tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa dalam perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu! Aku berjanji, segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal. Aku akan menolong Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi permaisuri Rajadiraja Yang Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh terbelah, bumi boleh retak, lautan boleh kering, tetapi kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di hadapanmu.”
Demikianlah Krishna bersumpah di hadapan Draupadi, seperti dinyatakan dalam kitab-kitab suci, “Demi melindungi kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan. Demi memegang teguh dharma, aku dilahirkan ke dunia dari abad ke abad.”
Dristadyumna menghibur Draupadi dengan berkata, “Hapuslah air matamu, adikku. Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan menewaskan Bhisma, Bhima akan melenyapkan nyawa Duryodhana dan saudara-saudaranya, sedangkan Arjuna akan menamatkan Karna, anak sais kereta kuda itu.”
Krishna berkata lagi, “Ketika peristiwa sedih itu menimpa dirimu, aku sedang berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti takkan membiarkan kecurangan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu aku pasti akan datang untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan para kesatria tua lainnya akan tugas kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan mencegah permainan curang itu dengan jalan apa pun. Ketika Sakuni menipumu, aku sedang bertempur melawan Raja Salwa yang menyerang Dwaraka. Aku baru mendengar tentang ini setelah mengalahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa langsung selesai dan untuk sementara air tetap merembes.”
Setelah berkata demikian, Krishna minta diri untuk kembali ke Dwaraka bersama Subadra, adiknya yang diperistri Arjuna dan Abimanyu, keponakannya.
Dristadyumna kembali ke Panchala, membawa anak-anak Draupadi dari kelima suaminya, yaitu: Pratiwindhya anak Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti anak Arjuna, Satanika anak Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa.
***

* Krishna juga dipanggil Janardana, artinya ‘kesayangan manusia’ dan Madhusudana, artinya ‘pembunuh raksasa bernama Madhu’.
MAHABARATA Dritarastra Selalu Cemas

MAHABARATA Dritarastra Selalu Cemas

Melihat Pandawa berangkat meninggalkan kerajaan menuju hutan tempat mereka dibuang, rakyat merasa sedih. Mereka keluar rumah berjajar di pinggir jalan, naik ke pohon-pohon dan atap rumah-rumah, hendak mengucapkan selamat jalan kepada Pandawa. Para pedagang dan putra-putra bangsawan yang sedang melintas dengan menunggang gajah atau kuda segera berhenti dan menepi, memberi jalan kepada Pandawa. Mereka memberi salam hormat dan simpati. Pandawa yang biasanya keluar istana menunggang kuda gagah atau naik kereta megah, kini berjalan dengan kaki telanjang dan pakaian kumal menuju hutan belantara.
Raja Dritarastra memanggil Widura dan memintanya menceritakan suasana keberangkatan Pandawa ke tempat pengasingan mereka.
Berkatalah Widura, “Yudhistira berjalan dengan wajah ditutupi sehelai kain. Bhima berjalan di sebelahnya dengan wajah tertunduk. Arjuna berjalan paling depan sambil menaburkan pasir sepanjang jalan. Nakula dan Sahadewa berjalan di belakang Yudhistira. Badan mereka penuh debu. Draupadi berjalan di samping Dharmaputra. Rambutnya yang indah panjang terurai menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Resi Dhaumya mengiringkan mereka sambil mengidungkan madah suci Sama yang ditujukan kepada Batara Yama, Dewa Kematian.”
Mendengar cerita Widura, Dritarastra semakin sedih dan cemas. Ia bertanya lagi, “Bagaimana reaksi rakyat?”
Widura menjawab, “Tuanku Raja, aku akan ulangi kata-kata yang mereka ucapkan. Mereka berasal dari semua lapisan dan golongan masyarakat: ‘Pemimpin kita telah meninggalkan kita. Celakalah bangsa Kuru yang membiarkan ini terjadi! Anak-anak Dritarastra, terkutuklah kalian karena telah mengusir putra-putra Pandu ke hutan.’
“Sementara rakyat menuduh dan menyalahkan kita, dunia menjadi gelap, langit diliputi mendung tebal, guruh menggelegar, halilintar menyambar-nyambar, dan bumi bergoncang. Semua itu pertanda buruk yang mengusik ketenangan hati rakyat.”
Bhagawan Narada
Ketika Dritarastra dan Widura sedang bercakap-cakap, tiba-tiba Bhagawan Narada muncul di hadapan mereka dan bersabda, “Empat belas tahun yang akan datang, terhitung dari hari ini, Kaurawa akan punah, terkikis habis dari dunia akibat perbuatan jahat Duryodhana.”
Setelah bersabda begitu, Bhagawan Narada lenyap dari pandangan.
Duryodhana dan saudara-saudaranya menjadi cemas. Mereka buru-buru menemui Drona, memohon padanya agar jangan meninggalkan mereka apa pun yang akan terjadi.
Dengan sedih Drona menjawab, “Aku percaya pada mereka yang bijaksana, yang mengatakan bahwa Pandawa berasal dari keturunan suci dan tidak mungkin dikalahkan. Tetapi, kewajibanku adalah bertempur di pihak putra-putra Dritarastra yang telah mengangkatku sebagai mahaguru mereka. Jiwa dan ragaku kupersembahkan bagi tanah ini karena hasil buminya telah menghidupiku selama ini. Aku akan berjuang untuk kalian, tapi ajalku ada di tangan Yang Kuasa. Kelak, Pandawa pasti akan kembali dari pembuangan dengan amarah dan dendam yang tak terlukiskan.
“Aku tahu apa artinya perasaan itu, sebab aku telah menggulingkan dan menghina Raja Drupada karena kemarahan dan dendamku kepadanya. Dengan dendam membara yang tak dapat diredakan lagi, Drupada melakukan upacara korban agar dianugerahi anak laki-laki yang kelak akan membunuhku. Kabarnya anak itu diberi nama Dristadyumna. Seperti telah ditakdirkan, ia menjadi ipar Pandawa dan sekutu terpercaya mereka. Segala sesuatu bergerak sesuai garis takdir. Demikianlah, semua perbuatanmu menuju ke arah itu dan hari-harimu dapat dihitung. Sebab itu, jangan buang-buang waktu untuk berbuat kebajikan karena engkau mampu melakukannya. Lakukan upacara-upacara korban besar. Bersenang-senanglah kalian dengan segala macam kesenangan yang tak tercela dan tak terkutuk. Berikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Segala kutuk dan laknat akan mengepung kalian di tahun keempat belas.
“Wahai Duryodhana, berdamailah engkau dengan Yudhistira. Ingat baik-baik nasihatku ini. Tapi, sudah tentu engkau dapat melakukan apa pun yang kauinginkan.”
Duryodhana sangat kecewa mendengar kata-kata Drona.
Sementara itu, Sanjaya, sais kereta pribadi Raja Dritarastra bertanya kepada tuannya, “Tuanku Raja, kenapa Tuanku kelihataan bersusah hati?”
Dritarastra menjawab, “Bagaimana aku tidak sedih mengetahui Pandawa dihina dan dilukai hatinya?”
Sanjaya bertanya, “Apa yang Tuanku katakan itu benar. Orang yang menyimpang dari jalan kebenaran berarti lupa daratan, tidak tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Waktu memusnahkan segalanya, tanpa menggunakan gada atau menghantam kepala orang sampai pecah. Tetapi, dengan menghancurkan pertimbangan baiknya, orang menjadi gila dan mengundang kehancurannya sendiri. Secara keterlaluan putra-putra Tuanku telah menghina Panchali, putri dari Kerajaaan Panchala, alias Draupadi. Mereka telah menyediakan jalan mereka sendiri menuju kemusnahan.”
Dritarastra berkata, “Aku tidak mengikuti jalan menuju kebajikan dharma dan pemerintahan yang baik, tetapi membiarkan diriku dibawa ke jalan salah oleh anakku yang gila harta dan kuasa. Seperti katamu, kita telah mempercayakan diri kita diseret waktu menuju jurang keruntuhan.”
Biasanya Widura memberi nasihat kepada Dritarastra secara jujur. Ia sering berkata bahwa Duryodhana telah melakukan kesalahan-kesalahan besar dan baru-baru ini telah menipu Dharmaputra. Widura juga berkata bahwa adalah kewajiban Drona untuk membawa Kaurawa ke jalan benar dan menjauhkan mereka dari jalan kejahatan. Selanjutnya ia menyarankan agar Yudhistira dan saudara-saudaranya dipanggil dari hutan pengasingan untuk berdamai dengan dia. Tegasnya, harus ada yang menghentikan Duryodhana untuk berbuat yang bukan-bukan dan, bila perlu, sekali-sekali dengan kekerasan.
Pada mulanya Dritarastra diam saja dan menyimak kata-kata Widura. Meski demikian, dengan hati sedih ia mengakui bahwa sesungguhnya Widura lebih bijaksana daripada dirinya. Widura selalu mengharapkan hal-hal yang baik bagi Dritarastra. Ia senantiasa berdoa untuk kesehatan dan keselamatan rajanya. Tetapi lama-lama kesabaran Dritarastra hilang karena bosan mendengar khotbah-khotbah tentang pekerti luhur.
Pada suatu hari, ketika kesabarannya sudah habis dan dia bosan mendengar nasihat-nasihat Widura, Dritarastra berkata lantang, “Hai Widura, diamlah! Engkau selalu bicara dengan nada memihak Pandawa dan menjelek-jelekkan anak-anakku. Engkau tidak pernah menghargai kebaikan kami. Ketahuilah, Duryodhana terlahir dari darah dagingku. Bagaimana mungkin aku mengenyahkan dia? Apa perlunya engkau menasihatiku tentang pekerti-pekerti luhur? Aku tidak percaya lagi padamu dan aku tidak membutuhkan engkau lagi. Kalau kau mau, kau bebas mengikuti Pandawa ke mana pun.”
Sambil berkata demikian ia bangkit membelakangi Widura, lalu masuk ke balai peristirahatannya.
Widura, putra Bhagawan Wyasa, terkenal sebagai orang paling bijaksana di antara kaum cendekiawan. Ia juga menjadi penasihat Kaurawa dan Pandawa. Dengan sedih ia membayangkan kehancuran bangsa Kuru yang tak terhindarkan. Mendengar kata-kata Dritarastra, ia bergegas keluar istana, mengambil keretanya, lalu melecut kudanya agar berlari sekencang-kencangnya. Demikianlah, ia melesat cepat bagaikan menunggang angin, menyusupi hutan rimba untuk menemui Pandawa dalam pembuangan.
Sepeninggal Widura, hati Dritarastra semakin gundah. Ia sangat menyesal karena tidak menghalang-halangi putranya. Dengan penyesalan yang amat dalam, ia berkata pada dirinya sendiri, “Apa yang telah aku perbuat? Aku malah menambah kekuatan Pandawa dengan mengusir Widura yang bijaksana dan membuatnya memihak mereka.”
Pikirannya semakin kalut dan sedih hatinya tak tertahankan lagi. Akhirnya ia mengutus Sanjaya, menteri kepercayaannya, untuk menemui Widura dan menyampaikan penyesalannya. Sanjaya juga harus berkata bahwa Dritarastra mengharapkan mereka kembali ke Hastinapura.
Sanjaya, utusan istimewa itu, segera berangkat ke hutan. Di dalam hutan, di sebuah pertapaan, ia bertemu dengan Pandawa. Saat itu Pandawa mengenakan pakaian dari kulit kijang dan dikelilingi banyak resi dan pendita. Ia juga bertemu Widura di sana. Setelah dipersilakan duduk, Sanjaya menyampaikan pesan Dritarastra dan menambahkan bahwa raja buta itu akan mangkat dengan perasaan putus asa jika Widura tidak bersedia kembali ke Hastinapura.
Widura yang berhati seputih kapas dan selalu memegang teguh dharma, merasa terharu. Ia menyatakan bersedia kembali ke Hastinapura.
Demikianlah, Widura kembali ke Hastinapura bersama Sanjaya. Sampai di istana, ia langsung dipeluk oleh Dritarastra dengan air mata berlinang-linang. Mereka berjanji untuk melupakan perseteruan mereka dan menghapus semua kenangan buruk dari ingatan masing-masing.
***
Pada suatu hari Resi Maitreya datang ke istana Raja Dritarastra dan diterima dengan penuh kehormatan. Dritarastra sangat mengharapkan restu resi itu. Katanya,
“Wahai Resi yang kuhormati, aku yakin, Resi pasti bersua dengan anak-anak Pandawa yang kucintai di rimba Kurujanggala. Apakah mereka sehat-sehat? Apakah rasa saling mengasihi dalam keluarga kami takkan pernah berkurang sedikit pun?”
Resi Maitreya menjawab, “Kebetulan aku bertemu dengan Yudhistira di hutan Kamyaka. Para resi di hutan itu berdatangan menemui dia. Dari sana aku tahu apa yang telah terjadi di Hastinapura. Aku sangat terkejut karena peristiwa itu bisa terjadi dan dibiarkan terjadi ketika Tuanku Raja dan Bhisma masih ada.”
Kemudian Resi Maitreya menemui Duryodhana. Ia menasihati Duryodhana demi kebaikan pangeran itu sendiri. Dinasihatinya Duryodhana untuk tidak bermusuhan dengan Pandawa karena kecuali sakti dan perkasa, Pandawa juga bersekutu dengan Drupada dan Krishna. Tetapi Duryodhana yang keras kepala, gila harta dan gila kuasa itu hanya tertawa, menepuk-nepuk pahanya dan meludah dengan congkak. Ia tidak menyahut apa-apa dan pergi begitu saja.
Resi Maitreya menjadi berang. Sambil memandang Duryodhana, ia berkata, “Dasar sombong! Kau menyombongkan diri, menepuk pahamu dan meludah sembarangan untuk menghina orang yang mendoakan segala kebaikan dan keselamatan untukmu. Ingatlah, pahamu yang engkau tepuk itu akan belah menjadi dua ditusuk tombak Bhimasena dan engkau sendiri akan mati dalam pertempuran.”
Mendengar kutuk-pastu Resi Maitreya itu, Dritarastra melompat berdiri lalu menyembah Resi itu, memintakan maaf untuk anaknya. Tetapi Resi Maitreya yang sakti itu berkata, “Kutuk pastu-ku tidak akan mempan jika putramu mau berdamai dengan Pandawa. Tetapi kalau tidak, beranikah engkau menghadapi akibatnya?!”

Setelah berkata demikian, Resi Maitreya meninggalkan istana dengan perasaan kecewa.
MAHABARATA Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu

MAHABARATA Semua Dipertaruhkan dalam Permainan Dadu





Maka pergilah Widura ke Indraprastha. Sampai di sana, ia disambut oleh Yudhistira. Raja muda itu bertanya dengan perasaan prihatin, “Mengapa engkau tidak gembira? Apakah keluarga kita di Hastinapura sehat-sehat? Apakah Baginda Raja dan putra-putranya sehat-sehat?”
Setelah saling menyampaikan salam penghormatan, Widura menjelaskan maksud kedatangannya. “Semua kerabat kita di Hastinapura sehat. Bagaimana di sini? Apakah semuanya sehat? Aku datang karena diutus mengundangmu atas nama Raja Dritarastra. Datanglah ke Hastinapura dan lihatlah bangunan-bangunan yang telah disiapkan untuk beristirahat.
“Sebuah balairung indah telah didirikan seperti yang engkau bangun di sini. Baginda Raja mengundang kau dan adik-adikmu untuk beristirahat dan bermain dadu di sana.”
Yudhistira tidak langsung menerima undangan itu. Ia ingin mendengar nasihat Widura tentang undangan itu. Katanya, “Bermain dadu sambil bertaruh selalu menimbulkan pertengkaran di antara kaum kesatria. Orang yang bijak pasti akan menghindari hal itu. Kami selalu patuh pada nasihatmu. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
Widura menjawab, “Setiap orang tahu, bermain dadu adalah pangkal semua kejahatan. Aku telah berusaha menentang rencana buruk ini! Tetapi Baginda Raja memerintahkan aku mengundang engkau. Terserah kepadamu, lakukanlah apa yang menurutmu baik.”
Walaupun telah mendengar peringatan halus Widura, Yudhistira tetap saja berniat pergi ke Hastinapura.
Memang sulit menghindari nasib manusia yang dengan sengaja melangkah menuju kehancurannya sendiri karena didorong nafsu berahi, kegemaran berjudi, dan kebiasaan minum-minum. Lagi pula, sesungguhnya Yudhistira memang gemar berjudi. Menurut tradisi jaman itu, seorang kesatria dianggap tidak sopan jika menolak undangan bermain dadu.
Kecuali itu, Yudhistira telah bersumpah untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain tidak senang atau marah. Karena itu, sungguh tidak pantas jika ia menolak undangan pamannya sendiri, Raja Dritarastra. Itu sebabnya ia menerima undangan tersebut dan berangkat bersama saudara-saudaranya diiringkan sepasukan pengawal.
Yudhistira dan rombongannya diterima Dritarastra di Hastinapura dan dipersilakan menginap di balai peristirahatan khusus untuk tamu. Setelah cukup beristirahat, esok harinya mereka diantar ke ruang permainan dadu. Setelah saling bertegur sapa sesuai adat, Sakuni mengumumkan bahwa permadani, meja dan kain beludu penutupnya telah disiapkan secara khusus dan bahwa permainan dapat dimulai.
Yudhistira berkata, “Paduka Raja, bermain judi itu tidak baik. Bukan dengan cara kesatria, kepandaian, dan kebijaksanaan seseorang menang dalam permainan adu nasib seperti ini. Resi Asita, para dewata dan dan para resi yang mengenal inti hakikat kehidupan secara mendalam telah menasihatkan, bahwa permainan judi harus dihindari, karena permainan ini bisa membuat orang ingin berbohong dan menipu. Mereka juga menyatakan bahwa kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran adalah jalan yang paling pantas bagi kesatria. Paduka Tuanku sudah tentu bukannya tidak menyadari hal ini.”
Meski berkata demikian, sesungguhnya hati kecil Yudhistira bimbang karena kata-katanya bertentangan dengan kegemarannya bermain dadu.
Sakuni tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam hati Yudhistira karena ia telah mendengar tentang sumpah kesatria itu. Itulah kelemahan Yudhistira.
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sakuni. Ia berkata, “Apa salahnya permainan ini? Sebenarnya, jika sungguh-sungguh dipikirkan, pertempuran itu sebenarnya apa? Apa pula gunanya berbincang-bincang tentang ajaran-ajaran Weda dengan para guru ahli kitab suci? Dalam kenyataannya kita tahu, orang pintar selalu menang melawan orang bodoh. Dalam kenyataannya, orang yang lebih pandai selalu menang dalam segala hal. Semua ini hasil ujian kekuatan atau kepandaian. Dalam kehidupan manusia, yang ahli selalu mengalahkan yang baru mulai belajar. Demikian pula dalam hal bermain dadu. Kalau memang takut kalah jangan ikut main. Jangan mencari-cari alasan dengan mengemukakan basa-basi tentang ajaran moral dan budi pekerti.”
Yudhistira menjawab, “Baiklah, siapa yang akan main melawan aku?”
Duryodhana langsung menjawab, “Aku ingin memenangkan semua taruhanmu, semua harta kekayaan dan kerajaanmu. Paman Sakuni akan mengocok dadu dan bermain atas namaku.”
Semula Yudhistira telah memperhitungkan bahwa dia pasti bisa menang melawan Duryodhana. Tetapi, melawan Sakuni lain soal. Sakuni termasyhur sebagai pemain dadu yang ulung namun tidak malu-malu menggunakan segala cara, kalau perlu cara-cara licik, untuk memenangkan permainan. Karena itu Yudhistira berkata, “Menurutku itu menyalahi adat. Sungguh tidak lazim seseorang bermain atas nama orang lain.”
Sakuni menjawab sambil mengejek, “Aku tahu, engkau hanya mencari-cari alasan.”
Wajah Yudhistira memerah. Sambil menahan marah ia menjawab, “Baiklah, aku akan main.”
Ruangan bermain dadu itu penuh sesak. Tampak di antara yang menonton adalah Drona, Mahaguru Kripa, Bhisma, Widura dan Raja Dritarastra. Mereka membayangkan betapa buruknya akibat yang bisa ditimbulkan oleh permainan judi, tetapi mereka tak mampu mencegah. Itu sebabnya mereka duduk dengan gelisah. Para pangeran dan bangsawan menyaksikan permainan itu dengan penuh minat dan semangat.
Mula-mula mereka bertaruh uang, sesudah itu bertaruh emas permata. Disusul kereta dan kuda-kudanya. Yudhistira selalu kalah. Sejak permainan pertama dia belum pernah menang. Kemudian Yudhistira mempertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, lalu gajah-gajah dan pasukan berkudanya. Semua yang ia pertaruhkan habis. Setiap kali Sakuni mengocok dan melemparkan dadu, dadu itu selalu memunculkan angka sesuai kemauannya.
Yudhistira kemudian mempertaruhkan semua desa di wilayah kerajaannya, lengkap dengan penduduknya, sawah dan ladangnya, dan segala macam ternaknya. Semuanya habis dikalahkan Sakuni.
Akhirnya Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Yudhistira menjawab, “Aku pertaruhkan Nakula, saudaraku yang tampan dan berkulit bersih. Ia adalah salah satu hartaku yang paling berharga.”
Sakuni bertanya, “Kau tidak menyesal? Kami akan senang sekali memenangkan taruhan itu.”
Sambil berkata demikian ia melemparkan dadu. Ketika berhenti berputar, dadu itu memunculkan angka yang dikehendakinya. Hadirin bingung melihat itu.
Yudhistira berkata, “Ini saudaraku yang lain, Sahadewa. Ia seorang seniman yang punya pengetahuan mendalam tentang berbagai macam seni. Aku tahu, sebenarnya aku tidak boleh mempertaruhkan dia. Tetapi … ayo, kita teruskan permainan.”
Sambil melemparkan dadu, Sakuni berkata, “Baiklah, kita teruskan permainan, dan … lihat aku menang.”
Yudhistira menyerahkan Sahadewa yang ia pertaruhkan. Khawatir kalau-kalau Yudhistira memutuskan untuk berhenti bermain, dengan licik Sakuni memancing-mancing, “Bhima dan Arjuna adalah saudara-saudara kandungmu. Kalian terlahir dari satu ibu. Kau tidak akan mempertaruhkan mereka, bukan?”
Mendengar kata-kata itu, Yudhistira tersinggung. Ia tidak mau dikatakan tega mempertaruhkan saudara-saudara tirinya dan lebih menyayangi saudara-saudaranya sekandung. Ia tidak dapat menahan perasaannya, lalu berkata, “Engkau sengaja hendak memecah-belah kami. Engkau mengadu domba kami! Engkau yang selalu hidup dikuasai nafsu setan takkan bisa mengerti bagaimana hidup kami yang sebenarnya.”
Setelah mengambil napas, ia menyambung, “Aku akan pertaruhkan Arjuna, pahlawan yang selalu menang di medan pertempuran. Mari kita teruskan permainan.”
Sakuni menjawab, “Baiklah, aku lemparkan dadu. Lihat … aku menang!”
Yudhistira kalah lagi. Arjuna diambil oleh Kaurawa. Kekalahan terus-menerus membuat Yudhistira gelap mata. Tanpa sadar, ia semakin tenggelam dalam tipu daya Sakuni. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, “Ini Bhima, saudaraku, panglima tertinggi balatentara kami. Ia tak kenal menyerah dan keperkasaannya tak tertandingi. Aku jadikan dia taruhanku.”
Permainan diteruskan. Yudhistira kehilangan Bhima.
Sambil mengejek Sakuni bertanya, “Apakah masih ada yang bisa kaujadikan taruhan?”
Dharmaputra menjawab, “Ya, diriku sendiri. Kalau kau menang, aku bersedia menjadi budakmu. Awas, perhatikan! Aku pasti menang.”
Sakuni melemparkan dadu dan ia menang.
Demikianlah, Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya, termasuk saudara-saudara dan dirinya sendiri, lengkap dengan pakaian dan senjata yang selalu lekat pada tubuh para kesatria. Semua itu gara-gara ia terbujuk oleh kata-kata Sakuni yang terus-menerus berusaha mempengaruhi, memancing-mancing, menyindir dan mengejeknya agar Yudhistira kehilangan kendali atas dirinya, menjadi marah, bernafsu dan tak kuasa menghentikan permainan.
Sakuni bangkit berdiri lalu memanggil kelima Pandawa satu per satu. Dengan lantang ia mengumumkan bahwa secara sah mereka sekarang menjadi budak-budaknya. Para hadirin terpaku, tak kuasa berkata-kata. Sambil memandang Yudhistira, Sakuni melanjutkan, “Masih ada satu permata milikmu yang dapat engkau pertaruhkan. Mungkin kali ini nasib baik berpihak padamu dan engkau menang. Apakah kau tidak berani melanjutkan permainan dengan mempertaruhkan Draupadi, istrimu?”
Dengan putus asa Yudhistira menjawab, suaranya bergetar, “Baiklah, aku pertaruhkan dia.”
Hadirin menjadi ribut. Dari tempat duduk para sesepuh terdengar bisik-bisik tidak setuju. Kemudian dari segala penjuru terdengar teriakan, “Tidak, tidak, tidak!”
Tetapi Duryodhana dan saudara-saudaranya bersorak-sorak. Di antara para Kaurawa, hanya Yuyutsu yang menundukkan kepala, sedih menyaksikan semua itu. Sakuni melemparkan dadu lagi dan berteriak, “Aku menang! Lihatlah!”
Duryodhana menoleh kepada Widura sambil berkata, “Pergilah ambil Draupadi istri Pandawa. Mulai sekarang ia harus menyapu dan membersihkan istana kita. Pergi segera! Sekarang juga!”
Widura menjawab, “Kau gila. Ini berarti kau mengundang kehancuranmu sendiri. Ketahuilah, nasibmu kini ibarat tergantung pada seutas benang. Kalau tak hati-hati, kau akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Kaukira kemenanganmu ini akan membuatmu bahagia. Dengar, sekarang kau sedang mabuk dalam lautan kemenangan yang akan menenggelamkan dirimu.”
Setelah berkata demikian, Widura menoleh kepada Yudhistira sambil melanjutkan kata-katanya, “Yudhistira, kau tidak berhak mempertaruhkan Draupadi sebab dirimu sendiri tidak bebas lagi. Dirimu sudah kaupertaruhkan. Kau telah kehilangan kebebasan dan segala hakmu. Tapi … aku melihat keruntuhan Kaurawa semakin dekat. Karena mengabaikan nasihat dan petunjuk para guru, kawan dan pendukung mereka, aku yakin, putra-putra Dritarastra kini sedang menuju ke lembah neraka.”
Duryodhana sangat marah mendengar kata-kata Widura. Ia lalu berkata kepada Prathikami, sais keretanya,
“Widura iri melihat kemenangan kita dan takut kepada Pandawa. Tetapi engkau ada di pihak kami. Pergilah engkau, ambil, dan bawalah Draupadi ke sini.”
Prathikami pergi menjemput Draupadi di balai peristirahatan. Seperti diperintahkan Duryodhana, ia berkata, “Paduka Permaisuri, Raja Yudhistira kalah dalam permainan dadu dan telah mempertaruhkan semuanya, termasuk diri Paduka. Kini Paduka menjadi milik Duryodhana. Hamba diperintahkan menjemput Paduka untuk dijadikan pelayan di istana ini.”
Draupadi, permaisuri Rajadiraja yang telah melaksanakan rajasuya, sangat terkejut mendengar pesan aneh itu. Ia bertanya,
“Wahai Prathikami, apa maksudmu berkata begitu? Raja Yudhistira tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan?”
Prathikami menjawab, “Ya, Raja Yudhistira telah mempertaruhkan semua miliknya dan kalah. Kini ia tak punya apa-apa lagi. Karena itu, ia mempertaruhkan Paduka Permaisuri.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana Yudhistira kalah dalam permainan dadu dengan mempertaruhkan semua miliknya, saudara-saudaranya, termasuk dirinya sendiri.
Walaupun hatinya pedih sekali, namun kekuatan batinnya mendorong Draupadi untuk berkata,
“Wahai sais kereta, kembalilah kepada tuanmu. Tanyakan pada yang bermain dadu. Tanyakan, apakah lebih dulu mempertaruhkan dirinya sendiri atau istrinya. Tanyakan ini di depan semua yang hadir di sana. Kemudian kembalilah ke sini dengan jawaban itu. Setelah itu, barulah aku bersedia kaubawa ke sana.”
Prathikami kembali ke ruang permainan dadu. Ia menyembah Yudhistira lalu menanyakan pertanyaan Draupadi. Yudhistira bungkam, tak sanggup menjawab.
Sekali lagi Duryodhana menyuruh Prathikami menjemput Draupadi agar bisa bertanya langsung kepada suaminya. Prathikami kembali menghadap Draupadi. Setelah menyembah ia berkata, “Paduka Permaisuri, Duryodhana yang berhati licik mengharapkan Paduka pergi ke ruang permainan dan bertanya sendiri kepada suami Paduka.”
Draupadi menjawab, “Tidak! Kembalilah ke sana, ajukan pertanyaan itu dan minta jawabannya.”
Prathikami mematuhinya. Ia kembali ke ruang permainan, menghadap Duryodhana dan melaporkan bahwa Draupadi tidak bersedia datang.
Dengan marah Duryodhana lalu berkata kepada Duhsasana, salah satu saudaranya, “Orang ini takut pada Bhima! Pergilah engkau dan bawa Draupadi ke sini. Kalau perlu … seret dia!”
Mendengar perintah itu, Duhsasana yang berhati busuk dengan senang hati pergi melakukannya. Sampai di balai peristirahatan, ia langsung masuk ke kamar Draupadi sambil berteriak-teriak, “Ayo pergi, kenapa kau diam saja? Sekarang kau milik kami. Jangan malu-malu, hai wanita cantik! Menurutlah, sebab kami telah memenangkan engkau. Ayo, sekarang juga kita berangkat ke persidangan!”
Sambil berkata demikian ia mendekati Draupadi dengan maksud menyeretnya secara paksa.
Draupadi bangkit. Dengan perasaan sedih bercampur benci ia berlari mencari tempat berlindung. Ia bersembunyi di dalam kamar Permaisuri Raja Dritarastra. Tetapi Duhsasana mengejarnya, menyergapnya, dan mencengkeram rambutnya.
Sambil mencengkam rambut wanita jelita itu, ia menyeret Draupadi ke ruang permainan. Setibanya di sana, sambil menekan perasaannya, Draupadi berkata kepada mereka yang lebih tua, “Bagaimana mungkin Tuan-Tuan membiarkan diriku dijadikan taruhan oleh orang yang telah kalah berjudi? Bukankah para penjudi adalah manusia-manusia jahat yang ahli tipu-menipu? Karena suamiku sudah menjadi budak gara-gara kalah berjudi, ia bukan manusia bebas lagi dan karena itu ia tak berhak mempertaruhkan aku.”
Dengan air mata berlinang-linang Draupadi meneruskan kata-katanya, “Jika kalian memang mencintai dan menghormati kaum ibu yang telah melahirkan dan menyusui kalian, jika penghargaan terhadap istri atau saudara perempuan atau putri kalian benar-benar tulus, jika kalian memang percaya kepada Yang Maha Agung dan dharma, jangan biarkan aku dihina seperti ini. Penghinaan ini lebih kejam dari kematian!”
Mendengar kata-kata Draupadi yang tajam menyayat hati dan melihat air matanya yang bercucuran, para sesepuh itu menundukkan kepala karena malu dan sedih. Bhima tak bisa menahan diri lagi. Dadanya sesak, seakan hendak meledak.
Dengan suara menggelegar dan dengan nada pahit ia berkata kepada Yudhistira, “Penjudi kawakan yang paling bejat pun tidak akan mempertaruhkan perempuan kotor yang mereka pelihara. Tetapi … lihatlah dirimu yang mengaku sebagai manusia berbudi luhur. Engkau ternyata lebih buruk dari mereka. Engkau biarkan putri Raja Drupada, permaisurimu, dihina oleh manusia-manusia kurang ajar ini. Aku tak dapat membiarkan tindakan tak susila ini tanpa bertindak. Saudaraku Sahadewa, ambilkan api. Akan kubakar tangan manusia-manusia yang merencanakan permainan dadu curang ini.”
Arjuna bangkit, menahan Bhima dengan kata-kata penuh kesabaran, “Sejak semula engkau tidak berkata apa-apa. Sejak dulu mereka selalu ingin mengenyahkan kita atau menjerumuskan kita ke dalam jaring-jaring kejahatan agar kita terseret ikut berbuat jahat. Kita tidak boleh mengikuti segala tipu daya, kejahatan dan permainan licik mereka. Waspadalah!”
Mendengar peringatan Arjuna, Bhima diam dan berusaha menahan perasaannya.
Tetapi Wikarna, salah seorang putra Dritarastra tidak tega melihat penderitaan Draupadi. Ia bangkit berdiri dan berkata,
“Wahai para kesatria yang hadir di sini, mengapa Tuan-Tuan diam saja? Aku tahu, aku masih muda. Tetapi karena kalian diam saja, aku terpaksa bicara. Dengar! Yudhistira telah ditipu dalam permainan yang telah direncanakan masak-masak sebelum ia diundang. Karena itu ia tak mungkin menang. Karena terus menerus kalah, ia kehilangan kendali atas dirinya. Ia tega mempertaruhkan permaisurinya. Tetapi, sebenarnya ia tak punya hak untuk mempertaruhkan Draupadi karena putri ini bukan miliknya seorang. Maka taruhan itu tidak sah. Kecuali itu, Yudhistira telah kehilangan kebebasannya maka tak punya hak untuk mempertaruhkan putri ini. Ada lagi alasan yang memberatkan bahwa permainan ini tidak sah. Sakunilah yang mengusulkan Draupadi dijadikan taruhan. Ini bertentangan dengan aturan permainan. Siapa pun yang bermain dadu tidak berhak meminta taruhan tertentu kepada lawannya. Kalau kita pertimbangkan hal-hal tersebut, kita harus mengakui bahwa Draupadi telah dipertaruhkan dengan tidak sah, inilah pendapatku.”
Mendengar kata-kata Wikarna yang tajam dan berani, para tamu merasa lega dan pikiran mereka menjadi terang. Mereka bersorak, “Hidup dharma! Hidup dharma!” *)
Pada saat itulah Karna bangkit dan berkata, “Hai Wikarna, engkau lupa bahwa banyak yang lebih tua darimu hadir di ruangan ini. Lancang benar engkau, berani mempertanyakan aturan-aturan. Engkau masih bocah. Kelancanganmu melukai keluargamu yang telah melahirkan dan membesarkan engkau. Kau ibarat nyala api yang membakar ranting kayu arani dan akhirnya memusnahkan pohonnya. Kau ibarat seekor burung yang merusak sarangnya sendiri. Sejak semula, ketika Yudhistira masih bebas, ia telah mempertaruhkan semua miliknya dan tentu saja itu termasuk Draupadi. Karena itu, sekarang Draupadi menjadi milik Sakuni. Hal ini tak perlu diperdebatkan. Semua milik Pandawa kini menjadi milik Sakuni, termasuk pakaian yang mereka kenakan. Hai Duhsasana, tanggalkan pakaian Pandawa dan Draupadi. Serahkan semua kepada Sakuni!”
Mendengar kata-kata Karna yang kasar, Pandawa merelakan pakaian mereka demi menjalani cobaan dharma yang amat pahit. Mereka menanggalkan pakaian, hingga tinggal sehelai kain penutup aurat. Semua mereka jalani demi kehormatan, kebenaran dan keagungan dharma.
Karena Pandawa menyerahkan sendiri pakaian mereka, Duhsasana mendekati Draupadi, siap merampas pakaian sang putri. Ia berusaha menelanjangi Draupadi, tetapi putri itu melawan dengan sekuat tenaga. Duhsasana terus memaksa dan Draupadi terus bertahan. Draupadi mengerahkan kekuatan batinnya, membaca mantra dalam hati, berdoa dan memohon pertolongan Brahma, “Oh Dewata Penguasa Alam Semesta, kepadaMu kuserahkan segala keyakinanku. Jangan biarkan aku dihina seperti ini. Engkaulah satu-satunya tempatku berlindung. Oh Dewata, lindungilah aku.”
Setelah berkata demikian, ia jatuh pingsan.
Duhsasana lalu melakukan perbuatan yang sangat memalukan itu. Ia menanggalkan pakaian Draupadi satu per satu. Ajaib! Tiba-tiba terjadilah sebuah peristiwa gaib. Setiap kali ia melepas pakaian sang putri yang tak sadarkan diri itu, setiap kali pula muncul pakaian baru menutupi tubuhnya yang jelita. Duhsasana terus melakukan pekerjaan hina itu. Pakaian Draupadi menumpuk seperti gunung, tetapi tubuhnya yang belum siuman tetap utuh dan berpakaian lengkap. Semua yang hadir dalam ruangan itu gemetar, sadar bahwa Dewata telah memperlihatkan kebesaranNya. Duhsasana tak sanggup lagi melakukan tugasnya. Ia terduduk lemas, tak berdaya.
Dengan bibir gemetar Bhima mengucapkan sumpahnya, “Semoga aku tidak diterima oleh nenek moyangku di surga sebelum aku remukkan dada Duhsasana yang penuh dosa dan aku hisap darah manusia yang telah menodai keluhuran wangsa Bharata.”
Maka terdengarlah anjing dan serigala meraung-raung, unta, gajah, kuda dan keledai meringkik-ringkik, burung burung berkicau melagukan nyanyian duka di seluruh negeri. Semua itu merupakan pertanda akan datangnya malapetaka mengerikan di masa datang.
Raja Dritarastra sadar, keturunannya akan mengalami kehancuran. Dengan berani ia mengambil keputusan untuk berdamai dengan Pandawa. Ia memanggil Draupadi dan Yudhistira. Ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tidak bersalah, karena itu engkau bukanlah musuh kami. Maafkan Duryodhana demi keagungan budimu dan buanglah kenangan pahit ini dari ingatanmu. Ambil kembali kerajaanmu, kekayaanmu dan semua milikmu. Engkau kubebaskan dan perintahlah kerajaanmu hingga rakyatmu makmur sejahtera. Kembalilah kalian ke Indraprastha.”
Demikianlah Pandawa meninggalkan ruangan terkutuk itu. Hadirin bingung dan terpaku melihat keajaiban yang tak masuk akal itu. Pandawa dilepaskan dari malapetaka yang mengerikan, tetapi itu semua terlalu cepat dan ringan untuk dinikmati keindahannya.
Setelah Yudhistira dan saudara-saudaranya pergi, di dalam ruangan terjadi perdebatan sengit. Atas hasutan Duhsasana dan Sakuni, Duryodhana memaki-maki ayahnya yang telah mengacaukan rencana mereka. Mereka lalu mengutip petuah Brihaspati yang mengatakan bahwa melakukan tipu muslihat untuk menghancurkan musuh bebuyutan adalah tindakan benar. Ia menggambarkan, kebebasan dan kekuatan Pandawa akan membahayakan mereka jika dibiarkan tumbuh. Kata mereka, satu-satunya cara untuk mengalahkan Pandawa yang sakti dan perkasa adalah dengan tipu muslihat dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari tipu muslihat itu untuk melumpuhkan kebanggaan dan kehormatan mereka. Untuk itu, semboyan yang paling tepat adalah “tidak seorang kesatria pun akan menolak undangan bermain dadu.”
Mengetahui betapa besar cinta ayahnya kepada dirinya, Duryodhana meminta persetujuan Dritarastra untuk mengundang Yudhistira bermain dadu sekali lagi. Dengan berat hati karena merasa mendapat firasat buruk, Dritarastra memberikan persetujuan.
Segera Duryodhana mengirim utusan untuk menyusul Yudhistira yang belum sampai ke Indraprastha. Utusan itu membawa undangan pribadi dari Raja Dritarastra.
Setelah menerima undangan itu, Yudhistira berkata, “Memang benar, kebaikan dan kejahatan sudah tersurat dan tak dapat dihindari. Kalau kita harus main lagi, kita akan main, demikian jawabanku. Ajakan bermain dadu demi kehormatan tak dapat ditolak. Aku harus menerimanya.”
Dharmaputra kembali ke Hastinapura dan bersiap-siap untuk bermain dadu lagi melawan Sakuni. Setiap orang yang berpikiran baik dan berpendirian halus yang hadir dalam pertemuan itu sebenarnya tidak menyetujui permainan itu.
Agaknya Yudhistira telah ditakdirkan oleh Batari Kali, Dewi Kemusnahan, untuk menjadi umpan yang dapat meringankan beban dunia dari segala macam kejahatan.
Sebelum bertanding, taruhan ditentukan, “Barangsiapa kalah dalam permainan ini, ia dan saudara-saudaranya harus menjalani hidup dalam pengasingan dan pembuangan di hutan rimba selama dua belas tahun. Pada tahun ketiga belas ia harus hidup menyamar selama setahun penuh. Kalau pada tahun ketiga belas ada yang mengenali mereka, mereka harus dibuang ke pengasingan selama dua belas tahun lagi.”
Tidak perlu diceritakan bagaimana Sakuni menggunakan tipu dayanya lagi dalam permainan ini. Lagi-lagi Yudhistira kalah. Pandawa harus menjalani hidup dalam pembuangan di hutan rimba. Mereka yang menyaksikan kekalahan Pandawa menundukkan kepala karena malu, diam tenggelam dalam duka dan tak mampu berbuat apa-apa.


MAHABARATA Undangan Bermain Dadu

MAHABARATA Undangan Bermain Dadu


Duryodana berpura-pura menyembah Yudistira
Upacara rajasuya selesai. Para raja, putra mahkota, pendita, penasihat, guru dan para tamu agung lainnya meninggalkan Indraprastha.
Setelah para tamu pergi, Dharmaputra menyembah Bhagawan Wyasa dan disuruh duduk di sampingnya. Mahaguru itu berkata kepadanya,
“Wahai, putra Dewi Kunti, engkau kini bergelar Maharajadiraja. Sungguh gelar yang pantas sekali bagimu. Kudoakan, semoga bangsa Kuru yang masyhur ini mencapai kemuliaannya melalui engkau. Sekarang, aku akan kembali ke pertapaanku.”
Yudhistira menyembah kaki mahaguru itu sambil berkata,
“Wahai, Guru, hanya Gurulah yang dapat menghapus kecemasanku. Banyak peristiwa penting baru saja terjadi. Hanya orang bijaksana yang dapat meramalkan malapetaka apa yang akan terjadi karena peristiwa-peristiwa itu. Apakah menurut ramalan Guru, hal itu tercermin dalam kematian Sisupala? Atau … apakah ada kemungkinan yang lebih mengerikan di masa datang?”
Bhagawan Wyasa menjawab, “Anakku tercinta, engkau akan mengalami banyak kesusahan dan penderitaan selama empat belas tahun mendatang. Peristiwa teramat penting yang baru saja berlalu tadi meramalkan kehancuran kaum kesatria dan itu tidak berhenti pada kematian Sisupala. Jauh lebih mengerikan daripada itu! Ratusan raja akan tewas dalam perang besar. Alur kehidupan lama akan hancur. Malapetaka akan timbul karena permusuhan antara kau dan adik-adikmu di satu pihak dan sepupumu, putra-putra Dritarastra, di lain pihak. Permusuhan itu akan memuncak dalam satu perang besar yang memusnahkan kaum kesatria. Tak seorang pun bisa melawan atau menghindari suratan nasibnya. Teguhkan hatimu dan tegakkan keluhuran budimu. Waspadalah dan perintahlah rakyatmu dengan bijaksana. Selamat tinggal!”
Setelah memberikan restu kepada Yudhistira, Bhagawan Wyasa meninggalkan Indraprastha.
Ramalan Bhagawan Wyasa membuat Yudhistira sedih dan merasa jijik terhadap nafsu-nafsu duniawi. Ia menyampaikan ramalan itu kepada adik-adiknya. Ia merasa hidupnya sia-sia karena kepunahan bangsanya sudah diramalkan.
Arjuna berkata, “Engkau seorang raja. Tak pantas kau mempercayai hasutan dan ancaman seperti itu. Kita hadapi nasib kita dengan penuh keberanian dan kita lakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
Yudhistira menjawab, “Saudara-saudaraku, semoga iman kita diteguhkan oleh Yang Kuasa dan semoga Yang Kuasa selalu melindungi kita. Aku bersumpah, aku tidak akan bicara lemah dan kasar kepada saudara-saudara dan sanak kerabatku selama tiga belas tahun. Aku akan menghindari segala hal yang mungkin menimbulkan sengketa. Aku tidak akan pernah marah, sebab kemarahan adalah pangkal permusuhan. Semoga kita diberi jalan terbaik setelah mengetahui peringatan dari Bhagawan Wyasa.”
Semua saudaranya mendukung sumpahnya.
Menurut Bhagawan Wyasa, rangkaian malapetaka yang akan memuncak dalam perang besar di padang Kurukshetra berawal dari perjudian yang direncanakan Sakuni, penasihat Duryodhana. Sakuni menyarankan agar Duryodhana mengundang Yudhistira bermain dadu. Di balik itu, ia sudah menyiapkan rencana licik.
Sesuai adat di jaman itu, Yudhistira tidak mungkin menolak undangan sepupunya. Ia menerima undangan itu dengan prihatin dan bersedia memenuhinya demi kewajibannya untuk menghormati sepupunya dan memupuk rasa persaudaraan dengannya. Ia mengira keputusannya benar, padahal yang akan terjadi justru sebaliknya! Tanpa disadarinya, Yudhistira telah ikut menanam benih kebencian dan kemusnahan.
Sementara Yudhistira berusaha keras menghindari perselisihan, Duryodhana justru panas hati karena dengki dan iri melihat kemakmuran kerajaan yang dipimpin Pandawa. Hal itu dilihatnya sewaktu ia menghadiri upacara rajasuya. Istana Indraprastha dibangun megah dan dikelilingi taman yang luas dan indah. Ukiran dan berbagai hiasan dari emas, perak dan permata membuat istana itu semakin semarak. Semua itu menandakan bahwa Yudhistira benar-benar memerintah dengan baik dan adil. Ia juga menyaksikan betapa gembiranya para raja yang menjadi sekutu Yudhistira.
Sakuni menyapa, “Mengapa engkau berdiam diri? Jangan biarkan duka menyiksa dirimu.”
Duryodhana menjawab, “Yudhistira dilindungi para dewata. Di depan semua raja, Sisupala dibunuh dan tak seorang pun berani membela dia. Seperti pedagang yang hanya mementingkan keselamatan diri dan lakunya dagangannya, para raja itu bersedia menjual kehormatan dan kekayaan mereka asalkan bisa bergabung dengan Yudhistira. Bagaimana aku tidak sedih melihat semua ini? Apa gunanya hidup seperti ini?”
Sakuni berkata,
“Wahai Duryodhana, Pandawa adalah sepupumu. Tidak pantas engkau iri melihat kemakmuran mereka. Mereka memperoleh kerajaan dan kekayaan itu dengan sah. Tetapi, kita dapat mengundang Yudhistira untuk bermain dadu dengan dalih untuk bersenang-senang dan mempererat persaudaraan. Dia tak mungkin menolak undangan seperti itu. Kelak, Bhisma, Mahaguru Kripa, Jayadratha, Somadatta dan aku akan mendukungmu. Engkau pasti bisa menaklukkan dunia jika kau mau. Jangan biarkan duka merongrong dirimu!”
Duryodhana menjawab, “Benar katamu, Paman Sakuni, aku punya banyak pendukung. Jadi, mengapa tidak kita gempur saja Pandawa dan kita usir mereka dari Indraprastha?”
Sakuni berkata, “Tidak. Itu tidak mudah. Tetapi, aku tahu cara mengusir Pandawa dari Indraprastha, tanpa pertempuran dan pertumpahan darah.”
Duryodhana tertarik mendengar itu. Ia bertanya keheranan, “Hai, Paman Sakuni, apakah mungkin mengalahkan Pandawa tanpa mengorbankan jiwa? Apa rencanamu, Paman?”
Kata Sakuni, “Aku tahu Yudhistira gemar main dadu, tetapi tidak pandai. Ia terlalu jujur dan sama sekali tak tahu akal dan siasat untuk memenangkan permainan. Karena itu, ia tak pernah menang. Kita undang ia bermain dadu, kita gunakan akal dan siasat. Kita akan pertaruhkan kekayaan dan kerajaan Astina. Dia pasti akan mempertaruhkan kekayaan dan kerajaannya. Jika semua terlaksana sesuai rencana, kita pasti bisa memenangkan kekayaannya dan kerajaannya tanpa perlu menitikkan darah setetes pun.”
Duryodhana dan Sakuni lalu menghadap Raja Dritarastra. Sakuni berkata, “Tuanku Raja, Duryodhana diliputi perasaan sedih dan cemas. Tetapi, mengapa Tuanku tak hiraukan kesedihan dan kecemasannya? Apa sebabnya, wahai Paduka Raja?”
Raja yang buta itu memeluk putranya tercinta sambil berkata, “Aku tidak tahu mengapa engkau bersedih. Apa yang kaurisaukan? Seisi kerajaan ini ada dalam kekuasaanmu. Bukankah selama ini kau dikelilingi berbagai hiburan dan kesenangan? Mengapa kau sedih? Engkau telah mempelajari kitab-kitab Weda, ilmu peperangan dan ilmu-ilmu lain dari para mahaguru terbaik. Sebagai putra sulungku kau mewarisi mahkota. Apa lagi yang masih kau kehendaki?”
Duryodhana menjawab, “Ayahanda, meski hidupku dikelilingi hiburan dan kesenangan, meski seisi kerajaan ini tunduk padaku, aku tetap merasa hidupku tak berguna karena Pandawa memerintah kerajaannya dengan baik dan rakyat mencintai mereka. Aku merasa mereka lebih berhasil daripada aku. Apa gunanya hidup seperti ini?”
Melihat ayahnya diam mendengarkan, Duryodhana melanjutkan, “Cepat puas diri bukanlah sifat seorang kesatria. Rasa takut dan mengasihani diri sendiri adalah sifat-sifat yang merendahkan martabat raja-raja. Kekayaan dan kesenanganku tidak membuatku puas setelah aku melihat —dengan mataku sendiri— kemakmuran Yudhistira. Tidakkah Ayah sadari, Pandawa semakin kaya dan perkasa sementara kita semakin lemah dan pudar.”
Dritarastra berkata, “Anakku tercinta, engkau adalah putra sulung dari istriku tertua. Engkau mewarisi kemegahan dan kebesaran bangsa kita. Jangan membenci Pandawa. Kebencian akan membuahkan kesedihan dan kematian. Katakan terus terang, mengapa engkau membenci Yudhistira yang tidak bersalah. Bukankah keberhasilannya juga berarti keberhasilan kita? Sahabatnya adalah sahabat kita. Apalagi karena ia sama sekali tidak iri atau membenci kita. Jangan kotori hatimu dengan iri dan dengki!”
Duryodhana kecewa mendengar jawaban ayahnya. Ia menyahut dengan tidak sopan, “Orang yang tidak punya pengetahuan tentang hal-hal biasa tetapi tenggelam dalam samudera ilmu ibarat sepotong sendok yang ditenggelamkan ke dalam masakan yang enak. Ia berada di dalam masakan tetapi tak bisa menikmati kelezatannya dan tak bisa memperoleh manfaatnya.
“Ayah banyak mempelajari ilmu ketatanegaraan, tetapi tidak bijak dalam memerintah. Seperti selalu Ayah ajarkan padaku, keadaan dunia adalah sesuatu, sedangkan urusan kerajaan adalah sesuatu yang lain. Seperti kata Brihaspati, meneguhkan iman dan merasa puas akan keadaan itu adalah nasihat yang cocok bagi orang biasa, bukan bagi raja. Kewajiban kesatria adalah selalu mencari kemenangan, dengan segala cara. Jadi Raja, sebagai kesatria, harus mencari kemenangan.”
Demikianlah Duryodhana bicara dengan mengutip ucapan para ahli pemerintahan. Ia juga menghasut ayahnya agar mau memberinya ijin.
Sakuni menyela, menjelaskan rencananya untuk mengundang Yudhistira bermain dadu. Dengan begitu, Pandawa pasti dapat ditaklukkan tanpa pertumpahan darah. Sakuni meyakinkan sang Raja, “Cukup ijinkan kami mengirim utusan untuk mengundang Pandawa bermain dadu. Selebihnya serahkan padaku.”
Duryodhana menambahkan, “Jika Ayah setuju, Paman Sakuni akan memenangkan permainan ini atas namaku. Tak perlu ada pertarungan.”
Dritarastra berkata, “Usul Sakuni tidak pantas. Sebaiknya kita tanyakan hal ini kepada Widura. Ia pasti memberi nasihat yang benar kepada kita.”
Tetapi Duryodhana tidak mau mendengar pendapat Widura. Ia berkata,
“Widura hanya bisa memberi nasihat yang membosankan tentang budi pekerti, tapi ia tidak mampu menolong kita untuk mencapai maksud kita. Dalam langkah pelaksanaan untuk memperoleh hasil terbaik, siasat kenegaraan para raja tidak harus sama dengan isi kitab-kitab ilmu pemerintahan yang baik, yang dilengkapi dengan cara-cara melaksanakannya. Kecuali itu, Widura tidak suka padaku dan lebih memihak Pandawa. Ayah tentu lebih tahu tentang ini daripada aku.”
Dritarastra berkata, “Pandawa itu kuat. Menurutku, memusuhi mereka tidaklah bijaksana. Permainan dadu hanya akan menyeret kita dalam permusuhan. Nafsu serakah yang timbul akibat permainan ini tidak mengenal batas. Kita harus hindari hal ini.”
Tetapi Duryodhana terus mendesak, “Kepemimpinan negara yang bijak terletak pada keberanian untuk membela diri dengan kekuatan sendiri dan mengenyahkan segala ketakutan. Bukankah lebih baik jika kita laksanakan rencana itu selagi kita masih lebih kuat daripada mereka? Ini keputusan yang paling benar! Kesempatan tidak akan datang dua kali. Permainan dadu melawan Pandawa bukanlah siasat buatan kita. Permainan ini sudah merupakan tradisi para kestaria sejak jaman dahulu. Dan kalau kita yakin bisa menang tanpa pertumpahan darah, mengapa tidak?”
Dritarastra menjawab, “Anakku tercinta, Ayah sudah tua. Lakukanlah apa yang ingin kaulakukan. Tetapi aku tidak merestuimu. Ayah yakin, kelak engkau pasti menyesal. Semua ini sebenarnya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.”
Demikianlah, setelah lelah berdebat Dritarastra membiarkan putranya melakukan apa yang dimauinya. Kemudian ia menyuruh para budak membangun balairung indah khusus untuk bermain dadu walaupun hati kecilnya sedih dan cemas membayangkan akibatnya nanti. Diam-diam ia menghubungi Widura dan meminta pendapatnya.
Widura berkata, “Tuanku Raja, permainan itu pasti akan menghancurkan bangsa kita karena permainan itu memupuk dan mengobarkan kebencian yang tak mungkin dibendung.”

Dritarastra yang tidak dapat menghalang-halangi kemauan anaknya berkata, “Bila nasib kita baik, aku tidak khawatir. Tetapi jika nasib baik tidak berpihak pada kita, apa yang bisa kita perbuat? Kodrat dan nasib telah digariskan Yang Maha Kuasa. Pergilah engkau, Widura, untuk atas namaku mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura.”
Pages (9)1234567 Next
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CERITA PERWAYANGAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger